"Aw …. K-kepalaku … pening …. D-dimana aku …?"
Tiada hari tanpa rasa sakit, dan Alicia baru saja mendapatkan rasa sakit lainnya. Netra sang gadis masih terlampau berat untuk dibuka. Wewangian semerbak yang memasuki celah hidung membuat Alicia siuman dari pingsannya yang kesekian kali. Pertama kali gadis kutu buku dapat mengingat dirinya semaput selama enam belas tahun hidupnya, dan dia malah "ketagihan" melakukannya terus menerus. Gadis aneh.
Kelopak matanya sekali lagi mengungkap mata merah cemerlang bagai batu delima. Penglihatan buramya menangkap dua sosok wanita; yang satu tampak memperhatikannya dengan penuh kekhawatiran, yang satunya lagi sedang mengobrak-abrik sesuatu di atas meja. Alicia memicingkan mata. Sia-sia, indera visualnya tak lebih jelas dari semula. Tangan kirinya hendak menggapai sesuatu, namun ia hanya mendapati tembok bata ringan. Giliran tangan kanan yang mengawang-ngawang, tetap nihil.
Perempuan yang tepat di sebelah Alicia berucap ke perempuan lain di belakang, "𝘔𝘣𝘰𝘬, 𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘸𝘢𝘥𝘰𝘯 𝘪𝘬𝘪 𝘸𝘪𝘴 𝘦𝘭𝘪𝘯𝘨!"
Wanita di belakang tadi bergegas ke ruangan lain.
"K-kalian bicara apa …? Aku dimana? K-kacamataku …!"
Perempuan tadi menoleh ke Alicia, kemudian menanggapinya dengan bahasa ibu Alicia, "Tidak apa-apa. Kamu baik-baik saja. Minum ini dulu."
Segelas minuman hangat disodorkan kepada Alicia. Ia tak tahu minuman apa itu; warnanya putih keruh hampir coklat, dan terdapat bau rempah yang tajam. Sang gadis tak dapat bangkit karena nyeri di dadanya, maka wanita tadi memandu tubuh Alicia agar terduduk, dan bibirnya dibimbing untuk menerima cairan tersebut. Sang gadis hanya pasrah. Namun seteguk saja cairan itu masuk, sang gadis langsung merampas gelas dan menghabiskannya sendiri. Dirinya sampai terbatuk-batuk karena meneguk terlalu cepat.
"Aduh, Nona, pelan-pelan!"
"Maaf. Ini … pedas … tapi enak," jawab Alicia tersipu.
"Syukurlah kamu menyukainya. Sekarang, kembali berbaring."
"T-tunggu! Kacamataku dimana?"
"Maaf, tapi kacamatamu sudah retak saat mereka menemukan dirimu."
"APA? Oh tidak, tidak. Jangan bercanda, itu tidak lucu! Bagaimana aku bisa melihat nanti?"
Sang perempuan tadi meletakkan telapak tangannya ke dada gadis berambut merah. Ada sebuah gaya tak biasa yang mendorong tulang belakangnya kembali menyentuh kasur tanpa perlawanan sedikitpun.
"Jangan khawatir, Nona," katanya, "Kami akan membuatkan yang baru untukmu."
Tapi Alicia malah menanggapi persoalan lain, "Hei, bagaimana kau melakukan itu—"
Belum selesai ia berkata, pintu terbuka pelan di depannya, mengungkapkan wanita sebelumnya dengan dua wanita baru, dan seorang pria tua. Seharusnya seorang pria tua, namun karena penglihatan Alicia tak sebagus penampilan matanya, apa yang dapat ia tangkap adalah perawakan nenek-nenek berbadan bungkuk, perut buncit, dada bergelambir dan bokong besar. Sang gadis baru tersentak ketika suara yang keluar dari yang ia anggap sebagai wanita manula bernuansa maskulin nan halus!
"Sugeng sonten, Nona Muda. Bagaimana keadaanmu?"
"Anda … seorang pria?"
Pria tadi terbahak. "Tentu saja saya adalah seorang pria, Nona Muda. Namun saya mengerti. Melihat dari kacamatamu yang rusak, rabunnmu cukup parah. Saya akan kembali besok dengan kacamata baru dari anak saya. Anak saya pengerajin piawai, bisa membuat apapun! Semoga Nona Muda bisa menahan diri dengan keadaan Nona sekarang, satu hari saja."
"Tuan baik sekali …." gadis Crimsonmane melayangkan senyuman kecil tanda formalitas, namun tetap manisnya tak hilang. "Terima kasih banyak dan maaf merepotkan, Tuan …?"
"Namaku Badranya, atau Nayantaka, atau Janggan Smarasanta, atau Jurudyah Punta Prasanta Semar." ucap pria tua tersebut sambil meletakkan salah satu tangan di dada. Air wajah gadis linglung mendengar pria bernama banyak ini. Para wanita disana malah tersenyum kecil akan wajah mungil terheran-heran itu.
"Tapi kebanyakan memanggilku Ki Semar," imbuhnya lagi, "Atau Ki Lurah Semar. Nona bebas memanggilku dengan panggilan apapun tadi."
"B-begitu. Jikalau demikian, ijinkan sayapun memperkenalkan diri. N-namaku Alicia Crimsonmane dari Caledonia, Kerjaan Camelot. Jika Tuan berkenan, ijinkan saya memanggil tuan dengan Ki Semar."
"Camelot?" Ki Semar terkejut. "Itu negeri yang jauh, Nona Alicia."
Dahi Alicia mengerut. "Jauh? Maaf, Tuan Ki Semar, saya … berada di mana, ya?"
"Ki Semar saja, Nona. Ki adalah sebutan untuk 'Bapak' di sini," tukas Ki Semar.
"M-maaf!"
"Tidak, tidak apa-apa. Mengenai dimana kita sekarang," Ki Semar pura berdeham, kemudian ia melompat layaknya bocah ingusan yang menari-nari menagih manisan kepada orang dewasa. "𝘒𝘢𝘭𝘪𝘺𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘬𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘮𝘣𝘶𝘵 𝘱𝘢𝘯𝘫𝘦𝘯𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯, 𝘸𝘢𝘩𝘢𝘪 𝘱𝘦𝘭𝘢𝘯𝘤𝘰𝘯𝘨! 𝘛𝘢𝘱𝘢𝘬𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘺𝘢𝘯 𝘢𝘮𝘱𝘦𝘺𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘯𝘫𝘦𝘯𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯, 𝘸𝘰𝘯𝘵𝘦𝘯 𝘱𝘶𝘭𝘢𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘶𝘩 𝘸𝘪𝘫𝘪-𝘸𝘪𝘫𝘦𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘬𝘶𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘯𝘪𝘴 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘢𝘯𝘨𝘨𝘶𝘳, 𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘪𝘳𝘵𝘢 𝘸𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘵𝘪𝘳𝘢𝘩 𝘯𝘪𝘬𝘮𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘱𝘢𝘯. Alicia Crimsonmane, selamat datang di Yawadwipa!"
Mendengar Ki Semar menyebut "Yawadwipa", sang gadis menjadi bengong. Ditatapnya para wanita lain itu. Mereka juga menghaturkan sambutan yang tulus juga, tanda ini bukanlah bentuk kejahilan.
"Y-Yawadwipa?" Mulut Alicia terbata-bata
"Tepat!"
Alicia berbalik dalam diam sebelum kembali bersuara, "Yawadwipa … pulau bagian dari Serikat Lojitengara?"
"Nona Alicia pintar!" Ki Semar bertepuk tangan ria.
Bukannya tersanjung dengan pujian pria tadi, Alicia malah hampir menjerit. Napasnya tiba-tiba sesak. Dia beranjak secepat kilat milik Penjaga Petir demi mengintip apa yang ada balik sepasang gerbang jalusi kayu, yang ia yakini adalah bingkai tingkap.
Ini tentu saja bukan Vanir, apalagi Trinketshore. Matahari tak bisa menembus bumi karena dihalang pohon-pohon rindang. Ia melihat gambaran buram anak-anak berlarian tanpa busana. Kumpulan wanita kemayu melewati jendela membawa bakul—mungkin baru kembali dari ladang. Rumah-rumah kecil berjejeran dengan atap segitiga runcing. Hampir semuanya sederhana dan bertingkat satu, berbeda jauh dengan pemandangan tempat tinggal di Trinketshore. Sebagian besar tanah tidak dilapisi aspal atau bebatuan layaknya jalan setapak, tapi agaknya anak-anak malah lebih suka bermain di permukaan mentah tersebut. Mungkin karena tidak sepanas batu saat dipijak di tengah hari.
"Demi Murka Elysium." Tanpa sadar ia tiba-tiba tumbang sebab badannya masih lemah. Para wanita membawanya kembali ke tempat tidur, walaupun sang gadis tidak berhenti meracau.
"Bagaimana aku bisa di sini?"
"Hm? Bukankah Nona Alicia yang lebih tahu? Kami hanya menemukanmu penuh darah di ladang jelai. Darah busuk, lebih tepatnya."
"Darah? C-celaka tentu saja darah! Semua darah tadi, rusa itu biang keroknya! Ia menikamku dengan gunting di dada! A-aku …. Aku hampir mati, aku s-selalu benci saat-saat seperti ini …!" Alicia menatap di balik bajunya, sebuah bercak darah di bagian dada yang sudah terbalut perban. "AH! Tiga druid itu! Aku melihat siluet Tetua Broin di tengah. Jangan-jangan rasa diikat tanaman menjalar itu juga ulahnya? D-dia mengirimku ke sini! Demi Kesunyian Ilahi, aku mengacau lagi. Bagaimana nasibnya jika menghadapi Manusia Rusa itu? Oh tidak, tidak, tidak, tolong jangan ada apapun menimpa beliau!"
Semua yang di sana bergantian bertanya-tanya, ada apa dengan perempuan satu ini? Segala gumaman tentang druid, darah, Manuisa Rusa dan Tetua Broin. Apa arti racauannya?
Ki Semar tersenyum sabar. Ia duduk di kasur, menepuk pahanya pelan. Bahkan dengan tepukan halus itu, kuda panik Crimsonmane berhasil dijinakkan, tanpa perlu kekang. Pelan-pelan, Ki Semar melantunkan perkataan, "Coba, bolehkah Nona Alicia ambil napas dulu? Jika sudah merasa tenang, mari, ceritrakan kepada saya apakah Nona sebenarnya tersesat?"
Alicia mengikuti kemauan Ki Semar. Jantungnya kembali berirama stabil. "Ya, dan tidak, Ki Semar," jawab Alica.
"Mengapa jawabmu demikian?" tanya Ki Semar balik.
Sontak sang gadis mulai merasakan keraguan. "Apa aku bisa mempercayai kalian? Aku … punya banyak pengalaman yang tak mengenakkan saat bertemu dengan orang asing akhir-akhir ini."
"Nona menjadi buronan banyak orang."
Alicia cuma menunduk.
Ki Semar membalas diam Alicia dengan sejumlah kalimat hangat. "Saya adalah Kepala desa di sini. Penampilanku mungkin mencurigakan—Anda akan tahu ketika Anda mendapatkan kacamatanya nanti. Namun, ketika siapapun menapakan kaki di tanah ini sebagai teman, ia adalah keluargaku. Para sisya istriku ini, anak-anak dan orang tua mereka, bahkan pelancong dari dunia lain sekalipun harus saya anggap sebagai sanak keluarga. Sanak keluarga menjauhkan sanak yang lain dari mara bahaya dan kemalangan. Jadi, apapun yang Nona katakan di sini, tidak akan mendatangkan celaka pada Nona, jika Nona beritikad baik!"
Bibir Alicia masih terlipat rapat. Tapi Alicia nampak tak punya pilihan lain kecuali ia ingin mencari Anak Nubuatan atau jalan pulang sendiri. Ia mungkin harus menyusuri tiap sudut kepulauan Lojitengara. Usianya kelak sudah lanjut sebelum menjelajahi seluruh daerah dan tetap tak mendapatkan apapun!
"Ceritanya panjang. Aku tidak yakin kalian punya waktu seharian untuk mendengarkanku. Tapi aku punya mandat untuk menemukan sekelompok penyihir berbakat, dan salah satunya ada di Lojitengara …. Tetua Broin pasti menggunakan sihir guna mengirimku ke salah satu lokasi penyihir, sekaligus mencegahku ditangkap oleh mereka yang memburuku …."
Saat kalimat 'sekelompok penyihir berbakat' terselip dari bibirnya, barulah ia sadar ada yang janggal dengan dirinya. Ada yang janggal pula dari ruangan ini, dan suasana ini. Alicia tidak mendengar kicauan yang khas. Atau lantunan lagu. Kecuali suara mereka bercakap-cakap, hanya ada bunyi semilir melewati rindang daun.
Alicia tidak menemukan Orb di dekatnya. Dan ia benar-benar menjerit kali ini.
"ORB!"
Semua tersentak. Agaknya gadis merah ini punya gangguan kejiwaan, pikir para sisya perempuan.
"Nak, ada apa?" Ki Semar mencoba menenangkan kuda yang balik menjadi liar.
"Di mana Orb? Di mana kalian menyembunyikannya?"
"Kami tidak tahu apa maksudmu, nona muda."
"Sungguh? Dengan segala hormat, aku sudah bosan akan orang-orang berbohong padaku!"
"Nona, tidak patut nona berkata demikian pada Ki Semar!" tukas salah satu perempuan. Alicia tak menggubris. Ia kerap menagih penjelasan atas absennya bola kaca berpendar biru yang seharusnya tergeletak di meja sebelah tempat tidur, menyambutnya ketika dia bangun. Sungguh, jangankan Orb, bahkan tidak ada meja di sebelah kasur!
Alicia belum berhenti mencari-cari di balik bantal. Berharap ada suatu mukjizat tuk Anak Mukjizat.
"Benda apa yang sedang Nona cari?" tanya sang lurah lagi.
Alicia menggerutu. Ia mau tak mau harus menjelaskannya kepada Ki Semar. "Sebuah bola. Bola kaca ajaib. Mengandung sihir. Mungkin tidak relevan di kancah perdukunan Yawadwipa, tapi itu hal yang sangat penting, bahkan untuk seluruh dunia. Harusnya kalian turut menemukannya pula di tempat aku tergeletak. Tak mungkin kalian terlewat, sebab bola itu bersinar terang!"
"Tapi mereka tidak membawakan apapun selain dirimu seorang, Nona Alicia."
"Apa?"
"Ya. Hanya kau, dan kau seorang."
"Siapa yang menggotongku ke sini?"
"Dua petani jelai."
"Maka aku harus bertemu dengan mereka!" Sang gadis melakukan percobaan untuk bangun lagi. Nyeri dadanya bukan soal. Yang menjadi masalah ketika para wanita didikan istri Ki Semar datang mengekangnya. Alicia meronta-ronta. Hampir saja kejadian itu terlihat seperti sesi pemberian obat tenang pada orang sakit jiwa.
"Alicia, tubuhmu masih sangat lemah. Tolong istrihatkkan dirimu!" pinta Lurah Semar. "Biar saya yang mencari kedua petani nanti."
"Tidak mau! Harus sekarang! Bagaimana kalau Orb dijual? Atau ada orang asing yang mencurinya? Tidak mungkin kita bisa melacaknya. Lepaskan aku!"
Suara deham yang keras menenangkan kericuhan tersebut. Ki Semar berpusing, sosok pemuda berwajah gusar bersandar di ambang pintu.
"Kamu! Kamu salah satu petaninya kah? Berikan bola biru sekarang! Kumohon!" Alicia malah menuduh lelaki asing itu sambil berteriak. Tangan kanannya sudah menghadirkan telunjuk yang menegang, sedangkan kepalan tangan kiri sudah terkatup rapat.
Pemuda tadi tak jadi bersantai dekat pintu. Matanya melotot tajam ke arah Alicia, badannya mundur ke belakang, tegang. Gelagatnya ibarat pencuri yang tertangkap basah, namun masih berlagak pilon di depan sang gadis.
Tak habis-habis kesabaran Ki Semar untuk menentramkan emosi Alicia. "Nona, sabar, Nona. Lelaki ini bukan petani yang menemukanmu. Dia salah satu anak asuhku, kerjanya menjaga babi."
Yang bersangkutan malah menoleh ke sang lurah dengan tatapan marah. Dia merasa martabatnya dilempar ke jurang Tartarus ketika profesinya disebut di depan perempuan asal barat yang besar kemungkinan, keturunan konglomerat—gadis secantik itu tak mungkin bukan anak konglomerat, menurut hematnya. Padahal pekerjaan halal adalah pekerjaan halal. Ia harus bangga akan keahlian lapangannya.
"𝘞𝘰𝘯𝘨 𝘸𝘦𝘥𝘰𝘬 𝘭𝘶𝘭𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘣𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘬𝘪 𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢?" Pemuda berkemeja cokelat membuka suara teruntuk Ki Semar. Mereka berdua terlibat dalam percakapan asing lagi.
"𝘉𝘰𝘵𝘦𝘯 𝘸𝘰𝘯𝘵𝘦 𝘱𝘶𝘯𝘢𝘱𝘢-𝘱𝘶𝘯𝘢𝘱𝘢, 𝘭𝘢𝘳𝘦 𝘬𝘶𝘭𝘢."
"𝘈𝘬𝘶 𝘬𝘪𝘳𝘢 𝘱𝘢𝘬𝘥𝘦 𝘢𝘳𝘦𝘱 𝘥𝘢𝘥𝘢𝘬𝘯𝘦 𝘸𝘢𝘥𝘰𝘯 𝘪𝘬𝘪 𝘨𝘶𝘯𝘥𝘪𝘬 𝘢𝘯𝘺𝘢𝘳."
"HISSH!" Ki Semar tampak melayangkan tangannya dengan sikap ingin menghardik. Salah satu wanita di sana pun turut memasang mata nyalang. "𝘚𝘦𝘮𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯, 𝘱𝘢𝘯𝘫𝘦𝘯𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯! 𝘈𝘮𝘱𝘶𝘯 𝘯𝘨𝘢𝘯𝘥𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘢𝘬𝘰𝘵𝘦𝘯 𝘥𝘶𝘮𝘶𝘨𝘪 𝘵𝘢𝘮𝘶!"
"𝘕𝘺𝘢𝘵𝘦 𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘳𝘢𝘥𝘶𝘭𝘪? 𝘛𝘰𝘩, 𝘸𝘰𝘯𝘨 𝘸𝘦𝘥𝘰𝘬 𝘨𝘰𝘣𝘭𝘰𝘬 𝘬𝘶𝘸𝘪 𝘰𝘳𝘢 𝘯𝘨𝘶𝘥𝘢𝘯𝘦𝘯𝘪 𝘢𝘱𝘢 𝘴𝘪𝘯𝘨 𝘢𝘸𝘢𝘬𝘦 𝘥𝘩𝘦𝘸𝘦 𝘵𝘶𝘵𝘶𝘳𝘬𝘦 𝘪𝘬𝘪!"
"𝘚𝘢𝘮𝘱𝘶𝘯 𝘵𝘢! 𝘞𝘰𝘯𝘵𝘦𝘯 𝘣𝘦𝘵𝘢𝘩 𝘱𝘶𝘯𝘢𝘱𝘢 𝘱𝘢𝘯𝘫𝘦𝘯𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘳𝘪𝘬𝘪?"
"𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘳𝘦𝘱 𝘫𝘶𝘱𝘶𝘬 𝘱𝘪𝘵𝘪𝘬 𝘥𝘦𝘴𝘢 𝘬𝘢𝘯𝘨𝘨𝘰 𝘮𝘢𝘥𝘩𝘢𝘯𝘨 𝘸𝘦𝘯𝘨𝘪."
Entah apa yang diperbincangkan bapak dan anak asuhnya. Ki Semar hanya menghela napas dan mengusirnya pergi dengan lambaian tangan. Pemuda tersebut menyempatkan diri menatap Alicia. Alicia yang buta pun sempat bertatap balik. Untungnya gadis rabun itu tak perlu melihat betapa rendah lelaki itu memandangnya. Ia menggelengkan kepala dan menghilang dari adegan.
"Apa itu tadi?" Alicia bertanya kepada sang lurah.
"Tidak ada, Nona. Maaf, jika dia berlaku kasar padamu."
"Aku tidak bisa melihat apalagi mengerti percakapan kalian, Ki Semar." Alicia kembali mengungkit topik. "Lalu, bagaimana dengan Orb? Aku harus menemukannya segera!"
"Para petani tadi pasti sedang menginap di ladang. Namun Nona tak perlu kuatir. Pusat perdagangan terdekat sejauh dua hari perjalanan, mustahil kedua petani tadi mampu ke sana jikalau mereka memang mencuri apa yang bukan milik mereka. Anda akan dipertemukan kembali oleh benda kesayangan Nona."
"Bagaimana Anda bisa begitu yakin?"
"Mengapa Anda begitu tidak yakin?" Semar bertanya balik. "Jika bola itu adalah takdir Nona, maka bola itu akan kembali bagaimanapun caranya. Tidak ada yang pernah hilang dari genggaman tangan Anda, Nona."
Alicia termenung sesaat. "Kumohon katakan kalau jubah merahku tidak hilang juga. Itu … hadiah dari Mama …."
"Jumbai berumbai itu? Tenang saja, sedang dicuci dengan pakaian yang lainnya."
Untung saja satu-satunya pengingat akan sosok mama bagi Alicia tak ikut raib ditelan bumi. Alicia Crimsonmane dapat bernapas lega.
"Untuk sekarang, matahari mulai terbenam. Pergi dan nikmati mentari senja di Yawadwipa selagi bisa."
Seorang sisya menawarkan kursi roda kepada Alicia. []