Chereads / Thaumaturgy (INA) / Chapter 79 - THE RAID

Chapter 79 - THE RAID

Lima orang. Hanya perlu lima orang saja untuk memporak-porandakan desa Tumaritis dengan segala pasukan bersenjatanya.

Kelima bandit berpencar, agar para prajurit terpecah belah pula. Nampak ketiga putra Ki Semar ikut mempertahankan kedaulatan desa kecil ini. Gareng dan satu unit prajurit berembuk dengan dua bandit di sisi timur. Petruk berada di tengah desa, melawan seorang sang kepala cecunguk, sementara Bagong bermain dengan dua penjahat lain di sayap kiri kampung.

Desa Tumaritis tak jauh beda dari pemandangan perang sihir wizardry di dataran Europa. Lontaran hulu ledak dan bunga api melayang di mana-mana. Perbedaanya ialah prajurit-prajurit dan para bandit tidak saling menembak sihir dari ranting kayu.

Mereka saling beradu tembak menggunakan senapan bedil …, dan cetbang.

Memang tak main-main. Para penduduk di tengah desa benar-benar terjebak di medan tempur. Mereka hanya dapat merunduk di rumah kayu mereka yang rapuh, menunggu serpihan hulu ledak menghancurkan dinding sewaktu-waktu. Yang tak sempat masuk ke rumah lebih parah lagi. Mereka meringkuk di tanah seolah pasrah dibedil. Tak jarang cecunguk jahanam yang usil sengaja menembak mereka yang menjadi kadal merayap.

Bagong adalah permata pandai besi di mata semua penunggu Tumaritis. Semua serdadu desa dilengkapi persenjataan lengkap karenanya. Bagong pun tak terkecuali; ia membawa cetbang yang dapat dipegang dengan tangan untuk dirinya sendiri, diadukan dengan cetbang milik seorang penjahat. Tembakan dibalas tembakan, bangunan runtuh dibalas bangunan runtuh pula. Sayang bagong berbadan kecil; tiap kali ia mendentum cetbangnya, ia selalu saja terlempar mundur!

Bagong terpikir untuk membuat versi meriam yang lebih kecil setelah tubuhnya menghantam tumpukan jerami.

Di lain tempat terdapat adegan tangan bertemu tangan, dan kaki bertemu kaki. Seorang buruk rupa berpakaian hijau menantang Petruk. Kulitnya kusam karena daki, bermata satu dan bekas luka pada bibir menandakan ia dilahirkan sumbing. Demikianlah dua orang—Petruk dan ketua cecunguk—menari dalam pertarungan sengit. Mereka beradu ilmu kanuragan serta tangan kosong sampai keduanya bertabrakan badan! Di kala mereka saling dorong mendorong, berkatalah pempimpin cecunguk itu, "Kukira harusnya kau berkelana mencari pendekar untuk diadu. Mengapa kau malah di sini? Apakah dirimu sudah cukup umur, 'Kakek'?"

Petruk cuma bisa tertawa. "Oh, ya. sebenarnya dua orang kerdil itu mengalahkanku, Boko Rombeng." Petruk menujuk kedua saudara tirinya, padahal tangannya sedang didorong melawan Boko Rombeng, pemimpin bandit. "Ah, sombong sekali kamu, mengira bisa melawan aku!"

"Orang yang mengalahkanmu akan menjadi tiga orang. Maka bersiaplah menanggung malu! Dan kematian!" Ketua geng mendorong Petruk lalu melentangkan tangannya lagi ke depan. Badan putra Ki Semar yang jangkung sekonyong-konyong terlilit oleh lonjongan daging berkulit—tangan si Boko Rombeng sendiri!

"Keempat. Kamu cuma jadi ranking empat, sungguh memalukan. Bagong dan Gareng mendaki posisi dua dan tiga. Bapakku itu orang pertama yang mengalahkanku dengan kentutnya."

Ingin Boko Rombeng menghempas Petruk ke berbagai arah. Namun apa daya, Petruk menguatkan diri sekokoh batu. Semakin sang kepala bandit menarik, tanah pijakan Petruk pecah dan Petruk kian kokoh. Dia seolah sudah menyatu dengan bumi.

Boko Rombeng geram. Petruk yang mulai berjalan ke arahnya dalam keadaan terlilit membuatnya semakin berang. Tiba-tiba mata Boko Rombeng bernyala-nyala, memancarkan cahaya ungu! Lehernya memanjang dan menjulur ke arah Petruk. Dia menggoyang-goyangkan lehernya sendiri, memberikan gaya supaya kepalanya dapat menghantam Petruk ibarat memalu paku ke kayu!

Semakin dekat murka kepala Boko Rombeng menuju si putra Semar. Petruk menggoyang-goyang badannya santai, hingga kedua tangannya dapat lepas dari lilitan. Kepala dengan mata nyalang sudah tiba dan Petruk segera menancap lubang hidup Boko Rombeng dengan kedua jarinya! Pekik Boko Rombeng menahan sakit ditambah malu! Petruk sengaja menekuk jarinya yang masuk saluran pernapasan agar menjadi kail yang susah lepas. Ia menarik kuat-kuat hidung Boko Rombeng sehingga dia tampak seperti pria berkumis bermoncong babi.

"Lepasin, tidak? Lilitanku lepasin!" perintah Petruk sambil cemooh.

Boko Rombeng yang gengsi melolong, "Tidak akan! Kubunuh kau di tempat!"

Tangan si ketua geng mencengkram perut Petruk semakin terik.

"Hadeh, malah dibikin ketat. Lagian ini ajian jenis apa, sih?"

Petruk kerap berjalan dan sudah tepat berada di depan badan Boko Rombeng. Ikatan tangan semakin kencang, dan Petruk mulai kesulitan bernapas. Tapi bagi Petruk, seribu satu cara pun sudah ia dapat untuk mengusili lawannya, dan dia memilih satu yang tak senonoh.

Petruk memainkan buah zakar Boko Rombeng dengan irama jarinya yang dibuat gemulai. Kemudian ia mengusap-ngusap biji pelir ibarat telapak tangannya hendah mengunyah buah dari 'pohonnya'!

Sebagai orang yang masih punya martabat, Boko Rombeng tentu terkejut. "WEH, WEH, WEH! NGAPAIN KAMU DENGAN BUAH ZAKARKU, BANGSAT?"

"Apa? Diriku cuma mengecek kalau kamu masih seorang 'lelaki' kok," balas Petruk. "Tapi kamu tahu kan aku punya ajian Brajamusti? Kalau kamu tidak mau melepaskanmu…," Petuk meringis, "siap-siap selangkanganmu hancur kubuat!"

"Jangan kau coba-coba! Ku remukkan tulangmu sebelum engkau sempat melakukan sesuatu—"

"Mana aku peduli! Nih liat, tanganku sudah siap nyentil bijimu! Kalaupun aku mati, ragasukma-ku masih bisa melakukan ajian ini, hehehe."

"S-Sialan kau!"

Semakin erat lilitan tangan milik Boko Rombeng.

"Eh, eh, malah ngelunjak. Ini liat bijimu ini! Satu … dua …."

Buah zakar Boko Rombeng bergoyang sendiri. Ada suatu gaya yang meliputi buah zakarnya sampai-sampai keringat bercucuran di wajah sang cecungut.

"BANGSAT!"

Lilitan tangannya kendur lalu menjauh dari tubuh Petruk. Leher Boko Rombeng hendak kembali seperti semula, tapi jari Petruk masih tertancap di hidungnya. Sayang seribu sayang dirinya ditipu oleh putra Semar. Secepat halilintar Penjaga Petir, Petruk mengayun-ayunkan badan Boko Rombeng seperiti komidi putar! Nanar menyerang kening Rombeng yang menderita. Dia pun menggunakan kakinya untuk menangkap salah seorang dayang yang mencoba kabur. Kini Boko Rombeng ikut berputar dengan seorang gadis yang menjerit-jerit. Petruk tersadar, namun belum sempat ia berhenti, Boko Rombeng melemparkan raga dayang tersebut ke Petruk. Ketiganya terhempas ke lain arah!

Boko Rombeng mendarat indah dengan kaki panjangnya yang membentuk gulungan. Petruk dan perempuan tadi tersungkur masuk rumah orang. Untung perempuat tadi tidak apa-apa, namun dia jatuh kelengar.

"Kurang ajar, malah pakai perempuan buat dijadikan tameng. Pengecut!" seru Petruk.

"Lah, loh, heh? Namanya bertarung ga cuma adu otot saja dong. Harus adu siasat. Gimana sih kamu?"

Mereka berdua bersiap untuk ronde dua. Tapi ronde itu dibatalkan ketika kedua perhatian teralih pada suatu portal awan hitam di tengah langit. Ada orang terjatuh dari portal itu, tak lain tak bukan adalah si Gareng!

Ambruknya Gareng di tanah disusul dengan bangkai sapi yang turun menghantam kakinya.

"ADUHH! KAKIKU! OH TIDAK! SAPINYA MATI! ADUHH! KAKIKU!" meraung-raung si Gareng. Suara retakan tulang dapat didengar oleh mereka yang dekat. Sudah pasti Gareng jadi lumpuh.

Setelah portal tersebut menutup, dua orang badit hadir dari arah timur desa. Dua orang bandit yang melawan Gareng sebelumnya. Sejumlah penduduk pun tertawan pula bersama mereka.

"Hebat kalian, Mandera dan Abimanyu! Sekarang bantu aku buat menundukkan si Petruk ini!"

"Gareng! Tumben, kamu? Lagi bosan atau kenapa?" Petruk berseru kepada Nala Gareng.

"Jeleh matamu, jancuk!" balas Gareng. "Hati-hati dengan dua orang tadi. Salah satunya bisa membatalkan semua jenis ajian! Merana diriku tak bisa sihir lagi!"

"Waduh, gawat! Tapi siapa empunya ajian itu? Mandera atau Abimanyu?"

"Mana kutahu, Cuk! Aku bertarung dengan mereka, bukan mengajak bertamu!"

"Ckckck … kebiasaan kamu."

Petruk pun bertanya kepada Boko Rombeng, "Yang bisa membatalkan ajian yang mana?"

"Itu, si Abimanyu, yang pakai baju hijau—HEI! APA MAKSUDMU BERTANYA KEPADAKU, HAH!" Boko Rombeng kembali gusar. "Mandera! Abimanyu! Kalahkan dia!"

Kedua bandit, Abimanyu dan Mandera berlari ke arah Petruk. Petruk pun ikut berlari dengan tangan terkepal. Namun ia belum mencapai mafum jika portal tadi adalah perbuatan bandit yang satu lagi, Mandera Adjiesaka.

Mandera dengan sigap membuka portal awan mendungnya ke hadapan Petruk. Petruk yang awalnya hendak melompat untuk melancarkan serangan malah menemui dirinya berada di tengah langit! Ia pun berteriak ketika meluncur kebawah, sementara Abimanyu bermata terang mengeluarkan jurusnya ke Petruk. Petruk sontak kehilangan kekuatan saktinya dan bernasib sama dengan Gareng!

Hampir saja Bagong terlupakan. Bagong menyusul kedua saudaranya dengan terlempar dari sisi kiri bagaikan proyektil ketapel. Kedua bandit dengan meriam cetbang mereka berhasil melumpuhkan Bagong, serta membawa seisi penduduk dari sayap barat tertawan di tengah-tengah desa. Di antara penduduk tadi juga hadir Kanastren, istri Ki Semar dan sosok ibu bagi anak-anak asuhnya. Tidak ada lagi prajurit yang terlihat. Semua pasukan bersenjata itu pasti sudah tak sadarkan diri, kalau tidak mati.

"Kamu bagaimana, Bagong?" Gareng masih sempat-sempatnya melontarkan pertanyaan.

Bagong menyahut, "Dua orang ini aneh! Yang satu menembakkan energi ungu dari cetbang tanpa batas! Nggak perlu peluru! Yang satu lagi lebih aneh. Dia … berubah wujud jika diberi serangan tertentu."

"Semuanya aneh." Petruk ikut berkomentar. "Ini bukan kanuragan biasa. Semua kemampuan mereka bahkan serasa bukan ajian!"

"Kelimanya memang tak seperti penggiat kanuragan, sih," jawab Gareng.

Bagong pun terpikir akan sesuatu. "Jangan-jangan … partikel Protos!"

Ketiganya sudah bisa menebak kodrat lima cecunguk tersebut. Boko Rombeng yang menguping hanya terkekeh-kekeh.

"Memang sudah terlanjur bodoh kalian ini!" ucap Boko Rombeng. "Apalah guna kalian bersemedi bertahun-tahun di antah berantah hanya untuk mempelajari satu ilmu, jika itu semua bisa dilakukan dengan sebongkah batu hitam mujarab?" Tangan kusamnya merogoh lubang leher baju guna meraih bongkahan partikel Protos. "Dengan kekuatan mandraguna ini, Aku, Boko Rombeng, serta seluruh geng Panca Gendheng akan menjadi bandit yang paling ditakuti di seluruh Yawadwipa, bahkan Lojitengara!"

Boko Rombeng tertawa jahat, ala penjahat keji klasik kelewat generik. Bandit-bandit lain pun turut bergelak. Mereka merasa menjadi seorang puaka adalah puncak ekstasi hidup.

Para bandit tertawa tanpa kenal waktu, sampai tiga bersaudara yang terduduk di tanah pun nimbrung buat terkekeh juga. Gareng menggerakkan rahang sapi yang sudah mati agar yang lain tahu bahwa binatang pun ingin meramaikan suasana menggembirakan ini.

Mendengar kekehan tak terduga dari anak-anak Semar, kepala bandit berhenti tertawa dengan gelagat bingung, sementara ketiganya belum mau berhenti tertawa lepas. Jangankan Boko Rombeng, warga lain juga terheran-heran akan manusia-manusia sedeng ini.

"Kok kalian ikut tertawa sih, Asu?"

"Ya, mau bagaimana lagi? Tertawa itu menular, Boko Rombeng," sahut Petruk.

Hanya ketika suasana tawa itu selesai, ketiganya kembali dengan perangai marah. Bagong sudah mengerutkan alisnya sambil membentak, "Kalian Panca Gendheng biadab! Apa keperluan kalian di desa ini?"

Perubahan watak yang tiba-tiba ini membuat Boko Rombeng mencari penjeleasan lewat mata anak buahnya. Anak buahnya juga tak habis pikir. Gara-gara dipengaruhi Ki Semar, ketiga pria ini pun ikut gila!

Jawab Roko Rombeng kepada mereka, "Atas restu Kesunanan Alas Purwo dan Ratu Panggeraknegara Lojitengara—yang mana sebenarnya kami bodoh amat—beliau mengijinkan kami merampok daerah-daerahnya di wilayah Barat, terutama Tumaritis yang katanya desa paling makmur! Kami akan mengambil harta kalian, serta beberapa tubuh sintal perempuan di sini agar dijual sebagai budak di tanah timur! Tidak hanya itu, kami dijanjikan seratus ratus ribu rupya untuk masing-masing kepala keluarga Semar! Kuda Galangdewa, seret wanita kesayangan mereka!"

Kuda Galangdewa, bagian dari Panca Gendheng merampas sebuah tangan dari kerumunan. Diseretnya Nyai Kanastren ke depan. Sembari menahan tengkuk wanita tersebut agar tetap merunduk, Kuda mengeluarkan sebilah kapak dari sarungnya.

"Weh, gendheng! Gila kamu! Lepaskan ibu kami!" Ketiga anak Semar tenggelam dalam murka.

"Tapi kalau kulepas, nanti seratus ribu rupya ku hilang!" ejek Boko Rombeng puas.

"Kalau kepala ibu kami lepas, kepala kalian semua yang hilang!" Petruk hendak bangkit, tapi kekuatannya masih raib. Ketiganya masih lemah. Belum lagi pijaran kecubung dari laras meriam bandit di kanan mereka bernama Jawanan mengancam siapapun yang ingin bergerak walau senjengkal saja.

"Hei, hei, begini," tutur Boko Rombeng lagi. "Toh, kalian juga sama-sama mati kok. Kalau kalian berempat mati duluan, akan lebih mudah saat menghadang Semar. Sabar ya, Anak-Anak. Sebentar saja!"

Kuda Galangdewa bersiap mengayungkan kapaknya. Kanastren hanya pasrah menerima takdir jika para dewa berkehendak demikian.

Saat kapak sudah berada di belakang kepala Kuda, sesuatu meletus di dahi Kuda, mengeluarkan asap kuning yang menutup seluruh rupanya! Kuda kalang kabut, lalu dirinya mendadak lelah. Mengangkat kapak pun ia tak sanggup. Apa isi asap kuning itu barusan?

Suara tapak kaki datang dari lorong-lorong desa. Dua perempuan dari kedua sisi mengusili Abimanyu di kanan dan Jawanan di bagian kiri! Jawanan hendak menembakkan meriam ke satu perempuan tadi, sebelum proyektil berasap kuning menghantamnya dari belakang! Ada sensasi melepuh begitu kentara di punggungnya, kemudian disusul dengan gairah yang menurun drastis. Pendaran pada cetbangnya padam. Langkah Jawanan terhuyung-huyung!

Begitu pula dengan Abimanyu. Ia melepaskan kekuatan ke perempuan tadi, namun tidak ada efek apapun membawa celaka pada perempuan ini. Dia bukan seorang puan sihir rupanya! Mandera mengarahkan portal di depan Abimanyu agar perempuan tersebut tertangkap dalam dekapannya. Usaha tersebut berhasil, namun Abimanyu malah kena bedil asap kuning dari penembak misterius. Tembakan tersebut sebenarnya meleset, hanya mengenai tanah di depan sang bandit, namun asap kuning menyusup ke lubang hidung. Abimanyu pun mengalami kelelahan pula.

"Abimanyu! Kenapa kamu ini? Jangan bermalas-malasan begitu!" seru Mandera.

"Tidak bisa, aku … pusing! Aku harus bersandar, Mandera!" balas Abimanyu.

"Sialan, bisa-bisanya kalian keok oleh petasan! Darimana asal serangan itu, Anjing!" gusar Boko Rombeng sembari teriak-teriak.

Sebuah suara perempuan mengabulkan permintaan mereka. Menggunakan Bahasa Umum perempuan tersebut memerintah, "L-lepaskan mereka semua atau kubuat kalian lebih merana!"

Tidak ada yang mengerti Bahasa Umum di desa ini terkecuali orang-orang terpelajar seperti keluarga Semar, dan kepala geng, Boko Rombeng. Suara penembak misterius tersebut dan tembakan-tembakan sebelumnya berasal dari atas. Mandera menelisik genteng-genteng dengan matanya. "Bos, di atas genteng!"

Kiran yang dicegat Mandera menjatuhkan bola kertas yang mirip dengan peluru yang menyerang para bandit. Mandera tak sadar, Kiran sontak menginjak bola tersebut dan asap kuning menyembur melumpuhkan Mandera, dan Kiran, sayangnya.

Perempuan berkacamata berambut merah tertiup semilir angin sudah menodong para bandit dengan ketapel. Alicia Crimsonmane-lah penembak misterius itu! Bukan hanya dia, Cahyaningrum pun turut menembak dari sisi seberang. Di tangan Mandera tertangkap Kiran. Berarti yang berhasil kabur dari unit bandit satunya lagi adalah Cempaka.

"Kurang ajar, bocah-bocah ini! Siapa kalian?"

Alicia dan Cahyaningrum menjawab dengan tembakan beberapa mercon ke Boko Rombeng. Raga ketua cecunguk ini licin bukan main. Ia dengan mudahnya meliuk-liuk ditengah bombardir asap tanpa satupun bagian tubuhnya kena, semua berkat tubuh elastisnya. Tembakan yang membuang semua peluru secara percuma! Alicia kini sudah kehabisan amunisi! Giliran Boko Rombeng yang memanjang kedua kaki hingga dirinya tinggi menjulang, lalu mencegat gadis Crimsonmane dengan lilitan tangannya yang gesit.

"Oh, sial!" []