Chereads / The Gladiol / Chapter 151 - Pasutri

Chapter 151 - Pasutri

"Kalian juga masih kecil, nikmati saja masa remaja kalian, jika nanti sudah berumah tangga, perempuan akan menghabiskan waktunya di rumah dan mengurus anak begitu juga yang laki laki tidak akan ada waktu bermain, karena harus bekerja untuk anak isterinya. Kalian tidak boleh menyia-nyiakannya."

"Apalagi sekarang banyak yang terjerat pergaulan bebas. Kalian berdua harus berhati hati dan jangan melewati garis saat pacaran."

"Iya, Bu. Terima kasih atas nasihatnya," Alfa tersenyum. "Kami akan mengingatnya."

"Kami memang belum siap secara mental, tapi kalau masalah finansial, tenang saja Bu. Temanku ini adalah…" Amy menepuk bahu Alfa. "Dia sudah berpenghasilan tetap 1 sampai 5 juta per bulan."

"Eh? Benarkah"

Dua ibu itu saling pandang, antara terkejut dan tidak percaya.

Alfa memegang bahunya yang ditabok Amy dengan keras. Ia menggertakkan giginya sebal, namun ia menahannya. Ia kembali tersenyum pada ibu ibu yang kepo itu.

"Ah tidak tidak, aku tidak punya penghasilan sebesar itu kok," elak Alfa.

"2 sampai 5 juta per bulan?" ibu yang satunya membelalakkan matanya. "Tapi kalian berdua terlihat masih sangat muda. Bukankah kalian masih sekolah?"

"Kami memang baru lulus tahun kemarin."

"Baru lulus sudah berpenghasilan segitu? Apa pekerjaanmu, Nak? Itu pekerjaan yang halal kan?"

Alfa membuka mulutnya hendak menjawabnya, namun Amy sudah menjawabnya lebih cepat darinya. Ia hanya menghela napas dan tidak percaya dengan ekspresinya yang begitu senang ketika menjelaskannya.

"Apa dia sebahagia itu?" batin Alfa.

"Dia seorang penulis blog. Sebenarnya kami menjalankan bisnis, Bu. Jadi kita tidak perlu khawatir soal finansial. Lagipula kita tidak berencana menikah awal."

"Ada ada saja anak zaman sekarang ya, banyak saja akalnya. Memang kalian punya bisnis apa apa?"

"Apa jangan jangan…" salah sati ibu itu memegang tangan Amy dengan pelan. "Apa kau dihamili, Nak? Atau kalian tidak sengaja melakukan hubungan yang tidak pantas sebelum menikah?"

"APA?! SUDAH HENTIKAAANN!" teriak Alfa dalam batinnya.

"Ibu ibu, tidak ada yang seperti itu. Kami hanya teman, Bu. Kami memang merintis bisnis, dan itu bukan sesuatu yang buruk kok. Dan teman perempuan yang satu ini, tidak hamil. Saya ulangi lagi, DIA TIDAK HAMIL." Alfa mengatakannya dengan penuh penekanan.

"Ah begitu ya."

"Hahaha ternyata kita salah paham bunda."

Kedua ibu ibu malah tertawa.

Amy dan Alfa saling pandang, lalu Amy juga mengikuti keduanya.

"Haha, iya Bu, ini tidak seperti yang lain pikirkan. Kami tidak keluar batas atau melakukan hal yang aneh aneh kok."

"Baguslah kalau begitu. Aku punya anak laki laki, kuharap dia bertemu dengan gadis cerdas dan cantik sepertimu."

"Iya, aku juga punya anak gadis, kugarap dia bertemu dengan laki laki yang tampan dan bertanggung jawab sepertimu."

Ibu yang satunya memuji Alfa dan yang satunya memuji Amy.

Sedang Alfa dan Amy hanya tersenyum menanggapi lelucon kedua ibu ibu itu.

"Kalau begitu selamat bersenang senang dan berbelanjanya ya Nak. Ah aku jadi ingat masa muda."

"Iya, kuharap kalian tetap menjaga batas sampai kalian dewasa nanti dan tidak terjerumus ke hal hal yang buruk. Zaman sekarang sangat banyak kasus pergaulan bebas. Kalian harus berhati hati."

"Iya Bu," kata Amy dan Alfa bersamaan.

Setelah mengatakan itu, dua ibu ibu mengakhiri percakapan dengan melambai dan meninggalkan keduanya untuk menuju meja kasir.

Alfa akhirnya bisa bernapas lega.

"Astaga! Baru kali ini aku menghadapi ibu ibu." ia memegang pentingnya.

"Kita kan tidak punya Ibu. Mereka memberi nasihat yang baik. hehe" Amy mengengeh.

Alfa hanya bisa menepuk jidatnya melihat reaksi Amy.

Sesampainya di apartemen, Amy dan Alfa berhenti di depan pintu apartemen Alfa. Amy dan Alfa membawa banyak barang bawaan sampai kedua tangannya penuh. Mereka saling melihat satu sama lain dan memberi kode siapa yang akan membuka pintu dan memasukkan kata kunci sedang kedua tangan emreka penuh.

Amy memiringkan kepalanya begitu juga Alfa.

"Jadi siapa yang akan membuka pintunya?"

"Emm, tunggu dulu." Alfa meletakkan barang bawaannya di lantai sejenak lalu memasukkan kata sandi di monitor.

Tiiit!

Setelah pintu terbuka, Amy dan Alfa masuk. Keduanya menaruh barang bawaan di atas meja dapur. Alfa menata bahan makanan yang akan dimasak sedang Amy berkacak pinggang sembari menatap Alfa yang sumringah menata bahan makanan itu di meja. Ada tomat, wortel, kacang panjang, buah buahan, daging sapi, ayah, telur dan lainnya.

"Ada apa dengan senyumnya? Apa dia sesenang itu melihat kacang panjang?" pikir Amy sembari menggeleng miris. "Seperti melihat pacar saja pake senyum senyum segala, cih."

"Apa ada yang perlu aku bantu?" Amy menawarkan diri.

"Kau duduk saja, aku yang akan memasak."

"Apa?" Amy ragu. Ia lalu mendekati Alfa. "Tidak mau. Aku juga mau memasak."

"Ha? Tiba tiba pengen memasak juga?" Alfa tersenyum mengolok.

"Cih, tidak mau dibantu ya sudah." Amy berbalik dan hendak pergi.

"Iya iya, jangan marah." Alfa menarik pergelangan tangannya.

"Itu," Alfa menunjuk ayam dan telur. "Masukkan dulu ke kulkas. Kita harus menyimpan beberapa bahan untuk besok."

Amy menurut, ia mengangkat bahan bahannya dengan hati hati lalu memasukkannya ke dalam.

"Ayamnya masukkan freezer, telurnya masukkan tempat telur, ada tempatnya sendiri di sana."

"Benarkah?"

"Ahh, sebenarnya apa isi kulkasmu sih?"

"Hehe," Amy mengengeh. "Bahan lainnya masukkan mana?"

"Masukkan di bawah. Yang paling bawah."

"Oke."

Setelah menaruh bahan makanan di kulkas, Amy kembali bergabung di depan meja panjang. Ia melihat Alfa mulai memotong kacang panjang menjadi kecil kecil.

"Kau tidak memakai celemek? Aku akan mengambilkannya."

"Ah itu tidak per…"

Tapi Amy sudah pergi ke belakang mengambilnya. Ia kembali dengan celemek di tangannya. Ia melihat Alfa tengah berdiri di depan wastafel dan mencuci dagingnya, ada baskom berisi taoge yang sudah di cuci di sampingnya.

Amy mendekat dan tersenyum lebar di sampingnya.

"Alfa," panggilnya.

"Apa?"tanya Alfa tanpa menoleh ke arahnya. Karena sibuk mencuci dagingnya.

"Kenapa kau tidak menggulung bajumu? Lihat kan jadi basah."

"Aku lupa tadi."

"Kau pasti terlalu bersemangat. Kau sebegitunya suka memasak?"

Alfa tersenyum menatapnya lalu mengangguk.

"Kemarikan tanganmu."

Alfa berhenti sejenak, ia memutar badannya ke arah Amy, lalu mengulurkan dua tangannya. Karena tangannya basah, Amy membantu menggulungkan lengan bajunya. Sementara Amy fokus menggulungnya, Alfa tidak bisa berhenti menatapnya. Wajahnya, rambutnya khas nya yang dikuncir satu, dan senyumnya. Seolah ia bisa melakukan segalanya untuk gadis itu, ia tidak peduli kalau harus memasak setiap pagi. Toh memang itu hobinya semasa dulu.

"Sudah selesai."

Namun Alfa masih terus menatapnya.

"Alfa? Alfa?"

Alfa masih menatapnya sembari senyum senyum tidak jelas. Ia melamun, membayangkan Amy menjadi isterinya, menyambutnya ketika pulang kerja, menggulung lengan bajunya saat memasak dan memakaikan dasi saat akan berangkat kerja, serta kecupan manis di pagi hari. Betapa bahagianya hidupnya. Kehidupan normal yang sangat ia impikan, tidak ada kutukan, tidak ada sekte, kelompok sesat, Ramon ataupun mantra. Kehidupan normal yang dimiliki semua orang. Tiba tiba ia mengingat bahwa kehidupan semacam itu hanyalah mimpi. Jalan mereka masih jauh untuk menjadi normal.

Mendadak ia mengingat lagi, Amy yang kesakitan, bahkan kepribadiannya yang berubah ubah tidak tentu. Serta kutukan yang menimpa ibunya, keluarganya, kakaknya Dio yang pergi jauh darinya. Dan semua hal yang berakhir kepedihan. Ia juga ingat Rataka mengatakan bahwa ia tidak mengingat Taka karena suatu alasan penting. Ketika mengingat semua itu, bayangan kehidupan normal yang diimpikan Alfa lenyap begitu saja, disapu bersih oleh ingatan ingatan kelam. Ia sendiri juga memiliki riwayat yang hampir sama. Kecanduan alkohol di kamar kecilnya, melihat pantulannya yang menyedihkan di cermin, dirinya yang pecundang dan tidak bisa berhenti mengimajinasikan Amy bersamanya, serta kutukan ilusi di tangannya saat itu. Ia sangat berbeda dengan keadaannya yang sekarang. Dari pada memikirkan hal hal itu ia sepatutnya bersyukur karena diberi kesehatan seperti sekarang ini. Namun manusia akan selalu meminta lebih, termasuk dirinya.

Alfa tiba tiba menitikkan air mata.

Amy melihatnya dengan khawatir.

"Alfa?"