Chereads / Thaumaturgy (INA) / Chapter 81 - DEAD MEN TELL THE TALES

Chapter 81 - DEAD MEN TELL THE TALES

Melihat teman Camelot-nya tertangkap, Cahyaningrum menjadi panik. Ia segera membidik ketapelnya lagi, tapi liukan ular yang adalah tangan Boko Rombeng berhasil menjeratnya juga. Mereka berdua dibawa turun ke tanah.

Cahyaningrum sudah layaknya gadis desa juwita pada umumnya di Lojitengara. Tapi Alicia? Perempuan berkulit lebih cerah daripada segala kembang desa sekalipun adalah peranakan yang lain. Siapa yang tak tergiur akan kulit putih mulus lagi kencang milik nona Europa? Boko Rombeng tergiur. Tak hanya raga, matanya pun sarat syahwat, memandang tubuh sintal gadis berkacamata yang meronta, apalagi bentang wajah manisnya yang dihiasi rambut merah kirmizi. Kacamata bulat yang terpampang menambah kesan perempuan tak berdaya di hadapan sang kepala bandit yang gairahnya menggelinjang. Entah sudah berapa jauh pemikiran aneh yang terlintas di kepala Boko Rombeng. Perangai cabulnya membuat Alicia menggeliat jijik.

"Sugeng sonten, Nona Manis! Tidak pernah aku menemukan seorang dewi di tengah belantara Yawadwipa," goda Boko Rombeng.

"Lepaskan aku!" Alicia berseru nyaring. "Lepaskan, dasar bejat!"

"Melepaskanmu? Tidak, tidak, tidak. Bodohnya aku jika melepaskan tangkapan besar ini!" Wajah Alicia didekatkan, Boko Rombeng mendengus leher sang gadis. Alicia meringis geli. Matanya tertutup akibat tak tahan melawan malu dilecehkan oleh berondong buruk rupa. Cahyaningrum yang ikut terjerat menjerit dengan makian, hanya untuk dihempaskan ke dinding beberapa kali dengan tentakel tangannya, jatuh pingsan.

"Kau tidak mungkin bisa dijual, Nona. Tapi tak masalah. Aku memang tak berniat untuk menjualmu sebagai budak. Kau … akan kujaga baik-baik." Boko Rombeng tertawa pelan.

"Tidak, tidak! Lepaskan aku! Dengus diriku sekali lagi, kupatahkan hidungmu! Seluruh Camelot akan memerangi satu pulau ini jika sesuatu terjadi padaku!"

"Kuharap aku peduli. Diperangi bangsa-bangsa Barat bukan hal baru di Lojitengara. Toh, jika Yawadwipa tenggelam sekalipun, aku masih ada tempat di Negara Bagian Laut Selatan."

Semua gertakan itu tak berarti dari perempuan yang sudah diikat tak berdaya. Boko Rombeng kerap bermain-main dengannya. Keempat bandit segera bergegas mendekati bosnya karena masih tahu diri akan keadaan mereka. Kiran ikut terseret bersama mereka.

"PENJAHAT KURANG AJAR!" Tindakan ini tak boleh dibiarkan, Petruk memaksa diri untuk bangkit! Jawana dan Kuda masih coba-coba menghadang Petruk. Akan tetapi daya hidup yang melemah dari pada mereka memampukan Petruk membuat keduanya terjungkal di depan kaki Boko Rombeng, walau ilmu kanuragannya raib.

Cempaka beserta seluruh penduduk bangkit dan hendak mengejar para bandit. Terbuai akan paras cantik putri dari Camelot, Boko Rombeng tidak sadar ia sebenarnya berada di ujung tanduk.

Maka kedua tangan Boko Rombeng memperkuat lilitan Alicia dan Cahyaningrum. Keduanya mendesah sakit. Ia memberi ultimatum kepada Petruk dan seluruh desa, katanya, "Petruk! Jangan coba-coba dekat, kau! Tidak juga kepada kalian semua. Kalau tidak patuh, kuremukkan dada mereka berdua!"

Kayuhan kaki Petruk tidak berhenti, malah larinya semakin kencang!

"Kalau mereka berdua mati, tidak ada jaminan untukmu selamat!"

"Bajingan, kau sangat menyusahkan!"

Boko Rombeng mengulurkan tangan yang melilit Cahyaningrum cepat untuk mengalihkan Petruk. Ingin Petruk memutuskan tangannya dengan kapak yang ia rebut dari Kuda Galangdewa, namun dirinya tak berhati-hati ketika tumit Boko Rombeng menyergapnya dari sisi kiri Petruk. Alhasil Petruk diterajang dan ambruk sekali lagi ke tanah. Kaki Boko Rombeng pun lanjut menghantam kepalanya agar tubuhnya tetap tengkurap dalam lumpur!

"Sialan, para gadis tadi menggagalkan rencanaku. Tapi mendapatkan dua perempuan mulus lebih baik daripada tidak sama sekali! Anak-Anak, kita mundur dahulu!"

Petruk tunduk dalam ketidakberdayaan. Bagong ikut menguatkan diri untuk berlari mengejar gerombolan Boko Rombeng. Kedua gadis kerap berteriak meminta tolong seraya ketua bandit meraih kudanya dan bersiap kabur dari desa.

Namun, kuda Boko Rombeng membuat mereka bertiga terjengkal, terkejut akan gelegar auman yang memekakan telinga. Penduduk setempat pun turut mematung dengan rasa ketir. Raungan sekeras guntur badai di langit mendung tergelap bergemuruh sekali lagi. Seekor harimau buas tak mungkin mengaum sebegitu nyaring. Sudah menerka mereka semua mahluk apa yang mengaum demikian.

Terkaan mereka mengatakan bahwa itu bukan raungan sembaran hewan.

Kelompok Panca Gendheng menengok ke kiri dan kanan. Mereka melirik ke pintu gerbang. Sudah pasti gema nyaring tersebut berasal dari batas desa. Kelimanya serasa dihimpit dari penduduk desa dan apapun yang ada di luar kampung tersebut!

"Bagaimana ini, b\Bos?" tanya Abimanyu.

Alicia menukas pembicaraan, "Entahlah, jika kalian melepaskan kami, mungkin apapun yang ada di balik hutan tidak akan—Hmmpphh!"

Lengan Boko Rombeng kembali berpilin dan telapak tangannya menyumpal bibir sang gadis Crimsonmane.

"Bodo amat! Siapkan saja kuda kalian! Kita kan berlima, kalian takut apa?"

"Tapi Bos, tenaga kami terkuras habis," jawab Mandera. "Kami tidak bisa mengeluarkan jurus apapun."

Jawanan Priyadakusumo melirik lubang cetbang miliknya yang kosong melompong. Ia menggelengkan kepala kepada sang bos, mengamini pernyataan Mandera.

Belum selesai, mereka seperti mendengar suara gemericing logam dari kejauhan, makin lama makin dekat sebelum suasana sunyi lagi. Boko Rombeng hanya bisa merungus. Ia pun memilih mengambil resiko dan mulai berkuda lagi. "Jika kita ditangkap oleh para penduduk, tamat juga kalian. Jangan menjadi banci! Segera menjauh dari sini!"

Belum saja Abimanyu hendak membuka mulut, rumah di hadapannya tiba-tiba hancur, dan seekor binatang buas raksasa melesat melewati mereka! Kian cepat hewan raksasa tersebut, tak ada yang tahu wujudnya saat ia menyambar Abimanyu dan masuk menabrak dinding perumahan di sisi seberang! Abimanyu raib dalam lorong-lorong rumah, mewariskan jejak darah yang memanjang masuk ke dalam bangunan. Jeritannya yang memudar adalah kata-kata terakhirnya.

Penduduk dari kejauhan sudah terseok-seok kalut. Mereka mencari perlindungan di balik gerbang rumah Lurah Semar. Alicia kerap berteriak di balik sumpalan tangannya, Kiran juga demikian, sementara Cahyaningrum masih di alam mimpi. Celana Mandera si bandit sudah diguyur cairan bau pesing saking takutnya. Keempat bandit menaiki masing-masing kuda dengan sekujur tubuh gemetaran. Kaki karet Boko Rombeng lebih kentara getarannya, karena mirip senar gitar yang dipetik hantu.

"Hiyah, hiyah, hiyah!" Keempat bandit sudah cepat-cepat mencambuk kuda mereka.

Alangkah sial mereka, gemericing tadi kembali terdengar!

Seraya bunyi logam semakin dekat, binatang buas tadi muncul kembali dari rumah yang lain dan menangkap seekor kuda beserta tunggangannya, Mandera Adjiesaka! Kejadian itu terlalu cepat, kelewatan cepat! Sepersekian waktu kemudian mereka hanya dapat melihat jelas baik Mandera dan Kudanya melambung tinggi dari arah berlawanan. Butuh intervensi dewa-dewa jika bandit malang tersebut hendak bertahan hidup dari kejatuhan dari langit. Masalahnya, tak perlu menjadi seorang pertapa suci untuk mengetahui para dewa pun sedang tidak bekenan kepada kumpulan bandit Panca Gendheng—apalagi setelah bentuk kefasikan yang mereka perbuat barusan.

Sebaliknya, dewa-dewa menaruh kasih pada Kiran. Ia terhempas dan selamat secara ajaib!

Pacuan kuda dari mereka yang tersisa sudah melaju menuju gerbang. Alicia dan Cahyaningrum masih dililit di tangan Boko Rombeng. Sudah tak peduli lagi bandit-bandit tersebut. Tiada waktu tersisa untuk mencari cara melawan monster itu. Mereka hanya harus memelesat melawan angin, berharap yang terbaik.

Takdir tetap berkata lain. Harapan terbaik bagi seorang bandit seperti Jawanan adalah melihat rupa monster tadi secara jelas saat keluar dari semak, hanya untuk diterkam dan dibawa lari lagi ke dalam belantara rimbun!

Monster tadi semakin berani! Dia tidak bermain kucing-kucingan lagi. Setelah urusan rahasia dengan Jawanan terselesaikan, melompatlah dia menghalangi dua bandit terakhir. Boko Rombeng dan Kuda Galangdewa menarik tali kekang kuda mereka sekuat tenaga.

Keduanya tahu betul apa yang mereka tatap di depan mata mereka. Harimau dengan warna jingga gelap berloreng hitam dan putih. Di kepalanya menjulang konstruksi gapura pelik dari emas—sebuah mahkota kebangaan yang agaknya ampuh mengintimdasi segenap insan. Di bawah mahkota tersebut terterkual lempengan emas yang melingkari leher penuh surai hitam. Zirah emas beruas-ruas serta manik-maniknya menyelimuti punggung hingga ekornya sekalipun. Kesan mistis makin kentara saat harimau berlapis aurum melenggak-lenggok lehernya lincah dengan sorot mata yang sebaliknya, bergerak kaku. Ia tidak seperti harimau kebanyakan.

"Barong …," kata ketua bandit lirih.

"Brrmghh?" gumam Alicia, mulutnya masih tersumbat ketat. "Brrmghh! Brrmghh, slmmthhh mphhh!"

Kuda Boko Rombeng disuruh mundur. "Hadang mereka Kuda, alihkan waktu sebentar," perintah Boko Rombeng.

"BOS!" Kuda komplain. "A-apa-apan itu? Kalau aku mati gimana?"

"Ya jangan mati, Tolol! Tunggu sampai aku lewat baru kau ikut lari!"

Permainan kata seperti itu bukanlah mainan baru dalam dunia penjahat. Itu adalah bentuk penyerahan tumbal agar yang lain dapat kabur menikmati jatah yang bersangkutan. "Semakin banyak (jatahnya), semakin meriah", bukan?

"Persetan denganmu, Mulut Sumbing!" ucap Kuda sembari membelokkan kudanya, memotong jalan lewat hutan rimba. "Biarkan Barong melahap kalian bertiga!"

Namun, Barong ingin melahap keempat-empatnya.

Barong berderam! Dia pun menyabet putus keempat kaki kuda Kuda dengan kibasan ekornya yang maha perkasa! Ibarat menara roboh, begitu pula kuda malang itu terjerambab sembari mendengking. Keempat kakinya yang tercurah deras darah kental dikayuh-kayuh di udara, karena mendiamkan kakinya di tanah membuat sang kuda makin tersiksa. 'Kuda' yang lain, yaitu Kuda Galangdewa mengalami patah kaki akibat ditimpa kudanya sendiri. Nasibnya sudah sama dengan kelinci buruan yang terjerat.

"Menjauh! MENJAUH!" Kuda menyayat-nyayat udara dengan kerisnya. Barong tak peduli. Ia menepis keris sekaligus pergelangan tangannya ke dalam semak belukar!

Kini Barong terdiam di depan muka Kuda, menunggu akan sesuatu. Tidak ada tanggapan khusus dari Kuda selain menangis seperti bayi, meminta mohon kepada dewa-dewa (kadang memaki mereka) dan menyebut ibunya. Tangan buntung bukanlah masalah besar bagi Kuda lagi ketika kepalanya sudah masuk terowongan gelap mulut Barong yang bau anyir. Barong tampak senang memainkan mangsanya. Ia perlahan menekan kepala Kuda. Bunyi retakan dan lolongan tangis Kuda bercampur aduk. Tengkorak Kuda terus digencet oleh kedua rahang Barong sampai remuk seperti telur pecah. Cairan otak muncrat dari sela-sela gigi harimau raksasa berzirah! Barong lanjut menelan isi kepala bandit tersebut. Kedua kuda sudah tak bernyawa.

Untung Alicia menutup matanya saat peristiwa itu terjadi, dan untung juga tubuh tak berkepala Kuda tak terlalu tampak, terhalang oleh kudanya. Sungguh, tak ingin dirinya semakin gila karena melihat banyak darah dan adegan mutilasi.

Lain halnya dengan Boko Rombeng. Padahal dia punya segala waktu di dunia untuk mengambil jalan pintas masuk ke hutan-hutan. Alih-alih demikian, dia hanya memakirkan kudanya jauh ke belakang dan menyaksikan anak buahnya sendiri dilahap oleh monster legendaris. Syok dalam dirinya tidak mengijinkan dia untuk kemana-mana. Agaknya mekanisme dalam tubuhnya sengaja berbuat demikian atas kehendak dewa-dewa, agar ia cepat dibikin mati.

Boko Rombeng masih sayang nyawa, tapi ia juga sayang sama calon budak barunya itu. Maka ketika Barong yang baru selesai menjamu diri berbalas tatap lagi dengannya, dia menyodorkan Cahyaningrum. Alicia berteriak dan menggelengkan kepala, berusaha sekuat tenaga menyadarkan Cahyaningrum. Inilah bentuk keputusaaan ketua bandit yang berpeluh. Sekalipun dia bisa berayun dari pohon ke pohon dengan kakinya, Barong sesungguhnya adalah manifestasi Kilat Sang Penjaga Petir.

Barong berlari kencang menuju arah Boko Rombeng, Cahyaningrum, dan Alicia. Entah dari mana seorang kakek bungkuk melayang dan menjadi penengah di antara mereka. Tangan Ki Semar ternyata sudah mencengkram batang hidung sang Barong, dan kain baju Boko Rombeng pada tangan satunya lagi! []