Keempat gadis tiba di batas tanah milik Ki Semar. Empat petak ladang padi menguning menyambut mereka. Setelah melewati sawah, perkebunan buah-buahan juga menggoda mereka untuk berhenti sejenak dan mencicipi buah manisnya. Namun tujuan mereka masih lurus di depan—Sebuah bangunan rumah kaca, mungkin satu-satunya bangunan berasitektur barat yang pernah dilihat Alicia di Tumaritis. Sari buah manis dapat menunggu terlebih dahulu.
Ki Semar pastilah gemar berkebun. Rumah kaca yang cukup lapang itu rupanya berisikan koleksi tanaman aneh yang lumrah terdapat di hutan, namun tak wajar jika ditanam berbarengan pohon-pohon buah di luar layaknya tanaman hias.
Tidak lama setelah menjajaki vista pancarona kebun raya milik sang lurah, langkah mereka pun terhenti. Di hadapan mereka tampak kotak berisikan kuntum bunga berwarna hijau, dengan awan nebula tertempel di tengah-tengah kelopak.
"Bunga Xixin!" seru Alicia yang sontak berbinar.
"Kamu tahu bunga xixin?" Kiran bertanya.
"Tanaman yang dapat mengisap mana keluar!"
"Mana? Apa itu?"
"Uh …, daya hidup?"
"Daya hidup, benar! Ki Semar biasanya menggunakan tanaman-tanaman di sini dari keperluan pengobatan sampai perdukunan. Kami pernah diajarkan cara meracik tanaman agar menjadi obat maupun racun."
Alicia kembali bertanya-tanya, "Tapi kalau kita membutuhkan xixin, berarti bandit ini adalah seorang penyihir?"
"Xixin tidak harus berlaku untuk penyihir saja. Orang-orang yang bukan sahir juga dapat merasakan efek daya hidupnya bocor keluar."
"Kita dapat mengoleskan hasil tumbukan ini di keris atau benda tajam lainnya. Cairan yang masuk dalam luka akan menuntun daya hidup kabur dari raga seseorang," Cempaka membantu menambahkan.
Namun Alicia hanya melihat dua puluh tangkai bunga xixin di pot tersebut. Mereka tahu dua puluh tangkai itu terlalu sedikit untuk dibuat senjata pencuri mana. Cairan yang keluar dari bunga ini ketika ditubruk sangat sedikit. "Dimengerti. Tapi … memangnya ini cukup?"
Bagaimanapun juga waktu terus berjalan menuntut para gadis untuk tak ambil pusing. Cahyaningrum cepat-cepat mencabut semua kuntum di wadah tumbuhan. Cempaka mengambil cobek dan ulekan dan langsung mengulek semua kelopak yang sudah dicabut.
"Semoga saja ini cukup, dan semoga para bandit itu bukan tandingan ketiga putra Ki Semar, karena jujur saja dengan semua bunga ini, aku yakin tak cukup—"
"WAHH! KALIAN TAK BILANG KI SEMAR PUNYA TANAMAN PORETAL!" Alicia rupanya sudah melalang buana sampai di ujung bangunan kaca. Satu pot kecil berisi bunga berkelopak raksasa yang mengatup sudah ia pegang di tangannya, berlagak pamer.
"ALICIA, JANGAN SENTUH TANAMAN ITU!" Kiran membesut. "Itu seksi khusus untuk Ki Semar saja. Semua tanaman di sana langka!"
"Tentu saja ini langka!" tanggap Alicia singkat. Bagaikan anak kecil, ia berlarian ke meja di tengah ujung kebun. Di meja tersebut tersimpan beberapa peralatan alkimia, tempat ulekan tadi diambil. Belum puas dirinya menjelajah, Alicia memelesat ke kebun lada Belatangor, tanaman langka lainnya. Petak kebun lada itu dibatasi oleh kerangkeng yang untungnya tak dikunci. Sebuah peringatan kecil bahwa tumbuhan itu tak hanya langka (dan mahal) tapi juga membawa celaka jika tak dijaga dengan hati-hati. Namun kali ini Alicia tidak kemaruk. Ia hanya mengambil beberapa helai dedaunan tanaman tersebut alih-alih buahnya menggunakan sarung tangan khusus yang ia renggut dari meja alkimia pula.
"Alicia, kamu ini kenapa sih? Ini lagi gawat, tahu!"
"Aku tahu! Makanya kita perlu semua ini!" jawab sang gadis berkamacata. "Cahyaningrum, jangan balur senjata kalian dengan xixin, bawa ulekanmu tadi ke sini."
Cahyaningrum dengan patuh merebut hasil tumbukan kelopak tanaman tadi, yang sudah susah payah diulek oleh si tomboy Cempaka.
"Hei, apa yang kau lakukan? Kita butuh tumbukan xixin itu!" Cempaka protes.
Alicia sigap merebut cobek dan ulekan tadi dari tadahan tangan Cahyaningrum. Ia menuangkan pasta halus tersebut ke dalam bejana kaca bulat beserta cairan nektar kental dari katupan tumbuhan poretal yang ia peras. Api dalam tungku dinyalakan dengan korek api kayu, dan di atasnya terdapat hamparan pasir sebagai penghantar panas. Di situlah Alicia memutar-mutar gelas kaca tersebut dalam miniatur padang gurun gersang.
Setelah diputar-putar selam beberapa saat, Alicia mendiamkan wadah tersebut di tengah pasir. Ia mengeluarkan semua isi kotak korek api kayu dan mengumpulkan kerikil-kerikil di tanah. Kerikil-kerikil tersebut Ia haluskan lagi dengan ulekan meski tak sehalus bubuk pasir. Dia juga menghaluskan lapisan fosfor pada mancis setelah dipisah dari kayunya.
Teman-temannya menghampiri sang gadis, dua dari tiga di antara mereka memasang muka masam. Seolah lupa akan dunia, Alicia mengubrak-abrik lemari alkimia, dan menemukan padanya segulung kertas yang ia potong-potong menjadi bentuk segi empat.
"Baiklah, apa-apaan ini? Apa yang sedang kamu buat?" tanya Kiran dengan roman tegang.
Alicia tidak menangkap perangai marah Kiran karena matanya masih terpancang pada wadah kaca tersebut, seolah menanti suatu mukjizat akan muncul di dalamnya. (Tidak juga, dia hanya kegirangan memandangi cairan dalam botol.)
"Mengolesi senjata kalian dengan bunga xixin yang sudah halus tidak efektif apalagi jika kalian hanya punya dua puluh tangkai, bukan?" tutur Alicia. "Belum lagi kalian harus mengenai para bandit itu denga pisau kalian."
"Permisi, apa maksudmu—"
"Maaf, aku tahu. Bukan maksudku meremehkan kemapuan beladiri kalian. Pastilah kalian lebih piawai daripada aku. Hanya saja, terkadang, sedikit akal dapat mengubah keadaan secara drastis!"
Kiran, Cempaka, dan Cahyaningrum saling menoleh. "Baiklah, jadi bagaimana 'akal' ini bekerja untukmu …?"
"Taukah kalian mengapa tanaman ini disebut 'poretal'? Karena tanaman ini ditemukan oleh botanis Ville d'Ys bernama Agnès Liontine Poretal! Dan lebih mengesankan lagi, kebetulan namanya adalah poretal karena kamu tahu … 'portal pori-pori!'"
Sayang tak ada jangkrik di dalam rumah kaca ini untuk menyokong permainan kata-kata sang gadis. Manusia tidak bisa pintar sekaligus lucu di saat yang sama. Kiran dan Cempaka malah makin bingung akan gelagat si kutu buku ini. Hanya Cahyaningrum, perempuan kemayu yang menangkap maksud lelucon garing gadis Crimsonmane. Dia pun kian bersemangant meniru Alicia. "Oh! kau ingin cairan ini bisa masuk ke tubuh tanpa harus melukai lawan dengan melewati pori-pori?"
"Tepat sekali!" Alicia mengacungkan jempol. Senang rasanya ketika ada yang mahfum. "Kandungan senyawa poretal dapat melebarkan lubang pori-pori, yang mana bukan hanya memampukan cairan ini masuk, tapi nantinya juga membuat mana seseorang keluar. Belum lagi nektar poretal yang mendidih dapat menjadi katalis bagi larutan bunga xixin. Lawan yang terkena racunnya dapat mengalami kelelahan tiga kali lebih cepat! Ngomong-ngomong bantu aku. Pakai sarung tangan, dan tolong ikat dedaunan lada Belatangor ini menjadi bulatan kecil, buat satu lubang terbuka di sisi atas. Dan tolong, jangan sampai daunnya menyentuh kulit kalian!"
Kini ketiganya turut serta dalam hipnotis perempuan Crimsonmane. Mereka memasang sarung tangan, namun ketika mendengar peringatan dari Alicia akan dedaunan Belatangor, mereka agak ragu-ragu.
"Alicia, kuharap kita tidak menghabiskan banyak waktu di sini untuk sesi alkimia ria! Kita ada desa untuk dibantu!" ucap Cempaka.
"Makanya, itulah guna daun tersebut." Alicia masih berkutat dengan bejana kaca tadi. Cairan bunga xixin dan nektar poretal mulai berbuih. "Aku sengaja memanaskan cairan poretal agar nektarnya menjadi lebih encer. Titik didih nektar poretal rendah, jadi memanaskannya tidak butuh waktu lama. Tapi aku butuh cairan tersebut menguap menjadi gas dan itu butuh lebih banyak waktu. Bungkusan lada Belatangor ini mengunci suhu pada cairan tersebut agar terus dimasak sampai akhirnya menguap dan menjadi gas saat kita tiba di desa!"
Ketiga sisya Kanastren begitu cakap dalam menganyam dan membentuk daun-daun tersebut menjadi selongsong proyektil natural. Kerajinan tangan dan kesenian adalah salah satu cabang ilmu yang turut diwariskan istri Ki Semar kepada mereka, jadi janganlah heran. Tidak butuh waktu lama mereka sudah berhasil menghasilkan sepuluh bola daun lada!
"Sebanyak ini yang bisa kami buat," kata Kiran.
"Ini saja sudah cukup! Dan lihat, cairannya mendidih."
Alicia mengambil penuang bercorong dengan saluran kecil. Dengan hati-hati, ia menuang cairan tersebut satu per satu ke dalam bola-bola tersebut supaya jangan sampai ada satu tetespun terbuang percuma. Semua bola daun telah terisi, Alicia membungkusnya lagi dengan potongan kertas yang sudah ditaburi campuran fosfor dan kerikil.
"Voila!" Alicia berucap bangga. Wajahnya berbinar, padahal kulitnya sudah putih. "Dan kita hanya perlu menembaki mereka dengan ketapel kalian. Mereka tak akan menduganya!"
Melihat usaha keras mereka, Ketiga perempuan agaknya cukup kagum dengan pengetahuan Alicia. Alicia harus menjadi guru pendamping mereka nanti ketika liburan telah usai. Belajar pengetahuan luar dari orang luar itu sendiri terasa jauh lebih otentik dan dapat dipercaya!
"Sungguh, darimana kamu belajar semua ini?" tanya Cahyaningrum kepada Alicia.
Alicia menanggapi sambil memasukan pelur-peluru tadi ke dalam tas kecil. "Mama mengajarkanku, dan aku suka alkimia. Menjadi seorang alkimia rasanya hampir sama seperti seorang penyihir."
"Tapi kamu kan memang seorang puan sihir?"
"Sebelum mendapatkan bolaku? Tidak, aku bukan puan sihir. Oh, dan teknik ini biasa dipakai penyihir-penyihir kalangan atas di daerahku untuk berburu, tapi versi mereka ditambah obat tidur. Kebanyakan dari mereka menghindari penggunaan senjata api, dan lebih memilih menyusahkan diri dengan meracik ramuan alih-alih berburu dengan mantra. Wizard tanah barat terkadang kurang kerjaan, memang."
Semua peluru sudah dikemas. Kiran pun mengajak mereka bergegas kembali ke Tumaritis. "Semua sudah siap! Sekarang cepat kembali ke desa!"
"Hei, kita tidak mau berbicara strategi dulu?" Alicia baru teringat sesuatu.
"Bukankah lebih baik kita membicarakannya sambil di jalan?" balas Kiran.
Dan begitulah mereka menyusun taktik selama perjalanan pulang, sehingga tampaklah jerih payah mereka ketika menyergap kelima bandit tersebut: Alicia dan Cahyaningrum sebagai penembak misterius di atas genteng, sementara Kiran dan Cempaka yang lincah sebagai pengalih perhatian.
Sayang sekali strategi mereka tidak terlalu matang. Ketika para bandit diserang tembakan pencuri mana, tiga putra Semar harusnya bangkit melawan. Kenyataannya, mereka pun tampak selemah para penghuni desa. Eksekusi akhir melawan raja bandit Boko Rombeng pun terlihat terburu-buru, alhasil Alicia kehabisan peluru dan tangan Boko Rombeng berhasil mengikat dirinya. []