Chereads / Thaumaturgy (INA) / Chapter 69 - VANAHEIM

Chapter 69 - VANAHEIM

Alicia mungkin akan menobatkan stasiun perbatasan Vanir sebagai yang terindah di dunia.

Interior yang kelewat apik, Alicia mungkin sedang berada di dunia lain. Dinding pualam putih diukir anyaman 𝘵𝘳𝘪𝘲𝘶𝘦𝘵𝘳𝘢 emas dan hijau mint melintang sampai ke ujung stasiun. Bahkan satu simpulan trintas tersebut saling sambung-menyambung dengan 𝘵𝘳𝘪𝘲𝘶𝘦𝘵𝘳𝘢 lainnya, membentuk pola kompleks yang memanjakan mata. Langit-langitnya sendiri adalah proyeksi hamparan kosmos pancarona, ditopang oleh pipa logam kelabu. Lantai hitam mengilap memantulkan apa yang ada di atas kubah; mereka yang ada di stasiun seolah memandangi kosmos sekaligus menapakinya. Alicia sangat ingin berjalan di antara bintang-bintang tersebut.

Bukan sebuah kesialan saat ini, tapi tetap saja Alicia dan yang lain masih harus menungggu agak lama sebelum boleh keluar kereta. Semua personel Magisterium terjebak di sana sementara Odelie dan Haddock keluar untuk bercakap dengan salah satu petugas perbatasan. Bahkan di dalam kereta pun, sang gadis dapat mencium aromatik lavender yang datang dari luar gerbong. Begitu semerbak dan menenangkan, dirinya mungkin bisa menyempatkan diri tertidur sambil memandangi lalu lalang stasiun.

Para pelindung sipil stasiun terlihat sangat akrab dengan sang astrolog, menurut Alicia yang menelisik mereka dari jendela. Jangan-jangan bisa sedekat itu mereka karena masing-masing pernah bermain permainan erotis bersama Odelie? Padahal perempuan itu memang pada dasarnya baik kepada tiap orang. Spekulasi Alicia terhadap mereka terlalu liar, namun malah wajahnya yang merona sendiri.

Mereka semua mendadak memandangi sang gadis, beberapa petugas bahkan. Segera mereka bergegas menjauh lalu kedua penyihir Magisterium itu kembali.

"Apa yang terjadi? Mengapa mereka memandangku seperti itu?" tanya Alicia kepada dua penyihir yang baru saja memasuki gerbong.

"Dek Alicia, kau tidak akan percaya apa yang akan terjadi!" Odelie begitu bersemangat. "Siap atau tidak, dirimu akan dipuja bak dewi di sini!"

"S-sungguh? Aduh …," Ada perasaan menjanggal di dalam dirinya. Dia membayangkan kemungkinan momen-momen canggung ketika mereka menunduk bagaikan para hamba dan rakyat jelata, lalu mendaraskan doa demi meminta berkat sang dewi.

"Nona-Nona, kita tidak punya waktu untuk angan-angan itu," Haddock menukas mereka. "Ayo bawa barang kalian, kita akan dikawal ke tempat kita menginap."

"Grand Magus, b-bagaimana dengan …," Alicia memancangkan jarinya ke arah gerbong paling belakang.

"Ah …. Ya, dia juga dikawal. Tapi dibawa ke tempat yang berbeda. Tenang saja, Gadis. Tempat kita akan lebih nyaman darinya," jawab Haddock.

Ketika mereka dibawa dengan kereta mesin meleati jalanan layang, Alicia dapat melihat jelas bagaimana pemandangan kota Vanaheim dari dekat. Terdapat banyak bangungan lancip menjulang, dan semuanya penuh dengan ukiran rune yang indah. Jika dibandingkan dengan perkotaan negara Camelot, perumahan di tanah kelahirannya mungkin bisa disandingkan dengan sarang penyamun yang tiap lorongnya suram menyesakkan jiwa. Alicia juga melihat banyak pemukiman unik dibangun pada pohon-pohon besar—rumah pohon raksasa! Ini tentu surga taman bermain bagi anak-anak yang lahir di perumahan Camelot.

Sejauh mata memandang, tidak ada gelandangan atau bentuk kesenjangan sosial apapun di kota besar ini. Bagaimana tidak, hampir setiap perumahan mereka penuh dengan anyaman garis berlapis permata dan berlian! Tak lupa juga, selain kelap-kelip indah itu, hampir semuanya memilikki kebun raya di atap rumah mereka, ataupun tanaman menjalar yang menjadi tirai besar bagi rumah-rumah. Secara mengejutkan, tanaman menjalar itu sangat serasi dengan segala kemewahan batu mulia yang terpampang di tembok.

Satu lagi. Sang gadis Crimsonmane mungkin berdecak kagum ketika mengetahui tidak ada istilah "binatang liar" di sini. Babi hutan, serigala, sampai beruang berlalu lalang di jalanan seolah mereka bagian dari warga kota! Entah mantra apa yang ditanamkan di sini, segala mahluk yang memasuki Vanaheim seolah mahfum bahwa mereka sedang memasuki wilayah nertral. Tidak ada terkam menerkam, hanya mengurusi masalah pribadi seperti biasa dan bersosialisasi dengan mengedapankan akal sehat. Seekor sapi Audumbla bertato emas menyusui para balita manusia di taman adalah hal yang wajar di sini!

Mereka dikawal ke sebuah fasilitas penginapan di kantor pusat sihir Vanaheim—sebuah bangunan pencakar berbahan konkrit tanpa cat namun dilengkapi rune-rune berbagai ukuran. Besar kecil, semua rune tersebut tertempel dengar rapi. Tidak hanya itu, pendaran biru yang keluar dari karakter-karakter itu menambah estetika gedung kelabu yang sebenarnya cukup membosankan.

Sembari menunggu, Alicia sedang bersandar di langkan bebatuan gelap bercahya biru bersama Haddock. Apa yang ada di depannya sama sekali bukan lanskap Vanaheim megah penuh kilatan berlian. Pemandangan di serambi tersebut menawarkan perspektif dari puncak gunung bersalju.

"Padahal kita berada di tengah kota, tapi melihat pemandangan ajaib ini …. Ini terlihat begitu nyata!" Alicia mencoba mengulurkan tangannya ke luar balkon gunung bersalju tersebut. "Lihat, bahkan tanganku terasa sangat dingin, salju-salju berjatuhan di atasnya. Tidak salah Vanir disebut sebagai salah satu pusat sihir terkemuka di Europa!"

Haddock membalasnya dengan senyuman. "Tidakkah menurutmu pemandangan ini cukup familiar?"

"Familiar? Sudah kubilang ini kali pertamaku ke luar negeri, Grand Magus!"

"Ayolah, aku bertaruh kau sudah banyak membaca cukup banyak buku dan peta untuk mengenali apa yang ada di matamu."

Panorama dingin dengan curamnya dataran dan lautan luas yang membeku. Di tengah lautan tersebut terdapat kumpulan bebatuan yang menyembul keluar, menjorok hingga menghilang di samudera berkabut. Walaupun rona pada kerikil-kerikil raksasa tersebut luntur, Alicia dapat melihat tiap baris-baris batu yang memanjang mempunyai warna yang berbeda. Tak dapat dipungkiri bebatuan tersebut adalah salah satu buah karya seorang seniman ulung.

"Mengapa batu-batu ini tersusun seperti … jembatan?" Pertanyaan retorika yang dilontarkan dari sang gadis sembari menunjuk batu-batu tersebut. Ia memicingkan mata, membayangkan semua yang barusan dia lihat untuk disesuaikan dengan semua buku yang pernah ia baca. Gundukan tinggi penuh badai salju, dan jembatan batu warna-warni. Hanya dalam sekejap saja ia menemukan jawabannya.

"Kita sedang melihat pemandangan dari gunung Himinbjörg! Dan batu-batu tersebut bukan batu! Itu reruntuhan jembatan! B-Bifrost?? B-Berarti, ujung akhir di jembatan t-tersebut …."

Seperti biasa, Haddock terkagum akan pengetahuan gadis Crimsonmane meskipun baginya persoalan ini tidak jauh dari sekedar informasi trivial. "Yap, jembatan tersebut berakhir di tanah tak bertuan, yang dulunya adalah Asgard—tanah kembang di tengah tundra, kota suci suku Aesir yang punah. Dan jika kita berjalan terus, kabut dan badai salju akan semakin pekat. Di situlah kita berada di Tanah Para Raksasa, yang dari reruntuhannya ditapaki oleh Anak-Anak Syvatogor, Magavostok—Negara Aliansi Hitam."

Mata sang gadis perlahan terbuka lebar. Mulutnya pun ikut menganga mengikuti gerakan mata. Pertama kali dirinya mengeksplorasi daerah yang bukan tanah kelahirannya, Ia secara harfiah dibawa tepat ke garis depan Perang Akbar! Dari laut yang luas sampai ke tanah tak bertuan, daerah tersebut sempat menjadi pusat pembantaian Sekutu Kekaisaran Abadi dan Aliansi Hitam, tidak lama sebelum sang gadis dilahirkan ke dunia. Selama dirinya hidup, masa kelam tersebut sempat menjadi hiatus. Belum nampak kedua belah pihak mengerahkan pasukan selama lebih dari satu dekade.

Kendati demikian, bukan berarti kedua faksi ini mengadakan gencatan senjata. Tidak, tidak ada perjanjian damai di antara mereka. Keduanya hanya sedang mengambil cuti, sembari menunggu siapa yang melemparkan hulu ledak lebih dulu. Alicia tak habis pikir mengapa para penduduk Vanir masih bisa berleha-leha di garis terdepan. Ia berharap Ilahi tak terlalu jahat kepadanya untuk menerima hadiah bom mana dari negeri seberang.

Belum sempat Alicia berkata-kata kembali, sepasang pintu raksasa dibelakang mereka berderit. Cahaya mencolok dari balik pintu yang dihalangi oleh sosok manusia berpakaian kenegaraan berwarna putih dan hijau dengan rambut kuning pucat panjang berkepang, menarik perhatian para penyihir.

"Ordo Edda, pelindung dunia Vanir bersedia menyambut Anda semua ke perkarangan Pohon Pengetahuan!" ucap orang tersebut yang ternyata adalah seorang pria.

Pria itu berbalik. Haddock memegang pundak Alicia dan memandunya berjalan masuk bersama yang lain. Melewati pintu raksasa itu, Alicia lagi-lagi dikejutkan dengan segala kemegahan pada perkarangan Pohon Pengetahuan. Pohon ash kolosal di tengah gedung yang terpapar sinar mentari dari lelangit tak beratap saja sudah megah minta ampun. Belum lagi para petugas di sini sangat menghargai pohon tersebut, taman tersebut di kelilingi oleh teras dengan corak dinding kompleks kurang lebih sama dengan dinding stasiun. Hamparan padang penuh dengan bunga liar berwarna terang, dilengkapi dengan kontrasnya ratusan kupu-kupu berwarna gelap. Sebagai pemanis, di bagian atas tembok terdapat lukisan-lukisan emas yang menggambarkan sejarah Vanir yang terhubung satu sama lain sampai akhirnya mengarah ke sebuah lukisan raksasa yang berada tepat di belakang Pohon Pengetahuan—menggambarkan Njord dan kedua anaknya, Frō dan Fruowa, para pemimpin terdahulu Vanir.

Sementara itu, di hadapan Alicia dan yang lain, sudah berkumpul para petinggi sihir dan tetua bangsa Vanir (dan beberapa ekor beruang) saling bercakap-cakap. Mereka semua mengenakan jubah hijau dan hampir semunya memasang tudung kepala. Merekalah bagian dari Ordo Edda, yang ternyata berisikan para penggiat Druidisme—seni mistis alam dan kesuburan kebanggaan Vanir.

Salah seorang tetua yang lebih tegas dari yang sebelumnya menyambut mereka. "Jadi, Magisterium Tanah Sihir telah hadir," katanya. "Katakan sekali lagi, apa keperluan kalian untuk mengecap air Pohon Pengetahuan?"

"Haruskah aku yang mengatakannya?" bisik Odelie kepada Haddock.

"Biar aku saja," balas sang Grand Magus. Pimpinan Magisterium melangkah maju, menghadap para druid. "Salam, Broin. Salam, para petinggi Ordo Edda. Aku mewakili Magisterium Tanah Sihir, hendak meminta belas kasihan Anda sekalian untuk seteguk air Pohon Kehidupan kepada anak perempuan ini, demi mencari keberadaan orang-orang yang tercantum dalam suatu ramalan."

Tetua yang dipanggil Broin itu melihat perempuan bersurai merah bermuka datar. "Jadi, engkau yang dipilih Arcane di luar Kekaisaran Abadi? Yang menghentikan wabah mayat hidup di Eidyn?"

Haddock mendekatkan diri ke kuping sang gadis. "Tunjukkan Orb kepada mereka."

"Sungguh? B-baiklah …."

Alicia membuka ransel punggungnya dan mengangkat globe Arcane yang bersinar terang. Kelipan bintang memenuhi kebun raya tanpa terkecuali!

Tak ada yang dapat menyaingi cahaya suci Arcane. Tidak dengan segala gemilang emas dan berlian di aula luar tersebut. Semua druid tersungkur. Beberapa seperti Broin bahkan mengucurkan air mata. Mereka tak pernah merasakan kehadiran Arcane sedekat ini—tepat dimana mereka lahir dan dibesarkan. Layaknya dambaan hati kanak-kanak Vanir agar berkat suci itu kembali pulang kepada mereka.

"Anak ini adalah titipan Ygaldin!"

Tak ada yang bisa menjelaskan rasa sukacita yang amat mendalam di antara mereka. Seaentro anggota ordo—termasuk para beruang bersujud, membiarkan bibir mereka mencium tanah. Segala bentuk sembah diserahkan kepada Orb dan orang pilihannya. Hanya itulah yang bisa mereka ungkapan terhadap para dewa yang menjawab doa leluhur mereka.

Alicia termenung sesaat sebelum dirinya berjalan mundur. Dirinya gemetaran, terkejut, terharu, tersanjung juga. Bagaimanapun dia belum bisa menerima pemujaan berlebihan itu di kala dia sendiri merasa sama sekali belum berbuat apapun di sana! Dengan sarat ketidaknyamanan, Alicia memohon kepada para druid. "T-Tuan-Tuan, tolong berdiri! Kumohon, tidak perlu sampai bersujud seperti itu!"

Broin bangkit dari sujudnya dengan mata lembab. "Kami menghargai kerendahan hatimu, Nona Muda. Tapi sukacita ini tak bisa dibendung. Sudah berabad-abad kami berdoa agar Cahaya Ygaldin yang lebih hangat dari syamsu kembali menemani tanah Vanir. Dan rasanya doa tersebut terwujud. Ygaldin berkenan melawat kami lewat dirimu!"

"Aku mengerti jika kalian menyembah Orb, tapi aku sendiri belum layak akan semua sanjungan ini. Aku tidak pernah melakukan apapun untuk kalian."

Sang druid tua itu berjalan dengan tongkatnya, menaiki undakan, dan mengulurkan tangan kurusnya kepada sang gadis.

"Mengantarkan Arcane murni kepada kami adalah jasa terbesarmu, Nona …?"

"Alicia Crimosnmane, Tuan."

"Nona Crimsonmane. Dan kami percaya engkau akan kembali membuahkan jasa yang besar. Mendatangkan ketentraman pada Vanir, dan pada dunia sihir. Kami akan membantumu apapun yang kami bisa untuk memenuhi segala tanggung jawabmu."

Grand Magus mengangguk kepada Alicia untuk menerima undangan Broin. Alicia pun memberanikan diri untuk menggengam tangan sang tetua, membiarkan dirinya dipandu selangkah lebih dekat mendekati Pohon Kehidupan. []