"Aku sudah melihatnya," Maya menatap Oska lesu. Matanya memerah habis menangis.
"Ponsel itu..." Oska terkejut melihat Maya membawa ponsel dengan model yang sama dengannya. Itu milik Richy.
"Aku sudah melihatnya."
"May, ini tidak seperti yang kau pikirkan." Oska melangkah mendekati Maya.
"Berhenti!"
Oska tertegun mendengar teriakan Maya.
"Aku sudah melihat tato di punggungmu."
"Ma...Maya...."
"Siapa kau sebenarnya? Apa kau sudah mengenalku sejak awal? Bagaimana bisa kau mengenal Kakak? Apa yang kalian berdua rencanakan?!" teriak Maya pasrah.
tok tok tok tok tok
Lagi-lagi di luar terdengar suara ketukan beruntun.
"Maya! Maya! Kau di dalam?" Itu adalah Richy.
Oska dan Maya masih saling berhadapan dengan kalut.
"Kenapa jadi seperti ini? Kenapa?!" Maya menjambak rambutnya sendiri frustasi. Ia mengamuk dan membuang ponsel itu hingga pecah. "Kenapa kalian berdua membodohiku seperti ini?! Kenapa?! Arrggghhhhhh!"
Maya berteriak gemetaran. Oska mendekat dan menghentikannya menyakiti diri sendiri.
"Pergi! Pergi kau!" Maya mendorongnya. "Aku tidak bisa percaya pada siapapun lagi! Pergi kau!"
Maya memukuli dada Oska dan terus mendorongnya menjauh. Oska menahan tangannya.
"Hentikan May!"
"Pergi kau! Siapa kau berhak mengaturku?!"
Maya dengan tubuh menggigil mendorong Oska. Ia lalu berlari ke arah meja kecil di sudut, ada sebuah gunting tajam di sana. Oska panik dan berteriak.
"Maya, Jangan!"
Pintu didobrak dari luar, Richy masuk dalam keadaan basah kuyup. Ia melihat Maya menaruh gunting di lehernya.
"Maya!"
"Jangan mendekat!"
"Maya...." tangan Richy bergetar. Matanya memerah dan berkaca-kaca. "Maafkan aku, May. Tidak, jangan maafkan aku. Aku tahu ini semua salahku!"
Richy mendekat namun Maya berteriak dan semakin mendekatkan gunting itu. Darah segar menetes dari lehernya.
"Hentikan, May!" Oska berusaha mendekat.
"Kalian berdua pasti senang memperlakukanku seperti ini, kan?" Maya tertawa miris. "Aku lelah, Kak." ia menangis. "Aku lelah! Aku membencimu! Aku ingin mati saja! Aku ingin mengakhiri semuanya!"
Dengan kedua tangannya, Maya mengarahkan ujung gunting tepat ke arah tenggoroknanya. Oska melirik Richy untuk memberikan tanda. Ia meminta Richy sadar dan berpikir jernih untuk menyelamatkannya. Oska lalu menghitung aba-aba.
"Sekarang!"
Richy menarik Maya sedang Oska meraih guntingnya secepat kilat. Maya selamat, namun sayatan di lehernya terus mengeluarkan darah, hingga berceceran di lantai.
"Maya! Maya!" Richy memeluknya dan berteriak panik.
Oska mengambil jaketnya lalu menekan darahnya.
"Kita harus segera ke rumah sakit!" kata Oska.
"Bertahan, May!"
Maya pingsan. Richy menggendongnya keluar, Oska mengambil kunci mobil. Mereka melarikannya ke rumah sakit di tengah terjangan badai dan hujan yang mengguyur sangat deras.
***
Rapat pemegang saham di adakan. Para petinggi duduk. Mereka banyak yang berbisik-bisik bahwa pimpinan akan menunjuk putranya untuk menggantikan posisinya. Gabriel datang dengan ajudannya lalu duduk di tengah paling ujung. Semua pemegang saham yang hadir berhenti berkasak-kusuk dan diam.
Gabriel memang berencana untuk mengumumkan penggantinya sebagai pimpinan utama. Dean duduk di dekat Tuan gabriel agak ke tengah.
"Ini akan jadi pertunjukan yang menarik untuk Gabriel," batinnya, Dean tersenyum menantikannya.
"Selamat datang di rapat pemegang saham," Gabriel membuka rapat. "Kalian semua pasti sudah mendengar bahwa rapat ini bertujuan untuk pengangkatan pimpinan baru yang akan menggantikan saya."
"Wah jadi itu benar, ya."
"Putranya yang mana?"
"Kudengar dia punya banyak putra angkat."
"Bukankah harusnya putra kandungnya?"
"Mungkin itu Tuan Muda Dean."
Semua orang berbisik-bisik sembari melirik ke arah Dean. Memang sejak masih muda, Dean telah banyak memberikan kontribusinya pada perusahaan. Ia mengambil jurusan manajemen bisnis, sedangkan Elias kedokteran.
Gabriel lalu berdiri.
"Aku, Gabriel, akan menunjuk pemimpin baru. Dia adalah putraku yang memberikan banyak kontribusi untuk perusahaan ini." Gabriel dengan senyum sumringah melihat ke arah Dean.
Tiba-tiba Dean berdiri dari kursinya. Gabriel terkejut, namun ia tersenyum karena melihat antusias Dean begitu besar.
Dean membenahi jasnya lalu mengangguk sopan pada ayahnya. Ia memutar kursinya lalu berjalan ke arah yang berlawanan. Ia melangkah menuju pintu keluar. Semua orang kaget termasuk Gabriel sendiri.
"Anak itu..." Gabriel merasa ada hal yang tidak beres.
Dean tiba-tiba membuka pintu dengan elegan. Satu tangannya di belakang dan satu tangannya ia taruh di dada menyambut seseorang. Seorang pria berpakaian rapi mengenakan setelan jas putih masuk dengan percaya diri seolah bersinar. Semua orang terkejut bukan main melihatnya. Karena pria itu adalah Elias.
"Calon pemimpin yang baru sudah datang." Dean menambahkan. Ia lalu mengangguk sopan pada Elias seolah ajudannya.
Elias melangkah diikuti Dean di belakang. Ia mendekati ayahnya lalu berdiri di sampingnya.
"Apa yang terjadi?"
"Bukan Tuan Muda Dean yang akan menggantikannya?"
"Tuan Muda Elias bukankah seorang dokter?"
"Ada apa ini?"
Semua orang bingung, begitu juga Gabriel. Dean kembali duduk di kursinya. Semua orang menatap Elias yang menggunakan setelan putih di saat semua orang memakai setelan hitam dan gelap. Ia sengaja mencolok dan menarik perhatian. Elias dan Dean saling melirik dan melempar senyum smirk satu sama lain.
"Pak Gabriel, jadi siapa yang akan anda tunjuk untuk menggantikan posisi anda?" tanya salah satunya. "Apakah Tuan Muda Dean atau Tuan Muda Elias?"
Semua orang juga mempertanyakan hal yang sama.
"Kenapa anda bertanya pada hal yang sudah pasti?" sahut Dean, semua orang menatapnya. "Apa anda tidak melihat Tuan Muda Elias yang berdiri di sisi Tuan Gabriel?"
Semua orang berbisik-bisik. Ada benarnya juga. Lagian keduanya sama-sama putranya Gabriel.
"Aku tidak akan membiarkan Dean jadi CEO boneka yang dikendalikan Gabriel," batin Elias puas. "Maaf, ayah. Tapi aku yang akan mengendalikan semuanya mulai sekarang."
Gabriel tidak bisa berkata-kata. Tangannya mengepal marah dan lehernya sakit, kepalanya mendadak pusing dan hampir pingsan. Tentu saja itu hanyalah drama. Gabriel sebenarnya tidak sakit apa-apa. Namun semua orang panik melihatnya. Ajudannya dengan sigap memapahnya.
Selesai rapat Dean dan Elias berbicara sembari minum kopi di balkon atap. Mereka berdiri di pembatas pagar dan menatap langit.
"Kau suka pertunjukannya?"
"Sangat gila," Elias tertawa kecil.
"Kau juga sama."
"Kau sungguh tidak apa-apa?"
"Mengurus perusahaan dan rumah sakit bukan pekerjaan yang mudah. Kau yang harusnya bersiap."
"Ah sial."
Keduanya tertawa kecil.
"Aku ingin melakukan sesuatu."
Elias menatapnya.
"Untuk pertama kalinya, aku ingin melakukan hal yang ingin aku lakukan. Bukan mengurus perusahaan dan rapat menyebalkan." Dean menatap langit lalu melirik Elias. "Terima kasih, El. Sudah menyadarkanku."
"Itu tidak cocok denganmu." Elias lalu mengingat lagi bahwa kata-katanya waktu itu cukup kasar. "Tentang kata-kataku kemarin...."
"Tidak apa-apa. Aku tidak terlalu memikirkannya." Dean seolah tahu maksudnya.
Elias tersenyum lega menatapnya.
***
"Sudah lama kau tidak datang ke sini," Mary menyuguhkan minuman untuk Sano. Mereka minum di ruangan Mary.
"Apa yang Dean cari?"
"Tidak bisakah kau berbasa-basi dulu?" Mary menggeleng-geleng.
"Aku tidak ada waktu seperti itu."
Mary duduk dan menyeruput tehnya. Ia lalu menceritakan bahwa Dean mencari orang itu.
"Kenapa Dean masih mencarinya?" cemas Sano.
"Sudah kubilang untuk berhenti mencarinya. Tapi Dean tetap bersikukuh bahkan mencurigai salah satu karyawanku."
"Karyawanmu?"
"Ya! Dia bahkan memecatnya!" Mary emosi ketika mengingatnya lagi.
"Bisakah aku tahu siapa dia?"
Mary lalu mengambil formulir kerja Maya di lacinya, lalu memberikannya pada Sano. Ia sangat terkejut melihatnya.
"Maya?!"