"Jadi, apa yang ingin kau ketahui dengan meminum air Pohon Pengetahuan?" tanya Broin lembut kepada Alicia.
"Jika berkenan, saya ingin mencari tahu keberadaan anak-anak yang diramalkan akan mengubah nasib dunia," jawab gadis Crimsonmane. "Saya harus menemukan mereka terlebih dahulu sebelum kegelapan melakukannya."
Broin mengangguk pelan. "Oh, begitu, begitu. Kalau sudah melibatkan kuasa kegelapan maka pastilah nubuat ini penting. Siapa yang meramalkan ini dan apa ramalannya?"
"Uhm … ini ramalan tentang Enam Anak yang ditulis oleh Nostradame."
Hentakan kaki Broin seketika terhenti. Ia menatap Alicia dengan tatapan bingung. Baru saja ketegangan merajalela di antara mereka berdua, sang tetua tiba-tiba memecahkannya dengan tertawa terbahak-bahak.
"Tak biasanya aku terjatuh dalam lelucon anak muda jaman sekarang. Tapi harus kuakui, itu sangat lucu, Nona Alicia!"
Alicia menggelengkan kepala dengan wajah gamang. Wajah sang tetua berubah lagi.
"Jadi Nona sedang tidak mempermainkanku?"
Sang gadis kembali menggeleng sambil menyerahkan kepadanya kitab saku "Pecahan Cahaya, Satu Kegelapan" dengan halaman terbuka—halaman yang menunjukan nubuatan tersebut. Brion membacanya sambil kembali melanjutkan perjalanan.
"Lambang ini! Mirip dengan lambang Ygaldin!" seru Brion saat dirinya menemukan lambang yang dikhususkan untuk Alicia pada halaman buku tersebut. "Sudah lama aku tidak menjumpainya di manapun selain di gua-gua bekas pemujaan sang dewa!"
"Tunggu? Benarkah? Orb mengecapku dengan lambang tersebut saat dia memilihku." Alicia membuka sarung tangannya dan memperlihatkan kecupan manis Arcane kepada Broin. Hanya dengan lambang itu saja, tetua druid itu melupakan semua keraguan mengenai ramalan tersebut. Nostradame tak main-main kali ini. Orang tua tersebut semakin bersemangat dan berderap secara prima—walaupun tongkatnya masih harus menopang tubuh sang kakek.
"Kami biasanya akan murka jika seseorang meminta ilham dari Pohon Pengetahuan akan tulisan orang yang mengada-ngada seperti Nostradame. Tak segan-segan kami akan mengubahnya menjadi korban sembelihan …!"
Alicia menelan ludah ngeri saat mendengar pernyataan kakek tua itu.
Broin melanjutkan kembali, "Namun jika Ygaldin sampai berfirman kepada peramal lawak seperti dirinya, sudah pasti ini sangat darurat! Ayo, percepat langkahmu, anak muda!" Broin kembali menggenggam tangan sang gadis dan berpacu ke arah pohon raksasa.
Sekalipun mereka berpacu, kecepatan jalan mereka tidak berbeda dari sebelumnya. Itu hanya pengandaian tetua druid yang mendadak prima, membusungkan badannya agar tampak berbeda. Alicia tersenyum akan tingkah orang tua itu, lalu disusul dengan rasa ingin tahu khasnya. "Tuan selalu menyebutkan nama Ygaldin. Apakah Tuan bisa memberitahukan saya siapa Ygaldin itu? Aku tidak pernah mendengarnya sebagai sesembahan bangsa Vanir."
"Memang tidak pernah," balas Broin. "Ygaldin adalah Dewa Cahaya Vanir Kuno. Kami percaya ialah yang memberkahi Pohon Pengetahuan dengan Arcane murni. Mirip dengan ilah kalian. Tentu saja, perbedaan mendasarnya, Ygaldin tidak 'abstrak'. Tidak bermaksud menyinggung, Nona."
"Ah, tidak masalah. Jadi Arcane murni yang berpusat pada Pohon Pengetahuan terdahulu adalah pemberian Ygaldin?"
"Tepat sekali! Vanir adalah salah satu bangsa yang sempat beruntung karena menjadi salah satu sumber Arcane. Pohon suci ini tidak hanya disebut sebagai Pohon Pengetahuan saja, tapi juga disebut sebagai Pohon Semesta!"
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Konon, ketika Njorn, Frō dan Fruowa sudah lama tiada, Wotan muncul dari ketiadaan. Kami mengira dia ikut menghilang bersama Bangsa Aesir ketika Surtr melancarkan genosida terhadap mereka. Namun tidak. Ia satu-satunya yang selamat, dan ia menginginkan sukunya kembali. Maka ia mengendap ke Pohon Semesta, dan mencuri pengetahuan daripadanya. Wotan begitu tamak, ia tak cukup hanya dengan sekedar meminum air pengetahuan. Ia bersembunyi dalam akar pohon dan menancapkan kepalanya dengan serabut yang tebal, lalu mencuri semua rahasa dunia untuknya!"
Tanpa terasa mereka sudah berada tepat di hadapan Pohon Pengetahuan tersebut. Broin melambai ke beberapa ekor tupai yang berdiam di ranting. Para tupai tak melambai balik selain hidung mereka yang tak pernah berhenti mengendus. Di depannya, Alicia dapat melihat sebuah mata air yang mengalir dari akar pohon kembali ke sisinya yang lain—membentuk jalur aliran melingkar.
Sejarah Vanir masih mengalun dari mulut sang tetua. "Ketika dirinya terhubung dengan pohon, Khaos yang berdiam dalam tubuh Wotan menyusupi jaringan hidup Pohon Semesta bagaikan racun. Khaos dan Arcane kerap saling menghancurkan sampai pohon suci ini semakin sakit, daunnya berguguran, dan rantingya rapuh. Dan ketika Pohon Suci tidak kuat lagi akan pergumulan di dalamnya, ia mati. Sang penajis mendapatkan pengetahuan yang ia inginkan dan menghilang dari amukan bangsa Vanir yang mengejarnya. Tidak pernah terlihat lagi!"
Salah seorang anggota Ordo Edda datang membawakan sebuah kendi dan gelas berlapis indranila. Diserahkan kendi tersebut kepada Broin seraya menangkap deras kecil air masuk ke dalam wadah itu.
Selagi tetua druid memenuhi kendi tersebut, Alicia kembali bersoal. "Jika Pohon Semesta ini mati, lalu bagaimana pohon ini bisa hidup kembali?"
Broin menimpali persoalan sang gadis. "Saat Pohon Semesta mati, saat itulah Vanir di titik paling rawan. Banyak dari tetua jaman itu berdoa kepada Ygaldin untuk datang, tapi tak ada jawaban. Kepanikan massa menyebar, Vanir hampir runtuh terpecah-belah. Alih-alih Dewa Cahaya, Ohher, Dewa Hutan yang menjawab isakan mereka. Ia mengunjungi Vanir dan membangkitkan kembali Pohon Semesta ini—membuatnya rindang dan perkasa seperti sedia kala. Pohon Semesta kembali mengalirkan air pengetahuan, Namun ia tidak mendapatkan kekuatan Arcane-nya kembali. Generasi demi generasi, kami mencoba mengirimkan Arcane dari negara lain untuk ditanam ke dalam Pohon ini, namun Sempena Ilahi menolak untuk masuk. Pendaran Arcane tak lagi seindah dan mengesankan seperti milik kami dulu, seolah tak ada kehadiran Ygaldin di sana. Dan sejak saat itu, Ygaldin tidak pernah tampak lagi dalam tanda apapun. Hanya Ohher dan para dewa yang menjaga Vanir. Sehingga banyak dari penduduk melupakan Ygaldin dan berserah kepada para dewa yang selalu hadir untuk mereka. Hanya sebagian dari generasi kami, Ordo Edda yang masih berharap akan kedatangan Ygaldin, dan kepercayaan kami tidak sia-sia. Sumber Arcane-mu berbeda dari yang lain …," Broin memandangi bulatan putih meliuk-liuk di dalam Orb. "Arcane-mu … hidup."
Apa yang dikatakan oleh tetua Broin tepat adanya. Orb langsung berkicau merdu di tengah-tengah mereka. Tentu saja ini mengagetkan para druid semenjak bola ajaib itu tidak mengeluarkan satupun bunyi sebelumnya.
"Orb bilang kelak ia akan membagikan berkahnya kepada semua orang, jika semuanya usai," terang Alicia kepada mereka.
Broin tersenyum mendengarnya. Dia berkata kepada bola bernyanyi itu, "Tentu saja kamu dan Nona Alicia akan melakukannya. Sekarang, kami tidak butuh Arcane di dalam pohon kami. Kami hanya butuh Arcane untuk mendamaikan manusia dengan semesta. Menghentikan perang dan kekacauan yang menjangkit dunia ini."
Broin yang telah mengisi penuh kendi menuangkannya ke gelas lalu memberikannya kepada Alicia. "Ini untukmu, Nak."
Alicia menerima gelas tersebut dengan hati-hati. "Jadi, saya hanya perlu meminumnya saja?"
"Sebutkan apa yang ingin kau ketahui, lalu teguklah sampai sampai habis. Kau akan terhubung dengan Pohon Pengetahuan yang menjalarkan bahkan ujung serabut akarnya paling tipis ke seluruh penjuru bumi."
Tidak ada yang aneh dari air pengetahuan dalam wadah. Warnanya bening, tidak ada bau yang mencurigakan. Ini hanyalah … air pada umumnya.
Dengan mantap, jiwa dan raga, Alicia memadahkan permohonannya.
"Aku ingin mencari tahu kelima anak yang diramalkan dalam buku 'Pecahan Cahaya, Satu Kegelapan' yang ditulis oleh Nostradame. Berikan padaku informasi yang membantu mengenai Anak Air, Anak Tanah, Anak Api, Anak Angin, dan Anak Kegelapan!"
Momen Kebenaran. Bibir lembut merah jambu sudah menyentuh cangkir tanah liat tersebut. Sesaat sebelum air bahkan membasahi pangkal bibirnya, Alicia langsung menolak diri!
"Biar saya tebak; Pohon Pengetahuan tidak memberikanku secara lengkap data diri masing-masing anak, bukan?"
Broin terbahak, "Pertanyaan yang bagus! Pohon pengetahuan hanya memberikan jawaban yang dirasa cukup untuk segelas air. Selalu begitu cara kerjanya selama ini. Dan kau tidak boleh minum terlalu banyak, karena kelak membuatmu keracunan. Kecuali dirimu ingin menancapkan akarnya ke otakmu, Pohon Pengetahuan mungkin akan membeberkannya semuanya kepadamu."
"Asalkan aku tetap hidup setelah itu … tidak, terimaksih atas tawarannya."
Alicia meneguk air pengetahuan sampai tak tersisa. Air tersebut tidak meninggalkan rasa apapun. Walaupun demikian, degub jantung sang gadis semakin kencang karena penasaran setengah mati apa yang akan dialami olehnya setelah ini. Seharusnya dia menanyakan hal tersebut kepada penyihir yang lain sebelum menelan habis cairan itu. Yah, sudahlah. Dirinya hanya perlu menunggu apa yang terjadi selanjutnya.
Satu detik. Sepuluh detik. Tiga puluh detik. Tiga menit. Gelas tanah liat meninggalkan genggaman tangan sang gadis, datang menyambut topangan lumut yang secara ajaib mencegahnya pecah. Alicia Crimsonmane tidak menggerakkan tubuhnya sejengkal pun. Ia kaku seperti batu karang. Pupil matanya melebar menutup iris merah puan sihir. Netra sang gadis memperlihatkan para druid dan Pohon Pengetahuan memipih ke depan. Semakin pipih, dirinya sontak seperti ditarik menjauh dengan kecepatan cahaya!
Alicia tidak bisa menemukan siapapun dalam pandangannya selain ribuan garis tipis yang melesat melewatinya.
Tak perlu menunggu ribuan tahun, semua garis-garis itu hilang dalam sekejap mata. Sang gadis menemukan dirinya berada di tengah badai salju. Pikirannya langsung terlintas akan pemandangan Himinbjörg barusan. Kaki Alicia kerap berjalan, sampai ia melihat rekahan es raksasa dalam kabut. Bongkahan kolosal itu berwarna hijau kehitaman, berbentuk tumpukan lembing yang seolah menjorok ke arah wajah sang gadis. Bentuk es tersebut bukan satu-satunya yang membuatnya penasaran. Di dalamnya terdapat barisan manusia yang tertidur sambil berdiri—setidaknya menurut hemat Alicia. Hampir semua dari mereka berbadan tinggi besar. Bulu binatang menghangatkan mereka dari kepala sampai jempol kaki. Alicia tidak perlu menebak, ketika ia melihat topi bulu mereka yang mencolok dari jauh—ushanka dan papakha—dirinya tahu ia sedang melihat para pejuang dengan darah raksasa kuno mengalir di nadi mereka. Para pendekar Magavostok! Dari ratusan orang—mungkin ribuan, malah—satu orang mengeluarkan cahaya biru di antara yang lain. Tubuhnya lebih pendek dari para keturunan raksasa tersebut.
Anak nubuatan dengan kekuatan sihir luar biasa pertama berada tepat di seberang benua!
Sang gadis masih ingin mendekat. Sayangya ia kembali ditarik dalam Lorong Tanpa Batas, dan berakhir di tengah desa yang ludes dilahap api. Pengungkapan yang buruk, Pohon Pengetahuan, pengungkapan yang amat buruk! Alicia terdiam seribu bahasa seraya melihat gelimpangan mayat yang ikut terpanggang. Di tengah-tengahnya, tepat di depan panji bendera yang berkibar dengan lambang matahari—Bendera Perserikatan Lojitengara—dia menemukan sosok raksasa lainnya!
Ralat, bukan sekedar raksasa, melainkan bintang buas raksasa! Monster berzirah dan berkain. Yang cakarnya masih meneteskan darah segar. Seolah tahu masih ada mangsa yang masih hidup, monster itu berpaling dan menemukan seekor kuda liar—Alicia Crimsonmane sendiri! Siluet beruang berdiri menjulang dengan kedua kakinya! Tapi tunggu! Ketika kobaran api berhasil mengungkapkan wujud jelasnya, mahluk tersebut tidak dapat dideskripsikan sebagai seekor beruang. Melihat dari loreng pada bulunya …, lalu matanya yang melotot …, ekor yang panjang bergerigi bak buntut naga …. Alicia sedang menjumpai Anak Tanah dalam wujud harimau psikopat!
Sang gadis sudah berpendapat. Kali ini saatnya yang tepat baginya kembali ditarik ke Lorong Tanpa Batas, sebab monster tak terdefinisikan itu langsung mengayuh kedua kakinya cepat sambil mengaum keras!
Permohonan sang gadis terkabulkan, Pohon Pengetahuan membawanya ketempat lain. Alicia kemudian menapakkan kakinya di puncak piramida beratap datar, memandangi suatu kota dan isinya menjadi patung hitam di bawah kolong langit hitam pula—satu lagi penglihatan mengganggu lainnya. Hati Alicia remuk ketika dirinya mendengar semacam tangisan yang menggema. Ini bukan tangisan manusia, tapi suaranya sarat kesenduan. Sang gadis melihat sesuatu meliuk di angkasa—Xiu, naga endemik benua Mesomen. Sepercik api yang datang dari naga tersebut ikut keluar menerangi malam. Api itu ternyata mengambil bentuk manusia, lalu membuat malam kelam itu menjadi siang penghantar duka. Saking terangnya, cahayanya sendiri malah menghanguskan satu kota!
𝘓𝘪𝘩𝘢𝘵-𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪, 𝘴𝘢𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘭𝘪𝘩 𝘬𝘦 𝘵𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘭𝘢𝘪𝘯, batin Alicia. Selagi melayang di jalur selokan yang bergerak cepat, Alicia malah melihat orang lain di sana! Sosok tersebut tidak jelas parasnya dari kejauhan, apalagi dirinya terombang-ambing tak beraturan di tengah laju jalur dimensi. Anak Angin, tentu saja, berkelana ke berbagai dimensi—termasuk dimensi dirinya berada sekarang. Sayang caranya melintasi Lorong Tanpa Batas sungguh tak elok. Kacaunya lagi, dengan kecepatan tinggi pula ia bergerak ke arah sang gadis lalu menabraknya keras! Alicia langsung keluar jalur dan terlempar ke hamparan padang ilalang.
Alicia bangun. Ingin sekali dirinya mengutuk manusia ceroboh tadi, tapi hanya ada dirinya seorang di tengah lukisan alam adiluhung. Semua ilalang yang terbentang berwarna emas dan tampak subur, semakin berkilau dengan pancaran sinar mentari yang membuat langit ikut memancarkan keemasan mulia. Alicia menoleh belakang dan ia menemukan kaki gunung membatasi padang indah itu.
Dia mengenali daerah ini. Ia pernah melihatnya di telemedia dan koran. Kaki gunung tersebut adalah Gunung Olympus, dan padangnya adalah Elysium, taman suaka dari negeri Eretopeion, bagian dari Kekaisaran Abadi! Firdaus di atas bumi, ini adalah salah satu destinasi tempat yang sangat diimpi-impikan Alicia jika saja seluruh dunia tidak ingin membunuhnya, yang membuatnya terpaksa bersembunyi di perkampungan terasing!
Suasana alam sangat sunyi, ketenangannya merasuki tulang. Alicia dapat berdiri disana selamanya dan itu sudah cukup. Namun selama dirinya masih hidup, jangan harap ia mendapatkan ketenangan yang diinginkan.
Angkasa raya mendadak mendung. Hamparan rumput tinggi menjadi layu dan menghitam. Berkat mentari berubah menjadi gerhana bencana. Sinar emas itu memudar digantikan dengan pendaran ungu menggelikan.
Alicia dan Khaos kembali bertatapan!
Mata Khaos semakin lama semakin mendekat. Celaka! Barangkali Oposisi Primordial ingin menjahanamkan gadis pemegang Sempena Ilahi dengan bulan jatuh! Dan selama itu terjadi, Alicia tak menemukan sosok yang dianggap sebagai Anak Kegelapan. Jikalau Khaos berinkarnasi menjadi sosok tersebut, betapa sang gadis tidak akan terkejut.
Bulan semakin menggila! Angin ribut juga menggila. Alicia berlari, memanggil Pohon Kehidupan untuk membawanya pulang. Tidak ada jawaban. Bumi semakin gelap seraya permukaan bulan yang nyatanya sangat besar hampir mendekati tanah. Benda langit tersebut berhasil mencium tanah, meremukan tubuh Alicia beserta segala isinya!
Sang gadis tersentak dan terjatuh. Kerumunan datang menyambutnya. Ia mengobservasi wajah-wajah tersebut—rupanya para druid dan penyihir Magisterium. Alicia boleh bernafas lega, semuanya itu—untuk kesekian kalinya—adalah mimpi yang terlewat nyata.
"Alicia, berbicaralah! Apa kau mendengar kami?" Broin mengguncang-guncang badannya.
"A-aku …. Ya …, baik-baik saja."
"Jadi, Pohon Pengetahuan menunjukkan sesuatu padamu?"
"Entah ini kabar buruk atau baik …. Anak yang paling dekat di antara semuanya ada di negara tetangga …."
"Kabar baik dan buruk, negara tetangga …. Biar kutebak. Magavostok," terka Haddock.
"Tepat, Tuan Grand Magus."
Kegemparan di kebun raya Vanir. Segenap druid yang ada di situ sudah menunjukkan gelagat khawatir. Kabar pertama ini saja sudah membuat misi "Penyelamatan Dunia" sungguh sulit terlaksana.
Alicia melanjutkan, "Lalu Pohon Kedua membawaku ke negeri Panji Matahari, Lojitengara Serikat. Aku melihat … harimau raksasa? Ya, aku yakin itu harimau raksasa berzirah emas! Dan untuk yang ketiga …,"
Belum sempat Alicia menyebut lokasi anak ketiga, celetuk teriakan asing berkumandang.
"SEMOGA SEMUA KELAK MENJADI DEWA!"
Broin, berbalik. "Apa yang—"
𝘋𝘜𝘈𝘙𝘙! []