Pagi hari buta. Bumi Yawa masih berselimut kabut dingin. Tanaman-tanaman pot depan teras terlanjur basah oleh embun segar. Tepat di atas genting langit masih cemani tanggung, semakin ke timur semakin membiru lalu terbakar surya bangun. Alicia sudah berdiri di perkarangan, memandangi lukisan gradien pada kanvas digantara mahakarya Sang Khalik.
Alicia sudah mendapatkan tidur yang nyenyak. Santapan malamnya begitu sedap, ditambah dengan hangatnya keluarga Semar yang jenaka. Kini tubuhnya serasa mengambang tiap kali udara segar itu masuk lubang hidungnya. Hari ini dirinya punya aktivitas penting. Aktivitas yang ia namakan "OPERASI RAHASIA TERSEMBUNYI"!
Di hari yang baru ini pula, disambut oleh teguran sang lurah yang ikut keluar rumah. Ki Semar tak hanya datang sendiri. Di tangannya sudah tergenggam sebuah tali guna membawa seekor kuda coklat. "Tidakkah terlalu dini menunggu Kiran, Cempaka, dan Cahyaningrum pagi-pagi begini?"
"Ki Semar, selamat pagi!" sapa Alicia ramah. "Aku sungguh tidak sabar mencari Orb. Andai saja aku tahu dimana mereka tinggal, mungkin aku sudah menarik mereka keluar!"
"Waduh!" Ki Semar kaget. "Apakah orang Camelot punya kebiasaan seperti itu?"
"Cuma bercanda!"
Sengiran tulus itu masih terpampang pada wajah orang tua itu. Beliau melewati Alicia agar membuka pagar, sambil berkata, "Ada-ada saja kamu. Para gadis pasti sedang mengurus rumah juga sekarang. Kembalilah tidur, biar istri saya yang akan membangunkanmu nanti."
"Sungguh, aku tidak apa-apa!" Alicia membalas beliau. "Ngomong-ngomong, Ki Semar mau kemana ya? Pergi ke ladang?"
"Tidak. Saya mendapatkan laporan dari seorang kurir tadi subuh kalau kereta bantuan persediaan yang hendak dibawa ke desa lain terjebak di tengah jalan. Karena itu, saya beserta beberapa prajurit harus ke sana untuk memastikan masalah logistik ini tak lebih dari kereta yang mogok, bukan yang macam-macam."
"Begitu. Desa Lengkankarta cukup dermawan, ya?"
"Kurasa di saat sulit seperti ini, tiap desa harus saling mendukung. Yang lain pasti telah memberitahumu situasi sekarang, bukan?"
"Sudah."
Ki Semar memasang pelana dan naik ke punggung kudanya itu. "Tapi sebelum itu, biasanya saya mengunjungi anak saya yang lain dahulu. Dia tinggal di luar batas desa, jadi saya harus selalu memeriksanya tiap pagi."
"Yang Tuan maksud si Wisesa itu ya?" tebak Alicia.
"Kamu sudah berkenalan dengannya?"
"Ketiga putra Anda yang memberitahuku."
"Sudah kuduga. Ya, sekali lagi, ku haturkan maaf kalau nona merasa tidak nyaman dengannya. Dia memang punya banyak kesulitan, dan orangnya agak tertutup."
Alicia masih tak habis pikir mengapa alih-alih meminta bantuan dari orang terdekat, si Wisesa satu ini lebih memilih makan gaji buta sembari berdiam diri di gubuk luar kampung yang rawan penyergapan tanpa mengenal hari.
"Sebenarnya akulah yang ingin meminta maaf karena sudah menuduhnya yang tidak-tidak. Apa aku boleh ikut juga, Ki Semar?"
Ki Semar dengan entengnya menjawab, "Tidak boleh."
Alicia tidak yakin disebabkan oleh wajah murah senyum Semar. "Ki Semar, serius?"
"Benar-benar serius," kata si lurah lagi. Nadanya memang lembut tapi seolah ada kewingitan dalam tiap kata yang terucap yang menekankan kesan tegas kepada sang gadis.
"Mengapa tidak boleh?" Gadis kutu buku itu memasang wajah melas.
"Dia tidak suka banyak orang mengunjunginya. Hanya saya yang boleh diijinkan berkunjung. Yah, karena saya yang pada dasarnya memenuhi segala kebutuhannya. Tak mungkin dia akan kurang ajar pada saya, bukan?" Ki Semar tertawa.
Ki Semar menambahkan, "Namun tenang, Alicia. Saya akan menyampaikan permintaan maafmu. Lebih baik lagi, ketika dia datang mengurus babi nanti, saya suruh dia berbicara dengamu. Bagaimana menurutmu, Nona?"
Seperti ada yang tak beres dari hubungan Ki Semar dan Wisesa ini. Barangkali ada sesuatu yang disembunyikan oleh sang lurah murah senyum ini, yang makin lama makin mencurigakan saja untuk ditengok.
Atau, Alicia, seperti gelagatnya akhir-akhir ini, senang 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘶𝘳𝘪 𝘣𝘢𝘣𝘪 𝘩𝘶𝘵𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯—Menggunakan hidung untuk mencium sesuatu yang bukan urusannya. Sang gadis masih tahu diri, maka ia mengambil kesimpulan terakhir. Alicia mengangguk setuju, dan disusul dengan salam Ki Semar seraya mencambuk kuda keluar gerbang.
Beberapa jam kemudian, Kiran, Cempaka, dan Cahyaningrum menyambangi pendopo rumah tempat Alicia bersemayam. Telah diketahui mereka ketiga adalah bagian perkumpulan sisya didik kanastren, istri Ki Semar. Dan di pendopo itulah, sebuah sanggar dibangun untuk mengajarkan para perempuan berbagai ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dunia luar, diajar langsung oleh sang istri lurah yang notabene adalah seorang sarjana. Sarjana teladan dan mulia, nyaris tak ada cela keluarga ini.
Mereka bertiga setuju untuk membantu Alicia mencari Orb karena kebetulan hari ini adalah hari libur. Maka setelah semuanya bersiap, mereka berempat melanglang buana ke pelosok Tumaritis dan sekitarnya. Tujuan pertama mereka adalah mencari dua petani yang menemukan Alicia yang terbang arwahnya di ladang jelai waktu itu.
Kebetulan Kiran, layaknya seorang intel mata-mata, berhasil menemukan keberadaan dua petani tersebut. Benar kata Ki Semar, kebanyakan pesawah pergi menginap di ladang akhir-akhir ini. Sekarang adalah masa panen. Sudah menjadi kebiasaan bagi pekerja ladang waswas seperti mereka menginap di persawahan, menjaga tanaman mereka agar tak dimakan hama apalagi dipanen orang tak bertanggung jawab. Mereka pun berangkat ke kebun dan menemukan dua petani itu dari pos mereka menginap, hendak ke arah yang sama.
"Biar kami yang berbicara kepada mereka, Alicia," ucap Kiran. "Bisa kamu deskripsikan rupa benda ajaibmu itu?"
"Bilang saja bola kaca dengan sinar biru," jawab Alicia singkat.
Para perempuan langsung menghadang dua petani tersebut. Mereka mengajukan pertanyaan, satu petani menoleh dan mendapati Alicia berdiri di belakangnya, melambai.
Tidak berlangsung lama percakapan itu. Kiran kembali ke Alicia dan bilang kepadanya, "Mereka bersyukur gadis cantik sepertimu baik-baik saja. Sayangya mereka tidak tahu apapun tentang bola ajaib."
Alicia menunjukkan wajah gelisah. "Oh tidak … apa kamu yakin?"
Cempaka dan Cahyaningrum masih sibuk bertanya jawab dengan mereka—lebih tepatnya, interogasi. Gadis kutu buku sihir itu dapat menerka betapa pembicaraan antara mereka semakin lama semakin pelik dan panas. Cempaka yang ketomboian terdengar menekan kedua petani, sedangkan dua petani bersahaja tak kuasa dengan kegarangan sang gadis, memohon kepadanya.
Cempaka pun menyimpulkan pembicaraan tadi. "Mereka bersumpah mereka tidak tahu apapun tentang bola sihir apalagi menemukannya dekat tubuhmu waktu itu!"
"Tapi … ahh tidak mungkin Orb tidak bersamaku jika tetua Broin mengirimkanku dan Orb ke tempat yang sama …." Gadis Crimsonmance makin buncah, racauannya keluar lagi.
"Antarkan aku ke ladang tempat diriku ditemukan. Aku akan mencari Orb dari sana!" pinta Alicia kepada para petani. Kiran menerjemahkannya dalam lidah Yawa.
Jarak pos penginapan dan ladang jelai hanya beberapa menit jalan kaki jauhnya. Bersama para petani, keempat gadis pun tiba di gelombang laut emas milik jelai-jelai yang sudah masak ditiup angin. Mereka dibawa ke suatu petakan sawah yang terdapat suatu bagian kosong. Titik kosong itulah bekas Alicia ditemukan, dan tumbuhan-tumbuhan yang dulunya tertanam di titik itu mati tertimpa tubuh sang gadis. Dari situ Alicia dan yang lain mengelilingi ladang guna mencari bola kesayangannya.
Setengah jam berlalu. Kemudian sejam berlalu. Matahari sudah menjadi perkasa, melayang tepat di atas ubun-ubun. Nafas Alicia sudah tersengal setelah 'berenang' dalam kolam jelai di sekitar petak ladang. Beberapa kali dia berputar di sekitar petakan tersebut yang tak terlalu luas. Ia bahkan sampai pindah ke area yang lain persawahan, mengitarinya beberapa perputaran. Air wajah kekecawaan menyiratkan hasil penemuannya.
"Maaf Alicia, sudah kami cari juga di segala tempat, tetap nihil," tutur Cahyaningrum. "Para petani setempat juga mengaku tak menemukan apapun."
Alicia tetap memasang wajah tegar kendati masih tersirat kemurungannya. Ia mendesah tak puas. "Ya sudahlah, kita istirahat dulu untuk sekarang. Maaf merepotkan kalian, Teman-Teman."
Belum lama mereka hendak duduk di saung terdekat, seseorang dari kejauhan memanggil-manggil keempat gadis tersebut. Ternyata orang itu tak lain tak bukan ialah salah satu petani tadi. Ia mengucapkan sesuatu dalam bahasa Yawa seraya didengar oleh para sisya secara seksama. Kiran, Cempaka, dan Cahyaningrum mengerutkan alis. Salah satu menepuk jidat, yang lain menggeleng dan memijat batang hidung.
Kiran menerjemahkan pembicaraan tadi ke perempuan asing Camelot. "Kamu tidak akan percaya ini. Kata petani itu, dia teringat saat dalam perjalanan membawa perbekalan dari desa, ia sempat berjumpa dengan putra mahkota Alas Purwo yang datang dari arah ladang, tempat kamu ditemukan."
Kiran mengucapkan "putra mahkota Alas Purwo", persis seperti yang diucapkan oleh petani tersebut.
Merasa selangkah lebih dekat ke titik terang, Alicia menghujani sang sisya dengan pertanyaan. "Maksudmu Wisesa? Apakah bapak petani itu menyebutkan dia habis darimana? Adakah dia membawa sesuatu atau semacamnya?"
"Alicia, orang itu sangat benci berbicara dengan sesamanya manusia. Tapi menurut petani tadi, kemungkinan dia datang dari persimpangan—tempat ladang padi Ki Semar berada—untuk mengumpulkan sekarung dedak sebagai pakan babi."
"Persimpangan yang kita lewati itu? Itu tak jauh dari ladang ini!" Alicia pun gusar. Ia mondar-mandir dengan wajah yang mulai menampakan keberingasannya. "Gawat, Aku harus mencarinya! Jangan-jangan ia menyembunyikan Orb dalam karung makanan babi. Dasar terkutuk, kukira aku cuma salah tuduh saja karena buta. Tidak seharusnya ia mempelakukan Orb seperti itu, awas saja!"
Cahyaningrum mengusap pundak perempuan Camelot itu agar reda amarahnya. "Hei, tidak apa-apa, Alicia. Kita bisa melaporkan ini ke Ki Semar atau Nyai Kanestren, agar laki-laki itu ditanyai ketika ia datang ke rumah."
"Tidak bisakah kita langsung ke rumahnya saja?" balas Alicia.
"Tapi … tak ada yang tahu dimana tempatnya tinggal."
"Tunggu. Kalian juga tidak tahu?"
"Hanya Ki Semar saja yang tahu. Wisesa tidak pernah—apalagi mau—mengundang kami ke rumahnya."
Gusar sang gadis terpaksa ditahan dulu. Angin di tengah terik panas masih sejuk; udara masih sesegar pagi. Ia memanfaatkan itu untuk mengendurkan urat pelipis yang menegang.
"Baik. Oke. Kita kembali ke rumah. Kita tunggu laki-laki itu datang."
Alicia dan yang lainnya menapak kaki menuju pulang. Derap kaki gadis berambut merah tampak terburu-buru. Ingin rasanya tangan halusnya itu menampar-nampar wajah mengesalkan milik sosok Wisesa ini.
"Aku tahu ini pertanyaan bodoh. Tapi bisakah kamu menceritakan mengapa kamu begitu sayang sama bola sihir ini?" Cahyaningrum bertanya sembari merangkul Alicia yang merengut. "Itu seperti bola peramal atau semacamnya, bukan?"
"Tidak … itu bukan bola peramal. Tidak ada yang namanya bola peramal, itu cuma trik murahan seorang penipu," Alicia mengoreksi Cahyaningrum. Sesudah napas selanjutnya dihela, dia menjelaskan, "Bola ini namanya Orb. Ya, namanya benar-benar cuma Orb secara harfiah, jangan komplain. Dan Orb … ah sudahlah, Orb itu punya kekuatan Arcane."
"Arcane? Kekuatan apa itu?"
"Kau tahu, Arcane—kamu tidak tahu?"
"Mengapa? Apakah itu penting?"
Belahan dunia di mana orang tak tahu apa itu Arcane! Sudah ditentukan, ini adalah satu-satunya suaka tempatnya bernaung sekarang. Mendengar tanggapan Cahyaningrum pula, Alicia terdiam seribu bahasa. Mungkin saja karena mereka bertiga bukan puan sihir. Tidak semua orang seperti Alicia, yang suka mengubrak-abrik grimiore untuk menghabiskan waktu, namun tak pandai menggunakannya sama sekali.
Tapi tunggu dulu, barangkali hanya para gadis belia ini saja yang tak tahu.
"Intinya, itu kekuatan langka yang dapat digunakan untuk melawan ancaman luar yang telah dinubuatkan," jelas Alicia.
"Ancaman luar yang dinubuatkan?" Ketiga sisya terjebak dalam bingung
"Intinya, di tempat asalku ada sebuah ramalan bahwa ada kegelapan yang akan menghancurkan bumi. Bagaimana rupanya aku belum tahu. Yang pasti untuk menghadapi ancaman itu, butuh enam penyihir anomali di seluruh dunia untuk mengalahkannya. Aku salah satunya dengan kekuatan bola istimewa itu."
"Itu … premis yang bagus, Alicia" kata Kiran.
"Ini sungguhan, tahu! Makanya aku harus mencari Orb! Kalau aku tidak menemukannya, seluruh dunia dalam bahaya!"
Kiran agak pesimis akan penjelasan sang gadis. Ia mengira dirinya mengandai-andai seperti anak kecil. Ancaman berupa kegelapan dan enam penyihir anomali. Bukannya tidak mungkin, tapi berdasarkan perkataan sang gadis berkacamata, penjelasannya tetap sulit dipercaya. Kiran bertanya-tanya kalau Alicia ini gadis normal. Perempuan Camelot ditemukan berimbah darah busuk, meracau tentang druid, bola ajaib, dan ancaman yang tak tahu wujudnya. Dia pasti mengalami peristiwa yang begitu mengerikan sehingga ia merangkai cerita fantasi sebagai mekanisme kopingnya!
"Baik, baik, maaf," ujar Kiran. "Kalau begitu, alasanmu berada di sini adalah karena penyihir terhebat di sekitar sini yang dapat membantumu melawan kegelapan?"
"Kalian seperti tidak pernah melihat sihir atau ilmu gaib, ya?"
"Tidak, tidak, bukan begitu. Itu makanan sehari-hari di sini. Ki Semar dan ketiga anaknya itu kan orang sakti. Sudah sering Ki Semar melawan para dukum ilmu hitam yang hendak membawa wabah ke desanya. Tapi melihat dirimu harus berkeliling dunia mencari penyihir tertentu dan menyelamatkan dunia? Entahlah, bukankah itu terlalu … besar untuk seorang remaja sepertimu?"
Alicia menghela nafas. "Mau bagaimana lagi. Gara-gara Orb aku harus melalui ini."
"Lalu, terkait penyihir di sini bagaimana?" tanya Cempaka.
"Oh, iya. Aku menemukan petunjuk lokasi beberapa penyihir, salah satunya di Lojitengara. Aku agak bingung penyihir seperti apa dia, tapi yang kutahu dia adalah sosok harimau besar. Lalu apa lagi …? Matanya melotot, taringnya lebar, berjanggut hitam dan mengenakan zirah? Sungguh harimau tak biasa."
Sontak langkah ketiga sisya terhenti. Mereka memandangi gadis berkacamata terheran-heran.
"Teman-teman? Apa aku mengucapkan sesuatu yang salah?"
Mata Kiran, Cempaka, dan Cahyaningrum masih nyalang terhadap Alicia. Mereka mendekatinya perlahan, mengelilinginya.
"Kamu sedang tidak bercanda, kan?" tanya Kiran lagi.
"Sudah kubilang, aku serius! Lalu, kenapa kalian mendekatiku seperti ini?"
Cempaka tiba-tiba mencengkram kedua pundak Alicia. "Kamu tahu tidak, kamu sedang membahas apa?"
Wajah sarat kekhawatiran akan tatapan para perempuan yang berkilat-kilat, Alicia hanya bisa menggeleng kepala.
"Kamu baru saja mendeskripsikan Barong," sambung Cahyaningrum.
"Entah jika ini kebetulan atau tidak, tapi aku dari kemarin sangat ingin tahu siapa Barong yang selalu kalian sebut itu."
"Itu! Yang baru kamu sebut, Alicia!" Suara Kiran naik setengah oktaf. "Demi dewa-dewa, jika penyihir yang kamu maksud adalah Ki Semar mungkin aku tidak keberatan. Tapi Barong? Barong itu monster haus darah! Suka makan orang!"
"Bagaimana kamu bisa bekerja sama dengan mahluk haus darah?" seru Cempaka.
"Hei, tunggu. Setidaknya beritahu aku apa itu Barong!"
Cempaka membuka sesi cerita, "Barong bukanlah sekedar hewan ganas yang bersemayam di hutan lebat. Dia adalah mahluk magis! Ia sangat membenci manusia. Begitu membenci, sampai-sampai ia tak mau makan daging paling lezat sekalipun jikalau itu bukan daging manusia! Sekitar dua dekade yang lalu, kurasa, Alas Purwo berhasil menangkap Barong tersebut, kemudian dirasuki ke dalam tubuh seorang bayi sebagai senjata mistis melawan Pulomas! Sialnya, beberapa tahun sebelum sekarang, manusia Barong lepas kendali dan membunuh seisi warga Wejengmusti—kota dalam wilayah Alas Purwo. Ketika bala bantuan datang, mereka disambut oleh sisa tulang belulang seluruh warga di sana! Barong pasti sudah mengadakan pesta makan malam di kota untuk dirinya sendiri!"
Cahyaningrum melanjutkan, "Dan konon Barong sekarang bersemayam di dalam hutan-hutan Pulomas untuk mencari mangsa. Barong biasanya muncul saat malam, atau kapanpun ketika seseorang tersesat di hutan. Jikalau orang tak beruntung itu adalah dirimu, menyerah sajalah. Dia terlampau gesit dan kuat, kamu tidak bisa kabur dari Barong! Dia akan memutuskan kakimu dalam satu cakaran! Kemudian sambil menjilat kakimu seperti permen, dia berjalan perlahan mendekati mu yang merayap. Dia akan merampas kakimu yang satunya lagi dengan taringnya yang menjulur keluar, lalu tanganmu kiri, tanganmu kanan, dan seluruh tubuhmu bagian atas!"
"Ketika tinggal kepalamu, dia akan mengangkatnya, mengarahkan matamu ke matanya yang mendelik-delik. Dia ingin melihat penderitaan di mata tersebut, meminta ijinmu supaya boleh dibunuh. Dia bermain-main dengan kepala orang, Alicia! Jika sudah diberi ijin, barulah Barong memasukan kepalamu ke dalam rahangnya dan memuncratkan otakmu dengan ditimpa kedua sisi rahang!" Tambahan lainnya dari Kiran.
Alicia menentang mereka. "Itu tidak masuk akal! Bukankah korban pasti sudah mati dahulu ketika hampir bagian tubuhnya buntung karena kehabisan darah?"
"Kamu lupa, Alicia?" balas Kiran. "Barong itu mahluk mistis. Ia bisa membuat orang terpaksa hidup biarpun seluruh anggota tubuhnya hilang, biarpun darah habis mengucur! Dia punya sihir."
Terdengar menyeramkan. Di luar akal juga. Barangkali cerita ini dibuat-buat untuk menakuti pendatang asing seperti Alicia ini. Bagaimanapun, karena pembawaan mereka yang kelewatan, Alicia malah merasa tidak terlalu takut. Tenang, tunggu saja sampai ia bertemu dengan mahluk tersebut secara tatap muka. Jika tulang-belulang hidup di Vanir saja membuatnya terbirit-birit, yang ini akan membuatnya mati kaku.
"Jika benar apa yang kalian katakan, maka aku harus menyadarkannya agar dia bertobat dan ikut denganku!" ujar Alicia enteng.
"TIDAK! SINTING KAMU!" Ketiga sisya berteriak bersamaan. "Inti cerita tadi adalah jangan pernah cari penyakit. Barong itu bukan mahluk yang bisa diajak beralasan. Dia diciptakan untuk berperang melawan manusia!" hardik Cempaka.
"Barong sudah banyak membunuh orang-orang di Pulomas, termasuk di Tumaritis," Cahyaningrum menambahkan. "Banyak dari kaum kami yang jadi korban. Pamanku, sepupunya Cempaka, keluarga jauh Kiran …."
Kala Cahyaningrum berkata demikian, Cempaka dan Kiran menundukkan kepala.
"T-tapi … dari penglihatanku, itu penyihir yang harus kutemukan." Alicia menjawab Cahyaningrum.
"Penglihatanmu salah. Coba cek lagi. Cari penyihir lain!"
"Mana bisa begitu!"
Selagi berdebat, beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak lari dari arah desa sambil membawa anak-anaknya. Mereka memberi peringatan kepada para sisya dan Alicia kemudian lanjut mengayuh kaki mereka kencang. Belum lama setelah mereka melesat, ricuh dan ringkihan terdengar dari jauh.
"A-ada apa di sana?" Alicia gamang.
"Gawat! Sekelompok bandit menjarah desa!" kata Cahyaningrum.
"Sial, sial! Ulah Kasunanan Alas Purwo, pasti! Keluarga kita masih di sana! Ki Semar kok malah tidak ada di desa, sih?" rengut Kiran.
Cempaka pun menanggapi, "Kita harus menemukan keluarga kita. Semoga saja cuma bandit karbitan yang masih bisa dihadapi para prajurit dan anak-anak Semar!"
"Alicia, kamu boleh kembali ke ladang dulu sampai situasi sudah kondusif. Kami akan menjemputmu lagi," kata Kiran kepada Alicia.
Alicia diliputi rasa kagum akan perempuan pemberani tersebut. Walau takut setelah menjadi pembawa cerita monster pemakan manusia, ketakutan itu tak bisa jadi halangan mereka menemukan mereka yang malang. Mengikuti arahan mereka yang sudah membantunya sejauh ini akan menjadi tindakan paling egois pernah Alicia lakukan. Alicia tidak mau melakukan itu. Ia tak akan memaafkan dirinya sendiri jika berbuat demikian.
Tanpa Orb sekalipun, sang gadis sudah membulatkan tekad. "Jangan begitu. Aku ikut dengan kalian!"
"Serius? Memangnya kamu bisa bela diri?" tanya Kiran.
"Sedikit?"
"Ya sudahlah. Cempaka, dan Cahyaningrum senjata kalian selalu kalian bawa, kan?"
Keduanya memamerkan sebuah belati dan ketapel dari balik selendang pinggang mereka.
"Bagus! Kalau begitu, pertama-tama kita harus ke kebun Ki Semar dahulu!" Tanpa pikir panjang, mereka berlari ke arah persimpangan.
"Ada apa di kebun Ki Semar?"
"Kamu lihat saja nanti!"
Betapa Ilahi telah mengutuk mereka saat tiba di gerbang desa tercinta. Jika mereka menemukan prajurit-prajurit bergelimpangan di muka gerbang desa, dan awan menjadi gelap karena asap di segala penjuru membumbung tinggi, satu hal yang pasti: Mereka butuh lebih dari sekedar kemampuan bela diri. Semoga apapun yang mereka lakukan di kebun Lurah Tumaritis cukup untuk mengusir para bandit. []