Segera Semar meloncat dari rumpun semak, dan berhasil membelah lengan Barong dengan tangan keramatnya! Cengkraman tangan oranye yang mendapati Alicia perlahan raib, agaknya kembali pindah ke lengan Barong yang beregenerasi.
"Terkutuk pajenengan, Semar!" Barong mengaum kencang. "Kendel makewedi kula!"
Barong melancarkan cakaran demi cakaran ke arah Semar. Aneh, tidak satu pun bahkan menyentuh kain kakek gendut tersebut. Semar kemudian melompat lagi dan membelakangi diri. Bokongnya dicondongkan tepat ke congor atma binatang buas.
PRET!
Awan kuning keruh bergulung-bergulung menjebak raga sang pemuda dan roh jingga gentayangan. Barong mendadak pusing—Wisesa, lebih tepatnya. Kelewat sakti semburan gas semerbak pantat Semar, ia tak pandang bulu jika diundang masuk ke hidung jasmani apalagi rohani. Roh monster kekuningan berjingkrak-jingkrak sebelum ia mengecil dan tenggelam dalam kulit perut Wisesa. Tak berselang lama, Wisesa siuman dan berlari menjauh, terbatuk-batuk dan muntah.
"Orang tua bodoh! Mana akal sehatmu?" Wisesa kerap meludah ke akar pohon. Bau busuk masih tersangkut di langit-langit hidungnya. "Kau terlalu banyak makan babi!"
Belum selesai dirinya mengeluarkan sisa gas kentut dari hidung dan mulutnya, Semar sudah menyambanginya lagi dan menjewer telinganya. Wisesa diseret paksa ke arah Alicia seperti menarik hidung kerbau. Ngomong-ngomong soal Alicia, dia pun juga terbatuk-batuk sehabis dicekik "peliharaan gaib" Wisesa.
Tangan Semar mendekat ke muka Alicia. Sempat sang gadis menghindar, tapi tangan kepala desa lebih cekatan. Alicia juga ikut menjadi korban jeweran Semar. Keduanya dibawa agak jauh dari gubuk berlubang menyedihkan yang sewaktu-waktu dapat ambruk.
"Adu-du-du-duh, Ki Semar. J-jangan menjewerku!" Alicia diliputi jengah karena diarak dengan cara yang memalukan—persis seperti anak nakal yang menangis karena diseret ibunya dengan telinga tertarik.
Semar tak menggubris sedikit pun. Alicia merasa beliau kecewa akan dirinya, membuatnya merasa tak enak hati.
"HAHA! Perempuan manja baru kena jewer pertama kali! Apa kau akan menangis, Tuan Putri—EAGGHHH!" Semakin dipilin kuping kanan Wisesa agar dirinya menutup mulut.
Langkah Semar akhirnya terhenti. Ia mendudukan kedua remaja sebelum kuping mereka dilepaskan dan ia pun ikut bersila.
Semar menghela nafas dan menutup mata. Setelah kesabarannya terkumpul, ia mulai bertutur, "Sebenarnya ada apa dengan kalian berdua?"
"Ada apa denganku? Ada apa dengannya!" tunjuk Wisesa ke gadis berambut merah. "Masuk ke kamar orang sembarangan. Gadis cabul!"
"Apa? Ada apa denganku? Ada apa denganmu!" Alicia turut menghardik. "Mengapa sangat mudah dirimu melontarkan kata-kata kurang ajar?"
"Jika seseorang menerobos tempat privasiku tanpa ijin, bagaimana aku tidak mungkin melontarkan kata-kata kurang ajar? Ada apa denganmu?"
"Kau yang membuatku terpaksa melakukannya! Ada apa denganmu?"
"Aku tidak pernah memaksamu masuk ke kamarku! Ada apa denganmu?"
"Bukan itu maksudku, Bodoh! Ada apa denganmu?"
"Ada apa denganmu?"
"Ada apa dengan—"
PLAK!
Semar bergejolak, kedua tangan pun bertindak. Tempeleng tangan berhasil mendarat keras di kedua kepala insan.
Alicia protes. "Aduh. Ki Semar! Bisakah jangan memukul—"
Satu tepakan lagi berhasil dilayangkan ke tempurung kelapa sang gadis. Alicia seketika terdiam, matanya berkaca-kaca.
"Jangan berbicara di luar yang saya minta," ucap si kakek tua. Badan bungkuknya sudah tercondong kaku empat puluh derajat, hilang perangai gemulainya. Selain itu, entah berapa lama hidungya kembang kempis—kedua remaja melihat dan menyadarinya. Sudah jelas Ki Semar sedang tak ingin melawak.
"Dengar itu, Orang Barat!" olok Wisesa. "Jangan banyak cincong—"
Wisesa turut mendapat gamparan dua kali khusus untuknya.
"Ada apa denganmu, Pak Tua Semar? Aku sedang membelamu!" gusar sang lelaki.
Wisesa ditempeleng lagi.
"Saya tidak butuh pembelaanmu!" jawab Semar. Dia pun menggelengkan kepalanya sebelum melanjutkan lagi. "Karena kalian tidak bisa diajak diskusi dengan akal sehat, biar saya menentukan siapa yang berhak berbicara. Dimulai dari kamu, Nona Alicia!"
Alicia menatap Semar terkejut. Bibirnya terisap ke dalam, tiada kata yang ingin dikeluarkan.
"Nona tahu, saya berharap lebih darimu," imbuh Semar. "Saya sudah bilang untuk tidak mendekati tempat tinggal Wisesa, apalagi menguntit saya, bukan?"
"M-maaf, Ki Semar," Alicia menundukkan kepalanya; barangkali agar jangan sampai dilihat matanya yang lembab oleh si bajingan Wisesa, dan adu mulut tanpa ujung terjadi lagi. Alicia berkata lagi, "Aku hanya ragu jika Wisesa akan membeberkan semuanya kepadamu."
Air wajah manyun tergambar di muka lelaki di depan Alicia. Ia menggeleng kepalanya lalu mendongak ke pepohonan, berharap ada burung atau tupai yang mendengar betapa menjengkelkan perkataan sang gadis. "Perempuan ini," ujarnya, "padahal sudah kubilang semalam kalau aku yang mencuri bola sihirnya."
"Itu salahmu karena tidak terdengar meyakinkan!" tukas sang gadis marah.
"Hah? Bukan salahku jika semua orang menganggapku selalu berbohong!" Wisesa menyanggah balik sambil mengedik.
Kedua tangan sakti Pak Lurah mengadah ke langit sekali lagi. Untunglah kedua remaja tersebut cukup pintar untuk belajar dari pengalaman. Mereka terdiam sekejap sambil membersut satu sama lain. Semar akhirnya beralih ke anak laki-lakinya yang bandel. "Kamu lagi, kamu lagi, Oh, Wisesa Rukmamenggala! Apakah otakmu sudah bobrok, sampai hendak membunuh seorang gadis?"
"Pak Tua, bisakah kau tidak berbicara kepadaku dengan Bahasa Umum—"
"Jangan mengalihkan pembicaraan!" Semar menggampar Wisesa sekali lagi. "Biarkan Alicia juga mendengar betapa tidak berperasaannya dirimu!"
"TIDAK BERPERASAAN!" Wisesa bersungut dengan mata nyalang karena geram. Dia sekali lagi, tampak tak menerima perkataan itu baik-baik di hati. "Bukan aku yang melakukannya, oke? Itu ulah binatang bangsat yang bersemayam di dalamku! Binatang yang kau 'kentuti' hingga akupun turut menjadi korban! Salah Alicia juga karena membuatku pingsan padahal sudah kuperingatkan dia!"
Alicia naik pitam lagi, "APA KATAMU—"
Satu lagi tempelengan untuk sang gadis.
"Jangan berkelit kamu, wahai Wisesa!" Semar membalas. "Kamu tahu bukan itu maksudku, Anakku."
"Lalu apa?"
"Ajian Dhemokan Durgha."
"Tunggu, Pak Tua. Kau pun melihatnya?"
Entah itu terjadi secara spontan atau kebandelan Wisesa menular kepada Alicia, ia malah memotong mereka berdua lagi. "D-Durga? Maksudmu, Durga, Grand Magus tersohor dari Republik Svarga—"
Semar menenepiknya lagi, dan Wisesa pun menimbrung ke dalam perundungan sang gadis. Tak terima, Alicia langsung membalas Wisesa dengan tamparan; sia-sia niatnya, sebab Ki Semar berhasil menghentikan perkelahian susulan bahkan sebelum itu terjadi. Tentu saja tamparan bonus untuk mereka berdua.
"Ya, aku melihatnya, Wisesa," lanjut orang tua itu. "Aku melihatnya di semak-semak semenjak kau terjungkal dari gubukmu."
"Dan kau menyalahkanku jika anak ini mati sementara kau hanya menonton sedari awal? Iya, tentu saja, limpahkan semua kepadaku. 'Jika orang menderita, maka aku ada', bukan begitu? Sudah basi!"
Wisesa butuh waktu untuk menenangkan amarahnya, demikian pikir Ki Semar. Orang tua tersebut pun menoleh lagi ke arah Alicia. Sang gadis masih merasa canggung, tapi apa boleh buat. Dia telah mendapatkan Orb kembali, tapi sedikit omelan agaknya pantas untuknya. Sekilas ketika mata Semar terarah ke Orb, Alicia memeluknya semakin erat. Bagaimanapun juga, gadis berkacamata itu tak pernah tahu intensi seseorang saat melihat globe berpendar yang kaya akan anugerah Ilahi—tidak peduli jika orang tersebut adalah orang tua berlaku mulia layaknya Ki Semar. Semar membuka suara, intonasi suaranya merendah perlahan.
"Bola sihir yang mengandung kekuatan yang menuntun kepada Satu dari Segala Kebenaran, Asal Usul Dewa-dewa, Kalimasada. Pantas saja Nona kalang kabut mencari bolanya yang hilang."
"K-Kalimasada?" Alicia bingung.
"Sebutan di sekitar sini untuk Arcane."
"Mengapa disebut Kalimasada?"
"Ya, karena kekuatan tersebut dikenal pertama kali lewat pemegang pertama di Lojitengara kuno, Kalimantara. Jauh ketika Lojitengara masih berupa ratusan kerajaan dalam ratusan pulau."
Sebuah trivia baru untuk sang gadis! "Aku harus mencatat itu di buku," katanya.
"Nah, terlepas karena gadis muda ini menjadi anak bandel, semua perselisihan ini memang demikian terjadi karena ulahmu, Wisesa," tutur Semar. "Mengapa kamu mencuri yang bukan milikmu? Apalah guna kamu mengambil pusaka Kalimasada kalau Kalimasada tidak memberi restu padamu?"
Wisesa menjawab, "Bukan urusanmu."
"Kalau gas di dalam perut saya berkata sebaliknya, bagaimana?"
Alicia menghela nafas. Pahamlah ia mengapa Wisesa begitu terobsesi kepada Orb kesarayangannya.
"Kamu ingin mengeluarkan monster Barong tadi dengan kekuatan Arcane." Alicia menukas kedua pria tersebut.
"Itu gila!" jawab Semar. "Sudah berapa kali kuperingatkan agar tidak mengeluarkan Barong secara paksa? Bisa-bisa kamu mati di tempat!"
"Bukankah itu lebih baik bagi semua orang ...," Wisesa bergumam sendiri.
"Heh! Dungu sekali kamu! Mengambil nyawa sendiri sama sekali tidak mencerminkan kebijaksanaan dan kebajikan. Jika kamu hidup berarti kamu masih punya kesempatan untuk menikmati hal-hal baik!"
"Aduh, tolong sudahi ceramahmu yang sama untuk keseratus enam pulu sembilan kalinya! Ya, aku menghitungnya, Pak Tua Semar. Hal-hal baik omong kosong! Selama mahluk jahanam masih ada di tubuhku, aku hidup hanya untuk menikmati hal-hal buruk!"
"Memangnya kamu tahu apa yang hendak kamu lakukan dengan Orb demi mengusir Barong?" ucap Alicia.
"A-aku .... Entahlah! Tapi aku bisa cari tahu sendiri, tak perlu kau ikut campur. Bukannya aku tidak punya banyak waktu di dunia ini!"
"Tentu saja kamu tidak memikirkannya matang-matang. Dasar bodoh."
"SIALAN KAU, ORANG BARAT—"
"Sudahlah!" seru Semar lagi dengan nada naik satu oktaf. "Dengar, kalian berdua! Pertarungan tadi tidak pernah terjadi, dan tidak boleh terjadi lagi, kalian mengerti? Bukan urusankanku jika kamu ingin menggunakan Kalimasada di sini, Nona Alicia. Orang-orang di sini tidak akan coba-coba dengan pemilik Kalimasada. Tapi kumohon, jika kamu memang harus menggunakannya, gunakan secara hati-hati! Tidak usah memamerkannya kepada siapapun jika tidak perlu. Khusus untukmu, Wisesa! Tetap tak ada yang boleh tahu kalau dirimu adalah Barong yang kemarin. Baik Pulomas atau Alas Purwo akan memburumu hidup-hidup jikalau mereka tahu!"
"Ki Semar tahu kalau Wisesa adalah Barong?" tanya Alicia.
"Ya, dan gara-gara kalian, aku sedang tidak enak hati untuk membicarakannya lebih lanjut."
"B-baik Ki Semar! Sekali lagi, maafkan kesalahanku!" Alicia merendah demi meminta pengampunan pada sang kepala desa.
Lain halnya tanggapan Wisesa. "Terserah saja, Pak Tua." Dia lalu melontarkan bisik kepada gadis di depannya. "Akan kurebut lagi bola ajaibmu itu!"
"Wisesa!"
Lelaki muda itu tak berkata-kata lagi. Tatapan ganasnya sudah mengungkapkan semuanya.
"Kalau kalian mengerti ...." Semar pun bangkit dari tanah. Satu tangannya kembali bersandar di belakang pinggang. "Ayo kita kembali ke desa. Wisesa, karena gubukmu hancur, kamu akan menginap di tempatku."
"Apa?" seru Wisesa. "Tidak mungkin itu terjadi! Biar aku saja yang membetulkan bekas pengrusakan Perempuan Barat ini, selama aku tak tinggal di tempatmu."
Alicia hanya menggelengkan kepala, mencoba menahan diri sesuai arahan Orb yang mengalun.
"Wisesa, tempatku tidak terlalu buruk, kok.'
"Jangan memaksa. Tidur dengan rumah berlubang pun tak masalah. Seperti ada yang ingin merampokku saja."
Hampir saja bibir Alicia terselip, "Tapi kamu sendiri perampoknya!" Wisesa sudah memandang muka cemberut gadis kutu buku, seolah ia sendiri juga telah menebak tanggapan sang gadis. Namun, Alicia setidaknya belajar hal baru hari ini: beradu mulut dengan Wisesa sangat membahayakan umurnya dibanding beradu secara sihir. Alicia masih ingin berumur panjang dan meninggal tua secara normal.
"Tapi babi-babi masih harus diurus," kata Semar
"Iya, iya. Aku tidak pernah lupa tugasku, Pak Tua. Aku akan ke desa."
Mereka bertiga berjalan kembali ke Langkankerta. Wisesa memasang jarak agak jauh dari Semar yang dijangkiti oleh "anak asuhnya" yang baru, Alicia Crimsonmane dari Caledonia, Camelot—kendati tak henti-hentinya suara sang lelaki menyamar dengan angin, mengancam untuk mengambil Orb dari Alicia.
Kaki ketiganya terus melangkah keluar hutan hingga menemukan jalan setapak yang lebih lebar menuju desa.
Tidak jauh mereka berjalan dari arah hutan, mereka dapat mendengar pekikan kuda dari jauh. Derapannya begitu ramai, semakin mendekat. Diperkirakan ada sepleton pasukan berkuda yang datang dari belakang.
"Ki Semar!" seseorang berseru sambil menunggang kuda, disusul oleh beberapa penunggang di belakangnya.
"Wisesa," kata Semar. "Coba periksa di belakang kita, siapa mereka? Penglihatanku tidak terlalu baik."
Wisesa yang berada di belakang Ki Semar dan Alicia berlari ke belakang. Sekilas ia melihat pasukan berkuda yang mendekat sebelum dia kembali melapor ke kepala desa.
"Mereka pasukan musuh." []