Chereads / Thaumaturgy (INA) / Chapter 82 - SEMAR RETURNS

Chapter 82 - SEMAR RETURNS

"Lepaskan kedua gadis itu atau aku biarkan dirimu diterkam sendiri," Ki Semar mengancam Boko Rombeng—seperti biasa, dengan nada halus. Orang tua tidak perlu marah meledak-ledak, cukup dengan kewingitannya sudah membuat Boko Rombeng sama bergidiknya saat berhadapan dengan harimau raksasa. Kuda ketua cecunguk berdengus kepadanya, seolah memintanya menurut pinta Ki Semar.

Lurah Tumaritis ini memang bukan sembarang orang—dia benar-benar bukan orang, demikian batin Boko Rombeng. Jika melawan Petruk tanpa kehadiran rekan bandit yang lain saja dia hampir kalah, apalagi menghadapi manusia keramat yang adalah jawara Pulomas dan momok bagi Alas Purwo.

Geram, Boko Rombeng terpaksa mengendurkan kedua tangannya. Alicia yang terjatuh merangkak mendapati Cahyaningrum dan menggotongnya jauh-jauh. Cempaka dan Kiran turut menghampiri Alicia dan membantu membawa teman mereka.

Sementara itu, deraman Barong semakin berderu. Sepasang kaki depan sang harimau mengais-ngais udara yang entah ditujukan kepada Semar yang terbang atau Boko Rombeng yang terancam.

Semar kemudian membanting sang Barong ke tanah! Didorongnya Boko Rombeng kembali masuk dalam kota, lusinan laras senapan telah terbidik di depan wajah sang bandit!

Ketika Barong bangkit, rahangnya menganga. Sesuatu keluar dari mulutnya, ternyata dia hendak berkata-kata.

"Manusia-manusia hina kados diro! Saben lareng keresahan! Pengutuk bumi! Kawula boten badhe jemu-jemu memangsa siro setunggal kageman saking piyambikun sedaya, bumi benjing tentran tanpa siro, wahai manusia!"

"Saliramu tersesat, Barong! Engesta manusia sanesa mengsahmu. Manusialah ingkang kumedah-kedah panjenengan lindungi!" Ki Semar menjawab dalam lidah Yawa.

Barong turut membalas kesal, "Alamlah ingkang kumedah-kedah dalem lindungi! Siro dedea kageman alam malih!"

Orang pasti kesal bukan kepalang jika tak mendapatkan makanan penutupnya, setelah sabar menikmati perjalanan hidangan lengkap. Begitu pula dengan Barong, dia merasa Ki Semar telah merampas hidangan Boko Rombeng berkulit cokelat darinya. Mana mungkin dia mau menggantinya dengan daging alot milik sang kakek?

Kendati demikian, Ki Semar pun juga tak sudi mati disantap harimau. Maka dia pun terbang ke arah si Barong dan menepukkan tangan ke kepala Barong sekali lagi, sehingga terhempaslah dia lalu menggelinding ke dalam hutan, menumbangkan beberapa pohon!

Alicia masih sempat melihat perisitiwa tersebut dan otaknya tak bisa berhenti terheran akan kesaktian Ki Semar. Ki Semar mengambang di udara tanpa sapu terbang, dan dayanya terlampau kuat untuk sebuah tepukan telapak tangan, seperti letupan meriam! Ketertarikan membara dalam diri si gadis, di saat yang sama gidikan bulu kuduk menyambanginya pula.

Barong masih bugar. Ia tetap bangkit bagaikan habis bangun tidur. Akan tetapi harimau berzirah tersebut berlaku aneh tak lama kemudian. Ia menggoyang-goyangkan serta membentur kepalanya sendiri ke batang pohon! Dia menggeru lalu membanting badannya keras ke tanah tanah. Sesuatu merasukinya. Sesuatu ingin mendapatkan kendali atas badannya. Entah itu proyeksi delusi dalam benak si binatang, penyakit kanker otak, atau seekor serangga tersangkut di sela-sela otak yang membuatnya rusak. Barong tidak bisa melanjutkan pertandingan, dia terpaksa melarikan diri ke dalam bayang-bayang belantara.

Kaki Semar akhirnya menapak tanah. Desa Tumaritis bertahan hidup untuk hari esok. Dirinya kemudian berlari ke arah Alicia yang memegang pergelangan tangan sang gadis.

"Nona tidak apa-apa?" tanya Ki Semar.

Melihat segala yang terjadi barusan, Alicia menjawab, "Aku tidak tahu."

"Nona tidak apa-apa," pungkasnya singkat. Ki Semar kemudian beralih ke penduduk yang lain. Beliau menyuruh para penduduk yang selamat agar membawa Cahyaningrum beserta mereka yang terluka ke klinik. Ki Semar menatap perumahan yang telah porak poranda. Akan menjadi hari-hari yang panjang untuk memperbaiki semua rumah tersebut. Namun tak terasa hari sudah rembang petang saja. Mau tidak mau warga yang baru mendapatkan titel tunawisma harus mengungsi. Mereka wajib mengucap setiap syukur setiap hari karena mempunyai Ki Semar yang besar hati sebagai kepala desa mereka. Sanggar pendopo luas milik beliau dapat dibuat untuk menjadi pusat pengungsian bagi mereka yang membutuhkan.

***

Matahari baru saja membenamkan diri. Gareng, Petruk dan Bagong terbaring berjejer di kamar klinik. Sebagai pejuang yang sudah bersusah payah melindungi desa tercinta, mereka bertiga berhak dilayani oleh para perempuan sepanjang malam ini. Tentu bukan melayani yang aneh-aneh, mengingat beberapa dari mereka memang sama sekali tak bisa bergerak.

Alicia dan Kiran, bersikeras untuk menjadi perawat bagi para prajurit yang terluka. Beruntung mereka semua tidak mempunyai luka yang kelewat parah. Ini pun juga menjadi kesempatan bagi Alicia untuk menangani para pasien yang terluka, dibimbing oleh Kiran dan Kanastren, istri Semar. Hal tersebut berguna untuknya kelak di dunia yang tengah berperang melawan sesamanya.

Ke mana Cempaka? Cempaka turut membantu di seksi lain, terutama ia tidak bisa jauh-jauh dengan sahabatnya, Cahyaningrum, yang terbaring di ruangan lain.

Pada satu kesempatan, Kanastren meminta tolong pada Alicia dan Kiran untuk mengirimkan makanan ke ketiga anak asuhnya.

"Wah asik! Kita disuapin oleh Alicia dan Kiran!" kata Gareng kepada saudaranya yang lain.

"Enak saja, makan sendiri!" sahut Kiran.

"Tapi, Kiran, kami terluka! Tulangku patah!"

"Tulang mana yang patah?"

"Kaki."

"Tulang tangan mau dipatahkan juga?"

Gareng menjadi cemberut. "Ah, jahat sekali kamu, Kiran!"

Kiran memalingkan muka. Beruntung pemandangan kamar tergantikan oleh roman wajah Alicia yang tersenyum halus.

"Maaf ya, Gareng. Tapi masih banyak pasien yang butuh perawatan juga," ujar Alicia sembari menyiapkan makanan di meja kecil di atas tempat tidur yang sudah disusun Kiran. "Tapi kudengar kalian bertiga bertarung dengan hebat tadi siang. Semua orang berhutang banyak kepada kalian."

"Dengar? Yah, kalian tidak menonton?" tukas Petruk.

"Mau bagaimana lagi, kami telat dari ladang."

Gareng sudah melahap semua makanan yang ada di meja. Ia tetap mengungkapkan syukur karena setidaknya perempuan berkacamata manis seperti Alicia memberinya makan—meski jika disuap akan lebih baik lagi.

"Para perempuanlah yang berjasa mencegah desa Tumaritis dari penjarahan. Kuhaturkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada kalian. Dewa-dewa berkenan pada kalian," puji Nala Gareng seraya menghabiskan semua lauknya.

"Ya, menembak para penjahat dengan bom asap tadi, benar-benar jenius! Para bandit hampir tak berkutik dibuatnya," puji Bagong pula. "Katakan, apa dan bagaimana kalian membuatnya?"

Kiran menyenggol pundak Alicia. "Oh, anak ini yang jenius. Katakan kepadanya, Alicia."

Perasaan tak enak muncul dari dada. Alicia melayakan sengiran tersipu malu. "Ah, Bagong, itu bukan apa-apa! Hanya didihan campuran bunga Xixin, dan nektar Poretal yang dituang ke dalam bungkusan daun lada Belatangor, dan diselubungkan lagi dengan kertas berisikan kerikil dan fosfor. Kuyakin kamu bisa menciptakan benda yang lebih keren lagi."

"Poretal dan lada Belatangor?" mata Petruk membelalak. "Alicia, itu tanaman langka! Kamu tidak mengambilnya dari kebun milik Ayahanda, kan? Ayahanda sangat menyayangi tanaman-tanaman itu seperti anaknya sendiri! Celaka! Tamat riwayatmu, Nona."

"Pernah suatu ketika Petruk dan Gareng di pukul bokongnya dengan papan kayu karena membawa beberapa tanaman langka untuk dicoba kasih makan ke babi!" timpal Bagong. "Bisa kau bayangkan betapa bodohnya itu?"

Membayangkan bokongnya turut dipukul oleh kakek tua berbadan bungkuk, Alicia jengah setengah mati. "Ah … i-itu! A-anu … B-beliau … tidak mungkin! Beliau pastilah mengerti s-situasi ini … k-kan?"

Ketiga anak Semar bergelak. Betapa lucu dan menggemaskan melihat sang gadis kutu buku tergegap-gegap panik. Nadine, Gilmore, siapapun, di manapun. Pasti saja ada yang gemar mempermainkan gadis polos sepertinya demikian.

"Kami bercanda!" seru Petruk. "Bagian tanaman langka itu tidak bohong, kok. Namun santai saja, mana mungkin dia memukulmu sembarangan."

"Lihat wajah Alicia merah sekali!" Gareng menunjuk Alicia sambil tertawa. Kiran di belakang tak tahan menahan tawa, menutup mulutnya."

"Kalian! Jangan menjahiliku seperti itu!" Alicia menyergah.

Bagong kembali menyahut dengan konteks yang serius. "Tapi tidak bohong. Itu jenius, Alicia. Membuat campuran Xixin dan Poretal menguap dalam daun lada, lalu dipecahkan lewat gesekan kerikil dan ujung korek! Hm, kerikil dan ujung korek. Itu biasa petasan yang biasa dimainkan oleh anak-anak di sini! Kapan-kapan, mampirlah ke bengkelku. Kita bisa merancang benda-benda sihir bersama!"

"B-benda sihir?" Binar pada netra gadis perlahan tampak. "Aku mau ikut!"

"Tidak, tidak …. Bagong hendak mengajakmu kencan di bengkel, bukan cuma mengerjakan kerajinan. Pandai juga kamu," ujar Petruk. "Bagaimana jika dirimu latihan bela diri dengan ku saja? Kelak jika kamu kembali ke Camelot, seisi istana raja Camelot pun bisa kalap kamu buat!"

"Itu berlebihan!" jawab Alicia.

"Sudahlah, Nona. Jangan dengarkan mereka berdua. Berkencan saja denganku." Nala Gareng malah terang-terangan. Tak biasa dirinya mendapat ungkapan demikain, rona merah wajah Alicia makin kentara!

"Bah, bisa apa kamu, Gareng?" tanya Bagong.

"Kamu mau mengajaknya ke mana, reng? Bertapa? Dia duduk bengong di atas batu? Menunggu dia mencapai mokhsa? Nanti badannya hilang, dong?" sambung Petruk terkekeh-kekeh. Giliran Gareng yang malu.

"A-aku bisa membawanya ke manapun dia mau, oke?" sergah Gareng.

Alicia menggeleng-gelengkan kepala. "Kalaupun aku mengingini salah satu dari kalian, kalian ingat, kan? Aku tidak ke sini untuk mencari jodoh."

"Oh iya. Mencari bola sihirmu itu?" kata Petruk lagi. "Ngomong-ngomong, bagaimana perkembangannya? Sudah ketemu?"

Barulah saat Petruk bertanya mengenai Orb, mulut Alicia menganga lebar.

"Demi Pengampunan Ilahi! Bagaimana diriku bisa-bisanya lupa? Malah baru ingat di waktu yang tidak tepat lagi!" Alicia bergumam khawatir. Dia pun bertanya kepada ketiganya. "Kalian melihat Wisesa? Aku harus menanyakan ini dengan Wisesa."

Barulah saat Alicia bertanya mengenai Wisesa, mulut ketiga putra Semar menganga lebar.

Gareng mengerutkan dahi. Ketiga pasien saling bertatap-tatap. "Tentu saja! Anak itu hilang kemana ya dari tadi pagi? Babi-babi di rumah malah aku yang kasih makan!"

"Aduh, jangan sampai dia malah melarikan diri!" Alicia menghela napas berat. "Aku harus segera melapor ke Ibu Kanastren kalau begini!"

"Memang ada apa dengan dia?" tanya Petruk. "Jangan bilang dia yang mencuri bola itu?"

"Kalaupun iya, mengapa aku tak heran. Pastilah ia membawanya ke Alas Purwo!" kata Bagong.

"Berandainya jangan kejauhan begitu! Kamu kok malah membuat Nona Alicia makin gamang?"

"Yah, mau bagaimana lagi. Memangnya siapa di sini yang benar-benar percaya kepadanya? Jangan masukan Ayahanda ke dalam daftar. Sebijak-bijaknya Ayahanda dia pasti akan terjatuh juga."

"Aku malah membayangkan Ayahanda sebagai tupai ketika kau bilang begitu," Gareng menimpali.

Cempaka datang sambil membentak pintu, menemukan kelima anak muda asik bercengkarama. "Kalian semua! Coba tebak siapa yang terlibat perkelahian dengan warga desa untuk kesekian kalinya!" serunya.

Kiran langsung memegang tangan Alicia. "Ayo!"

"Tunggu! Mau ke mana? Siapa yang berkelahi?" Alicia linglung.

"Siapa lagi kalau bukan cowok idaman yang kamu kejar itu?"

"Gurauanmu tidak lucu!"

"Kita mau lihat juga," ujar Gareng, Petruk, dan Bagong bersamaan.

"Kalian … TIDUR DI SINI!" Bentakan Cempaka mendorong badan ketiganya ke kasur.

"Setidaknya kalian bisa rekam, sih," kata Petruk.

"Rekam pakai apa, bodoh?" respon Bagong.

"Lah, makanya cepat bikin alat perekam visual kilat, 'Hesphaistos dari Tanah Yawa'."

"Nih, aku kasih pantat, mau?"

"Bodoh amat!" []