Mendengar laporan dari Wisesa, Alicia sudah memasang ancang-ancang. Ki Semar tetap bungkuk dengan tangan di belakang seperti yang sudah-sudah. Suasana yang mendadak panas memanggang lapisan kulit, tanda aura magis telah bangkit dari diri Semar yang berleha-leha.
Sebagian memang tampak mengenakan pakaian zirah ringan, sebagiannya lagi memamerkan lekuk otot sumringah, dengan badan kurus dan dada yang terik. Bagian bawahnya mengenakan celana kain longgar dan diselubung kain panjang coklat penuh corak. Ada gundukan besar di belakang punggung mereka—perisai yang melingkar. Keris dan tombak menyertai tiap-tiap prajurit dan kudanya. Sang pemimpin mengenakan kuluk—topi lonjong beludru—sudah berderap dengan kudanya, mendekat ke arah tiga insan tadi. Dia mengerem kudanya, disusul oleh anak buah yang lain. Barulah Semar dapat melihat jelas siapa mereka dari lencana yang terpasang pada pakaian masing-masing prajurit. Sebuah simbol perahu emas, diayomi rantai dan kapas pada tiap sisi.
"Sembarangan panjenengan, Wisesa! Mereka bukan musuh, mereka prajurit Pulomas! Bagaimana kamu ini?" keluh Ki Semar kepada anaknya. Alicia membuang nafas berat, yang langsung disadari oleh Wisesa.
"'Oh, kalau bagi Wisesa, semua orang pasti adalah musuh.' Itukan yang hendak kau katakan?" Wisesa seolah tahu arti helaan nafas sang gadis.
"Aku tidak mengatakan apapun," jawab Alicia singkat, pura-pura bodoh.
"Ya, tentu saja. Katakan saja kepada seluruh warga desa saat aku tidak ada." Wisesa kemudian bergumam, "Tipikal orang barat, selalu ngomong dari belakang."
Apa masalah orang ini? Sungguh, betapa Alicia tak habis pikir. Siang baru tiba, tapi harinya sudah hancur berkat tendensi rasisme Wisesa tiap kali bibirnya terselip, "Orang Barat." Melodi pelan Orb untung tetap melipur hatinya yang semrawut.
Pemimpin pasukan tadi turun dari kudanya dan menghaturkan sembah. Kepala desa Langkankerta berjalan ke arahnya dan memintanya untuk segera berdiri karena dirasanya tidak pantas untuk berbuat demikian. Harusnya sikap kepala unit yang sudah sekitar kepala tiga umurnya dapat menjadi teladan bagi Wisesa.
Bercakap-cakaplah mereka dalam bahasa Yawa.
"Kasinggihan, Raden Jurudyah Punta Prasanta Semar!" kata pemipin pasukan dengan hormat.
"Dengan siapa saya bicara?" tanya Semar.
"Kenthol Nusakencana, dan kepala pasukan unit Liman Murka, Badra Kasman Sadya, Kasinggihan," jawab kepala pasukan bernama Badra.
"Kenthol Badra. Apa yang dapat saya perbuat bagimu?"
"Kasinggihan! Semoga Kasingihan Raden Semar memperkenankan meminjam tabib-tabib dan obat-obatan untuk tentara kami yang terluka di garis depan perang."
"Perang?" Semar termenung sebentar. "Pasukan Pulomas kah yang kau maksud?"
"Kasinggihan."
"Bagaimana dengan desamu, Nusakencana, Kenthol Badra? apakah desamu turut memberikan bantuan?"
"Kasinggihan. Semua prajurit yang terluka singgah di balai pengobatan kami. Inilah mengapa aku meminta bantuan Raden. Kami kekurangan sumber daya medis."
"Tapi desa kami pun sangat membutuhkan tabib-tabibnya. Tumaritis baru diserang oleh Bandit Panca Gendheng kemarin."
"Sialan! Bandit suruhan Alas Purwo itu!" Kenthol Badra mendecak lidahnya. "Aku mengerti, Kasinggihan Raden. Biarlah saya menyusuri daerah lain untuk mendapatkan bantuan ini."
Setelah memberi hormat, Kenthol Badra menghampiri pelana kudanya. Ki Semar berbalik ke dua anak dengan gelagat terganggu.
"Apa itu tadi, Ki Semar?" Giliran Alicia yang bertanya.
"Pasukan dari desa sebelah meminta bantuan medis," Kata Ki Semar "Kamu tahu, kita sedang bertempur. Biasa, berita lama."
"Melawan Alas Purwo, ya?"
Ki Semar hanya terdiam.
Wisesa serasa sudah kenyang akan sebutan tempat tinggalnya. "Memangnya lawan siapa lagi? Kutebak kau punya segala bentuk cerca untuk Alas Purwo. Silahkan, komentar saja. Jangan lupa singgung diriku sekalian."
Alicia tampaknya sudah eneg dengan laki-laki tersebut, yang selalu saja asal nimbrung dalam pembicaraan. Sudahlah masuk, malah bertingkah menyebalkan pula. "Demi Kesunyian Ilahi, Wisesa," ujarnya. "Aku tidak sedang, dan tidak ingin berbicara kepadamu saat ini. Tolonglah diam saja."
"Halah."
Alicia berpikir sebentar. Karena Orb sudah berada dalam dekapannya, Alicia merumuskan beberapa pemikiran mengenai bagaimana ia dan bola Arcane ajaibnya dapat berguna bagi masyarakat setempat. Sudah sepatutnya sebagai pemangku Arcane membagikan berkat yang ia peroleh, bukan? Tidak peduli jika mara bahaya sudah merangkak di dalam kelam bayang-bayang di dekatnya. Toh dia sudah wajib mengakrabkan diri dengan bahaya tersebut di hari pertama dirinya dipilih oleh Arcane.
"Orb, apa kamu memikirkan apa yang aku pikirikan?"
Kau benar. Kita belum pernah mencobanya! Orb bersahut dalam dendang. Inisiatif yang bagus, Alicia! Mari kita lakukan!
Ki Semar dan Wisesa memandang sang gadis heran. Wisesa sudah menduga bahwa Alicia menjadi tidak waras karena berbicara dengan bola Arcane berdengung. Tidak hanya mereka berdua, Kenthol Badra dan para pasukan di belakangnya baru menyadari kehadiran gadis asing berambut merah. Wajah mereka sinis sejenak—barangkali mereka berbagi rasa tertentu dengan Wisesa. Namun, garis mata mereka meregang karena menyaksikkan globe pada dekapan Alicia yang memancarkan sinar biru hangat.
"Kasinggihan Raden," ucap Badra. "Siapa perempuan itu?"
Semar menanggapinya, "Dia? Dia tamuku yang berkebangsaan Camelot."
"Lalu, bola yang dipegangnya? Mungkinkah itu ... kuasa Kalimasada?"
Alicia menoleh ke arah mereka ketika mendengar sebutan Kalimasada. Dia tahu betul mereka sedang membicarakan dirinya dan Orb walau yang ia dengar adalah istilah-istilah asing Yawa. Semar mengangguk kepada Badra, mengkonfirmasi pertanyaanya tadi. Ditepisnya perangai curiga tersebut. Wajah bangsawan Nusakencana menjadi penuh harap.
"Kasinggihan Raden! Jika engkau berkenan, aku ingin meminjam perempuan itu dan bola sucinya. Aku berharap dia bisa membantu menyembuhkan pasukan kami!" Badra meminta kepada Semar karena sayang sekali, untuk seorang bangsawan, bahasa asing bukanlah keahliannya.
"Jika dia meminta pertolonganku dan Orb, aku bersedia membantu." Alicia menukas dengan lantang, padahal Semar belum membuka mulutnya.
Ki Semar membalikkan badannya. Alisnya terangkat. "Nona bisa menyembuhkan orang dengan Kalimasada?"
"Aku ... belum pernah menyembuhkan orang sebelumnya. Tapi Orb memberi restu untuk mencoba. Kuyakin aku dan Orb dapat melakukan sesuatu."
Wisesa hanya mengendus. "Yah, semoga saja kalian tidak meledakkan para tentara itu seperti yang terjadi barusan."
"Mereka bersedia membantu!" Semar berkata dalam bahasa Yawa.
"Syukur pada Dewa-Dewa!" Semua prajurit berteriak kegirangan, mereka melihat mata Alicia sambil melontarkan kata-kata yang agaknya berupa pujian dan ucapan syukur. Alicia memilih untuk beranggapan demikian, karena memang itu yang paling masuk akal. Tidak mungkin dengan wajah segembira itu keluar kalimat pendatang celaka seperti yang keluar dari mulut comberan Wisesa.
Semar menambahkan lagi, katanya, "Tapi ijinkanlah aku dan anakku Wisesa ikut pula."
"Kau gemar bercanda, Pak Tua!" Wisesa tersentak. "Babimu yang kelak kau makan belum diberi makan, ingat?"
"Saya masih punya tiga anak dan seorang istri. Lagipula, kamu memihak pamanmu kan?" Semar menjawabnya. "Ini langkah yang tepat agar orang-orang dapat mempercayaimu juga."
"Kupikir supaya perempuan itu dapat memerkan kekuatan Arcane-nya dan kau berharap aku merasa malu."
"Hebat! Rencana saya pun kamu sudah ungkap!"
"Bodoh amat. Seperti aku bisa menolak saja."
Badra dan yang lain melihat anak asuh Semar tersebut. Mereka tahu betul siapa anak ini, makanya tatapan mereka terasa enggan dalam benak Wisesa (semua yang berani-berani memandang matanya pasti dianggap punya niat buruk, jangan heran). Bangsawan Nusakencana mengamini permintaan Semar. Ia memberikan isyarat pada dua penunggang kuda untuk menyisihkan kuda-kuda mereka untuk ketiga orang tersebut, sedang mereka akan menumpang ke prajurit lainnya.
Jarak tempuh Desa Nusakencana sama sekali bukan jarak tempuh yang dekat. Bokong Wisesa menjerit minta tolong karena tersumpal oleh pelana selama lima jam. Bisa dibayangkan pula betapa gigih kelompok prajurit ini harus mempersiapkan diri pagi-pagi sekali agar kawan-kawan seperjuangannya mendapat pengobatan yang layak. Belum lagi Alicia tidak melihat adanya kereta mesin di jalanan berbatu Yawadwipa, dan hampir semua daerah masih asri tertutup hutan lebat. Andai saja Alicia dan bolanya tidak ada untuk membantu mereka, pasukan-pasukan ini mungkin baru kembali dalam beberapa hari. Berapa banyak yang terbaring di kasur kelak tertarik ke Gerbang Hades?
Mereka sudah sampai di Nusakencana. Desa ini tidak jauh berbeda dari Langkankerta, hanya lebih kecil. Jauh di batas desa pada sisi lain, Alicia melihat satu-satunya padang luas yang kontras dengan sekelilingnya yang asri. Gersang, Tak ada tanda-tanda rimbun pohon, hanya ada bekas-bekas bangunan, sejumlah baris kawat, serta asap yang menyesakkan bercampur bau karet yang dibakar. Semar memberitahukan kepada Alicia, lurus ke arah padang tersebut, adalah batas wilayah Pulomas.
Dengan kata lain, ini pertama kali Alicia melihat garis depan pertempuran dari jauh. Tentu Alicia dapat merasakan bulu kuduknya merinding. Ia bersyukur dirinya tak menyaksikan itu sekarang. Perang sedang mengalami masa cuti.
Mereka masuk kedalam suatu rumah joglo—tempat klinik tersebut dibuka. Bangunan pusat medis Nusakencana boleh lebih baik dari yang di Langkankerta, tapi di sini keadaannya lebih menyedihkan. Hampir semuanya adalah manusia dengan balutan perban. Akan tetapi untuk sebagian orang, darah tak menemukan halangan berarti untuk terus menodai pembalut luka mereka. Bau obat dan nanah busuk mengacaukan penciuman seaentero insan.
Alicia tergerak akan belas kasihan. Dia melangkah masuk bersama dengan Ki Semar dan Badra. Semua menyambut Badra dan Ki Semar dalam segala gumul raga mereka, tapi mereka tak mengenal wajah asing milik si gadis Camelot. Perempuan itu tak ambil pusing. Ia menghampiri salah satu pasien yang menahan gering dari kulit lengan kananya yang meleleh karena api. Pasien itu tak bergeser sedikitpun saat Alicia berlutut di depannya. Perih luka bakar saja sudah membuatnya segan bergerak. Sekilas ia hanya pasrah menanti perihal apa yang hendak dilakukan gadis tersebut.
Alicia mengeluarkan Orb dari tas karung yang dipinjam oleh seorang tentara. Semuanya paham betul apa yang sedang mereka pandang, terlebih pasien di depan Alicia, memandang dengan mata terbelalak.
"K-Kalimasada ...!"
"Ya, Kalimasada. Aku akan berusaha menyembuhkanmu. Tolong, Tuan jangan begerak."
Pasien tersebut hanya mengangguk saja tanpa tahu apa yang Alicia bicarakan. Dia sudah yakin dalam lubuk hatinya kalau itu benar Kalimasada, ia punya harapan untuk terlepas dari siksaan duniawinya.
"Orb, kita akan mulai. Aku memohon pertolonganmu."
Aku bersamamu, Alicia. Konsentrasi pada tujuanmu, seperti yang sudah-sudah.
Alicia mengatupkan matanya. Ia mengawang-ngawang akan apa yang dia inginkan. Ia ingin daya Ilahi ini berkuasa menyembuhkan mereka yang terbaring malang. Alicia membayangkan semuanya terharu, tertawa, keluar ke rumah sakit berkerumun, meneriakkan bahwa mereka seyogyanya manusia baru. Harapan membayangi mereka. Arcane barangkali memberi mereka ilham pula, agar perang dapat dihentikan. Hamparan mati di ujung desa itu; kelak benih baru bersedia tumbuh di dalamnya. Segala harapan akan kegembiraan dan perdamaian—secercah kecil akan mimpi mustahil Alicia.
Orb mulai menyala terang dan kuasa Arcane merambat ke urat nadi. Alicia telah mendapatkan sinkornisasinya. Ia pun menarik keluar sebagian daya ilahi tersebut lalu melontarkannya si penderita luka bakar!
Tindakan tiba-tiba sang gadis, dan jeritan nyaring pasien tersebut mengejutkan semua pihak. Tampak bangsawan Nusakencana, Badra, hendak mengeluarkan keris dari sarungnya dan mencegat Alicia. Semar menhadang dada bidang pria itu untuk tetap diam di tempat.
Pasien tadi masih menggeliat. Jelas dari wajahnya, ia mengalami kesakitan yang amat hebat—entah dari luka bakarnya, atau dari kuasa Arcane yang menggandakan rasa perih dari jaringan rusak yang sudah melahap seluruh lapisan kulitnya. Bagaimanapun, pasien itu tetap menaruh keyakinan akan sang gadis. Alasannya, lapisan kulit luar pada tangan kanannya terkelupas satu-satu, dan dilihatnya kulit muda kemerahan.
Luka bakar yang menusuk seluruk lapisan kulit berubah menjadi kerak-kerak yang terjatuh ke kasur. Sinkronisasi Orb dan Alicia terhenti. Alicia mundur ke belakang, meraba-raba ruang karena penglihatannya kabur. Kasihan sekali, tak ada yang memandu Alicia yang pusing, ketika semua mata tertuju pada pasien tadi. Dia seperti orang yang pura-pura sakit di klinik agar dapat bolos berladang, karena tak ditemukan satupun jejas yang sebelumnya tertambat terlalu besar pada tangan kanannya!
"Nona Alicia, dirimu berhasil—aduh, Nona!" Semar baru saja sadar sang gadis terhuyung-huyung, langsung memegang pundaknya. "Aduh, maafkan aku, Nona. Aku melupakan dirimu. Apa kamu-kamu tidak apa-apa?"
Mengobati seseorang dengan sihir serasa seperti memindahkan sebagian nyawanya ke orang tersebut. Tapi itu adalah bentuk kepuasan tiada dua, kesengsaraan yang layak dirayakan. Alicia tersenyum tulus akan hal ini, sungguh tidak dibuat-dibuat.
"Aku merasa sangat, sangat baik, Ki Semar!" Alicia tertawa kecil. "Kali pertama melakukan sihir baru selalu seperti ini. Aku akan terbiasa."
Semar pun tak tahan untuk tersenyum pula. "Ada-ada saja kamu. Tapi tidak salah. Memang begitu kali pertama melakukan mantra baru."
Kembali mata Alicia jelalatan ke ruangan sekitar. Matanya berhenti ke arah satu manusia malang tak berkaki. Mata pasien tersebut dan sang gadis saling berbalas tatap. Orang itu memelas agar Alicia turut membagikan berkat Ilahinya pula. Alicia mendekatinya dengan seringai ramah.
"Pasien yang malang," kata Semar. "Tapi sejujurnya aku penasaran apa yang bisa diperbuat Kalimasada kepadanya."
"Orb bisa melakukan sesuatu untuknya," pungkas Alicia yakin.
"Tenagamu terkuras ketika menyembuhkan pasien tadi."
"Aku belum pingsan, apalagi mati. Aku dan Orb akan menolong mereka."
Alicia melakukan sinkronisasi dan menembakan Arcane persis seperti pasien sebelumnya. Rasanya seolah menggergaji kakinya yang sudah hilang, pasien tadi mungkin sedang mengalami reka ulang kakinya dipotong. Namun dibalik penderitaan tadi, adalah suatu mukjizat luar biasa yang mereka tak bisa berhenti merasa heran: Tulang-tulang tumbuh. Jaringan otot dan pembuluh darah terajut satu sama lain. Kulit baru datang seperti selimut yang dihamparkan di atas kasur. Tanpa melupakan detail, ladang bulu kaki pun sesubur musim panen jelai.
Demikian suatu tanda besar dari dewata. Seorang pasien telah memperoleh kembali sepasang kakinya!
Seluruh pasien langsung berseru-seru, mendesak Alicia memberikan berkat kepada mereka juga. Badra dan yang lain menenangkan mereka semua, jangan sampai ada yang tiba-tiba menabrak sang gadis. Alicia sendiri merasa kepalanya nanar. Tapi melihat begitu banyak dari mereka yang minta tolong, Alicia malah menyiksa kepalanya makin keras. Ia membayangkan pekerjaan menyembuhkan ini akan berlangsung seharian, dan dia tidak tahu apakah tenaganya cukup.
"Ki Semar, bolehkan aku minta tolong untuk membawa mereka yang tidak sakit keluar?" pinta Alicia kepada orang tua yang dimaksud.
Ki Semar menjawab, "Apa yang sebenarnya niat Nona Alicia?"
"Masih menyembuhkan mereka, tenang saja."
"Maksudku, jangan sampai Nona membahayakan diri sendiri."
"Terima kasih atas rasa khawatirnya."
Semar melakukan permintaan Alicia. Semua orang-orang tersebut digiring keluar rumah sakit, menyisakan Alicia sebagai satu-satunya yang sehat di kerumunan pesakit.
Kedua tangan sang gadis menahan Orb pada kedua dada.
"Aku punya cara ini, Orb. Bantu aku sekali lagi."
Kau bisa tenang. Aku tidak akan berhenti. sahut si bola ajaib. 'Tapi, kau juga harus kuat. Kehilangan daya yang kau rasakan untuk menyembuhkan seisi rumah sakit mungkin sama dengan memurnikan penyihir bertenaga partikel Protos.
Alicia mengangguk. Rasa ragu yang sempat merayap ditepisnya jauh-jauh. Tidak ada sepatah katapun lagi yang keluar. Netra sang gadis sudah terkatup seraya mengumpulkan semua konsentrasinya untuk satu tujuan: mereka harus sembuh.
Lingkaran Arcane muncul di bawah kakinya, kemudian menyebar ke seluruh pelosok lantai. Seluruh sudut ruang bercahaya terang berkat kelipan bintang dan panorama angkasa. Daya kebiruan memberikan pendaran yang bahkan dapat diperhatikan khalayak di luar. Berbarengan dengan cahaya aneh itu pula, jeritan seribu satu suara menusuk-nusuk gendang telinga! Bagaimanapun, bunyi siksaan ini agaknya perlu, jika yang tercinta di dalam rumah joglo tersebut ingin pulih dari segala kutuk.
Sepuluh menit berlalu. Mereka semua masih tak henti-hentinya menangis kesakitan. Para keluarga pasien menangis karena ketakutan menyambangi mereka. Pengobatan ini terlalu lama dibandingkan kedua pasien sebelumnya. Mereka mulai mepertanyakan keadaan para pasien di sana.
Namun satu menit selanjutnya, jeritan-jeritan itu hilang. Rumah sakit kecil tersebut juga tidak bersinar lagi.
"Perempuan barat itu lebih baik jangan benar-benar meledakkan mereka semua!" ujar Wisesa. Manusia menjengkelkan ini ternyata menunggu di luar sedari awal. Ia tidak terlalu peduli pada Alicia, bahkan berharap sang gadis itu gagal agar para penduduk jangan membanding-bandingkan Alicia terhadap dirinya.
Semar dan Badra berlarian menaiki undakan, disusul oleh banyak warga. Mereka berdua mendobrak pintu dan mendapati Alicia sudah terkapar bersama bola Arcane. Yang lebih mencengangkan lagi, semua pasien sudah melepaskan perban mereka.
Mereka sembuh. Tidak ada harga yang harus dibayar, tidak ada efek samping. Hanya sembuh.
Pasien-pasien di dekat Alicia beranjak, berusaha membangunkannya. Seorang pasien lain punya rasa ingin tahu terhadap Orb, menyentuh bola tersebut hanya untuk menerima sengatan menyakitkan dan membuatnya melompat. Baru saja dia pulih dari rasa sakit, padahal.
"Alicia! Alicia bangunlah!" Ki Semar berseru. Sudah tampak raut kekhawatiran dari padanya.
Pelupuk matanya bergerak-gerak. Alicia dapat membuka mata walau hanya sebagian karena betapa hampa dirinya akan tenaga hidup. Dia berusaha keras untuk duduk dan meraih bola sihirnya.
"Aku tidak apa-apa, Ki Semar."
"Tidak benar. Kamu harus istirahat. Jangan membantah." Semar beralih bahasa kepada Badra. "Dia butuh tempat berbaring."
"Kasinggihan! Prajuritku!" Badra memanggil prajurit-prajuritnya. "Beritahu pelayan penginapan terdekat agar menyiapakan kamar kosong. Bersiap siaga, karena kita harus memenuhi segala kebutuhan gadis ini!"
"Segera hamba laksanakan!" Orang-orang suruhan Badra tadi menyibak keramaian yang penasaran ke pintu keluar.
Tabib-tabib dan para warga sudah mengerumuni tiap-tiap pasien. Seorang prajurit tanpa membuang banyak waktu mengangkat Alicia dalam keadaan berbaring dengan bolanya. Sang gadis sama sekali tidak bisa protes dengan keadaannya sekarang.
Kaki Semar dan prajurit yang menggendong sang gadis sudah selangkah menuju ambang pintu. Namun isak tangisan yang pecah menghentikan mereka. Seorang wanita meraung-raung di balik suatu bilik. Raungannya begitu mengganggu telinga Alicia, bukan karena betapa kerasnya tangisan tersebut, melainkan ada isyarat kesenduan di baliknya. Alicia membuka matanya sedikit dan menemukan Ki Semar dengan muka prihatin.
"A-ada apa?" tanya sang gadis.
Kepala desa Langkankerta itu mendesah.
"Ki Semar, tangisan apa itu tadi?"
"Tidak semuanya menerima berkat darimu." []