Chereads / Thaumaturgy (INA) / Chapter 76 - DUSK POLITICS

Chapter 76 - DUSK POLITICS

Seraya digiring oleh seorang perempuan muda murid istri Ki Semar, Alicia melihat dalam samar bagaimana keadaan desa terpencil ini dalam senja. Aneh rasanya ketika orang buta seperti Alicia malah disuruh berkeliling desa, sebab apa yang dapat ia tangkap dengan matanya sebagian besar hanyalah tiang-tiang jamur raksasa berjumlah besar—alias pohon. Namun setidaknya perjalanan kecil ini cukup membantu. Angin yang bertiup sungguh sejuk dan membawa semacam bau tanah yang menenangkan. Binatang dan tanaman tak beramah tamah dengan manusia di sini, namun ia merasa lebih 'bersatu' dengan alam dibanding di Vanir. Belum lagi ia dilayani oleh tiga perempuan lain di belakangnya.

Sore hari di desa terpencil sangat hidup. Teriakan anak-anak dimana-mana dan tiap warga saling memanggil nama masing-masing. "Sejauh" mata memandang, desa ini tampak sejahtera.

Alicia dapat melihat sekilas figur anak-anak yang sedang bermain. Mereka tampak berbaris dan melompat pada suatu ukiran tanah. Mata para bocah terpancang pada sosok Alicia di kursi roda. Baik para bocah dan gadis Crimsonmane sama polosnya, mereka saling bertatap seperti menatap spesies hewan baru di kebun binatang. Alicia melihat semacam lambaian tangan mungil dari salah satu bocah, dan tanpa sadar ia pun membalas dengan lambaian juga. Entah apa yang lucu dari wajahnya—mungkin karena matanya yang terpicing ketika menyapa mereka—Alicia dapat mendengar cekikikan dari anak-anak tersebut.

"Mereka menyukaimu," ucap perempuan yang mendorong kursi roda Alicia.

"Semoga kamu tidak bersekongkol dengan mereka ketika berkata begitu," tanggap Alicia lalu tertawa kecil. Para gadis yang menjadi pengawalnya tentu belum terbiasa akan cara candaan Alicia.

"Sungguh, wajah Camelot itu asing di sini, kecuali kamu tinggal di ibukota di timur. Kalau saja kamu tidak dikawal, pastilah mereka mengerumunimu semenjak tadi."

Roda pada kereta duduk Alicia kian menggelinding makin jauh. Ia pun lebih banyak berjumpa dengan penduduk setempat. Para wanita yang lewat menghaturkan salam Sugeng Sonten, kepada mereka. Tak lupa ibu-ibu berkata dengan suara girang ketika menunjuk-nunjuk wajah sang gadis. Alicia hanya menyunggingkan senyuman, dan kumpulan wanita tadi malah ingin bersalam-salaman dengannya. Beda lagi dengan gelagat para lelaki yang melintas. Tak perlu penglihatan jelas untuk melihat siluet gelagat yang tersipu-sipu. Mereka hanya mematung sebentar lalu memberikan anggukan dan sepatah kalimat lembut sebelum meninggalkan para dayang. Hah, para lelaki terpana akan wajah asingnya, menurut terkaan Alicia. Bagaimanapun dia memilih menahan diri, karena betapa lembut mereka semua!

Alicia bertanya kepada perempuan pendorong lagi, "Apa Sugeng Sonteng itu semacam salam Lojitengara?"

"Hanya berlaku untuk Yawadwipa—itu salam dalam Lidah Yawa, 'Selamat sore', Alicia. Kau ingin tahu apa yang mereka katakan kepadamu?"

"Ya, tolong!"

"Ketika kamu dibawa ke depan pendopo Lurah Ki Semar, semua warga berduyun-duyun menghampirimu. Mereka kira kamu sudah mati karena baumu, mengira kamu korban serangan bandit. Orang barat berjalan-jalan sendiri di jalanan sepi Lojitengara sudah pasti membawa petaka baginya sendiri."

"Ada apa dengan segala mara bahaya itu?" Kemudian Alicia mengerti dengan sendirinya. "Benar, negara kalian selalu menjadi sasaran pendudukan negara-negara dagang dari barat. Dari berita yang pernah kudengar, kalian baru saja mengalahkan Sjittordam dari agresi militernya sendiri."

Perempuan pendorong mengangguk tanpa dilihat oleh yang didorong. "Syukurlah kamu mengerti bagaimana perasaan sebagian besar penduduk Lojitengara terhadap mereka yang berasal dari barat. Kamu bisa dianggap beruntung. Ketika mereka melihatmu berkeliling desa sekarang, mereka malah menghaturkan ucapan syukur kepada para dewa karena dirimu dianggap sebagai mujikzat; bangkit dari kematian."

Tercengang Alicia Crimsonmane. "S-sekalipun aku orang asing?"

"Semua orang pada awalnya orang asing bagi yang lain, Alicia." Perempuan sisya kedua di sebelah kiri menjawabnya. "Itulah mengapa Ki Semar menganggap siapapun yang masuk ke desa dengan itikad baik sebagai keluarga—orang barat sekalipun. Itulah hebatnya Ki Semar, semua orang mendengar dan mengamini segala perkataannya dalam sekejap. Dia ingin membangun desa ini sebagai suaka aman untuk semua."

Alicia kembali dengan senyuman kecilnya. Ia mendongak ke atas, kemudian bertutur. "Dan lancangnya aku jika aku tidak mengetahui nama keluargaku sendiri!"

Mereka bergelak. Perempuan yang mendorong kursi roda pun memperkenalkan diri, "Kamu bisa memanggilku Kiran. Kiran Cendiswaraya."

"Namaku Cempaka Dharmawulan, salam kenal," sahut perempuan kedua di sebelah kiri Alicia.

"Cahyaningrum, senang berkenalan denganmu," perempuan di sebelah kanan ikut memperkenalkan diri dengan suara halusnya.

"Senang berkenalan dengan kalian, Kiran, Cempaka, Cahyaningrum. Sungguh beruntung diriku bisa berada di desa … ini desa apa, ya?"

"Aduh, lupa kami menyebut desa ini. Kalau begitu selamat datang di kampung kecil kami, Tumaritis!" jawab Cahyaningrum.

"Tumaritis, ya …." Alicia termenung. "Yah, seperti kataku, beruntung sekali bisa berada di desa Tumaritis."

Kiran mengangguk. "Kuharap desa lain pun bisa begitu. Bagaimanapun, kita butuh lebih banyak desa seperti Tumaritis, terutama di tengah konflik panas saat ini."

Pikiran Alicia sempat mengolah pekataan tersebut sebelum kepalanya menengadah lagi arah Kiran Cendriswaraya dengan mata menyipit. "Tunggu! Masih ada konflik lagi? Di sini juga?"

"Lah, kamu tidak tahu yang ini?" sahut Cempaka.

"Kamu tidak pingsan penuh darah karena habis kabur dari pertempuran?" sambung Cahyaningrum.

"Hah? Apa? Pertempuran? Tidak, tidak. Aku tidak tahu semua itu. Aku di sini karena diteleportasi, ingat?"

Ketiga sisya menghela napas berat. Awan mendung menghampiri mereka karena tak enak untuk berbagi mendung itu kepada gadis polos di kursi roda. Apa boleh buat. Jika perempuan ini tak diberi tahu, ia tak akan berhenti bertanya. Membuatnya teralihkan dari suatu benda sihir asing miliknya saja sudah membuat mereka bersyukur. Tidak perlu membuat sang gadis mencari tahu masalah ini sendiri dengan darah bersimbah lagi di pakaiannya.

Kiran berkata kepada Alicia, "Ini soal pelik, jadi aku persingkat saja. Begini. Daerah di luar gerbang Tumaritis sangat tak aman, apalagi saat hari menuju malam—ini tidak hanya berlaku untuk orang barat saja. Tumaritis berada di wilayah Kadipaten Wisaya Pulomas di Barat, dan Kadipaten Pulomas sedang dalam perang saudara melawan Kasunanan Alas Purwo di timur. Pulomas awalnya tunduk kepada negara bagian Alas Purwo. Namun orang-orang Alas Purwo—bangsa Yawa pada umumnya punya tendensi … supremasi ras terhadap mereka yang bukan bangsa Yawa …."

"Kumpulan Yawa fasis!" celetuk Cempaka bermuka masam.

Kiran berimbuh lagi, "Begini, ketika Sunan lama meninggal, seharusnya putra mahkota yang akan menjadi Sunan Baru. Dan kebetulan Sunan lama punya dua anak lelaki. Sesuai adat sini, mereka harus menjalankan suatu upacara untuk menentukan siapa Sunan yang baru …."

"Dan karena Lojitengara merupakan pusat perdukunan, upacara ini melibatkan para dukun dan mencari petuah dari dewa?" tanya Alicia.

"Tepat sekali. Dan kau tahu puncaknya? Putra mahkota yang bungsu ternyata sempat mengabarkan pada beberapa pengikut setianya bahwasannya kakak sulungnya hendak mencurangi hasil upacara. Ia juga menemukan sebuah rencana rahasia milik kakaknya dan pengikut yang jumlah hampir setengah bangsa Yawa, rencana untuk menundukkan negara bagian lain dan menjadikan Lojitengara sebagai negara yang menjunjung tinggi keutamaan Bangsa Yawa sebagai yang terpilih oleh para dewa."

Mendegar hal itu, wajah murung terpampang pada muka Alicia. Benaknya dibawa mengalir ke sungai memori akan keluarganya sendiri, klan Crimsonmane. Keluarga penyihir elit yang mengklaim sebagai instrumen Ilahi dan merasa berhak mengendalikan Camelot karena terjebat fantasi nostalgia masa lalu.

"Jadi, apa yang dilakukan oleh putra bungsu tersebut?" Alicia bertanya lagi kepada mereka.

Cahyaningrum berbaik hati mengambil giliran berbicara. "Tidak ada. Putra bungsu menghilang, lalu ditemukan meninggal di hanyutan sungai. Putra sulung menjadi Sunan baru Negara Alas Purwo dan seluruh Yawadwipa. Para pengikut sang bungsu tak menerima. Mereka mengajukan beberapa bukti yang diberikan putra bungsu pada mereka, namun semua bukti itu tak dianggap lemah untuk menggulingkan sang Sunan. Perseteruan pun pecah. Puncaknya, pengikut sang bungsu yang berpusat di Kadipaten Pulomas bersama dengan pengikut di daerah lain bersatu, lalu menyatakan diri keluar dari Alas Purwo. Di bawah panji Pulomas, Kadipaten ini mengajukan banding untuk menjadi negara bagian baru."

"Tentu saja Alas Purwo tidak menyukai itu dan ia mengirimkan serangan ke daerah-daerah pembangkang tadi," tanggap Alicia.

"Yang lebih mengkhawatirkan lagi, perang sedang berhenti untuk sementara," ucap Cahyaningrum.

Alicia memasang muka bingungnya. Apa hal yang lebih tidak menenangkan dari konflik berkelanjutan? Tidak ada perang? Apa perang sudah sungguh menjadi bagian hidup rakyat negara serikat ini, mentang-mentang selalu diserbu oleh negara lain? Dia mencondongkan badannya sedikit ke perempuan di sebelah kiri. Cahyaningrum masih belum selesai dengan penjelasannya.

"Kedua pihak sedang mengumpulkan kekuatan mereka sebanyak-banyaknya, karena Pulomas telah menerima ultimatum bahwa dalam kurun waktu kurang dari sebulan, Alas Purwo akan meluncurkan serangan yang sangat besar kepada Pulomas. Entah itu serdadu yang lebih banyak atau kuasa sihir yang terlalu kuat, pokoknya itu dapat memusnakan semua penduduk Pulomas!" begitulah imbuhan panjang lebar Cahyaningrum.

"Aku tidak mengerti," Alicia langsung menjawab. "Mengapa negara bagian lain tidak melakukan sesuatu atas kebijakan yang dikeluarkan Alas Purwo?"

"Tentu saja tidak bisa. Negara bagian lain tidak punya hak mengintervensi kebijakan negara bagian lain yang tak terikat pada hukum serikat. Selain itu, konflik internal dalam suatu negara bagian merupakan tanggung jawab negara bagian yang berdaulat, kecuali diperintahkan oleh Ratu Panggeraknegara, selaku pemimpin federal."

Cempaka menukas mereka lagi. "Dan tebak siapa Panggeraknegara sekarang?"

Alicia menggelengkan kepala. Cahyaningrum menghela napas lagi sambil menundukkan kepala. "Sunan Alas Purwo sekarang adalah sunan Alas Purwo sekaligus ratu Lojitengara."

Fakta yang agaknya mencengangkan gadis berkacamata. Mengertilah ia mengapa di balik suasana riang di desa ini, situasi mereka sesungguhnya sangat sulit.

"Itulah mengapa kami tak bisa membantumu mencari Orb sekarang. Hari sudah petang, dan malam hari tidak aman untuk mereka di luar gerbang desa," kata Cempaka lagi.

"Bagaimana dengan sepasang petani tadi yang bermalam di ladang?"

"Dekat ladang ada pos bermalam yang cukup aman. Namun jalanan antara desa ini dan ke sana yang merupakan sarang pemangsa. Apalagi malam hari, bisa-bisa kamu kamu bertemu dengan Barong liar!"

"Barong? Apa itu?"

Kiran langsung menukas konversasi tadi. "Uh … kupikir pembicaran ini sudah cukup berat untuk petang ini. Alangkah lebih baik jikalau kita berbalik kembali ke rumah. Tenang saja, Alicia. Besok, kita akan membantumu mencari bola itu. Kuharap kamu bisa menunggu?"

Alicia tersenyum dan menangguk pelan. "Aku mengerti. Terima kasih, Teman-Teman."

Petang memang semakin surut. Langit merah memang sedap dipandang, tapi siluet rumah-rumah malah mencekam. Beberapa warga sudah menyalakan lampu jalanan pada di depan serambi rumah. Lampu-lampu jalanan ini pada dasarnya adalah pancang-pancang obor, karena desa Tumaritis masih sangat sederhana, tidak semuanya mendapat akses listrik. Ini sama sekali bukan Trinketshore, yang kendati desa kecil pula, masih dimanja dengan kemajuan duniawi.

Ketika hampir sampai di depan pendopo, suara langkah kuda mendekati para gadis. Tiga kuda berhenti di gerbang rumah sang lurah. []