"Kau bisa jalan?"
Maya mengangguk.
"Ayo lewat sini."
Oska menggandeng Maya masuk ke dalam gang yang lampunya remang-remang. Sayangnya ada dua pengawal pria kekar yang melihatnya karena sepatu seragam berwarna cokelat khas yang dikenakan Maya. Itu adalah seragam pelayan.
"Itu di sana!" teriak salah satunya.
Beberapa orang sekitar 4-5 pria pengawal berlari mengejar Oska dan Maya.
Oska panik lalu memegang erat tangan Maya dan mengajaknya berlari.
"Ayo, May. Kita harus lari!"
Keduanya panik dan bergegas menghindar. Mereka masuk setiap gang yang ada, namun di ujung jalan selalu ada pengawal, dan mereka berakhir masuk gang yang lebih sempit lagi.
"Tu...tunggu, Kak."
"Ada apa?"
"Sepertinya mereka tahu dari sepatuku."
"Sepatu?" Oska menoleh ke sepatu yang dikenakan Maya. "Jangan bilang kalau itu sepatu seragam juga?"
"Iya, ini sepatu bar."
Oska menghela napas. Maya lalu membuka paksa dan melemparnya ke ujung gang. Setelah itu mereka berlari ke dalam gang yang berbeda. Meskipun sempit dan remang-remang. Mereka akhirnya sampai di jalan yang agak lebar.
"Huft," keduanya berhenti berlari dan setidaknya bisa bernapas sebentar.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Oska.
Maya mengangguk.
Tiba-tiba di ujung jalan ada dua pria yang tengah melihat kanan kiri. Oska menyadarinya sebelum mereka tahu. Ia menarik tangan Maya dan bersembunyi di belakang rumah warga yang sempit sekali hingga Maya terkejut.
"Ada apa?" bisik Maya.
"Ada pengawal di ujung sana. Mereka pasti kemari. Cuma ada jalan ini yang lebar."
Keduanya terhimpit dengan posisi saling menghadap. Oska memegang kepala belakang Maya agar tidak terbentur. Kemejanya dikalungkan di leher. Ia melihat beberapa rambut Maya yang acak-acakan. Oska membenahinya.
Maya tersentak dan mendongak. Membuat Oska terkejut, tanpa sengaja keduanya pun saling menatap. Maya segera mengalihkan pandangannya.
Drap drap drap
Terdengar langkah kaki mereka yang mendekat. Oska dan Maya cemas dan berjaga. Oska menarik tubuh Maya dan memeluknya dengan erat. Maya terkejut namun ia juga harus tenang agar tidak bersuara. Mereka berdua menelan saliva dengan cemas.
"Dimana mereka?" salah satu dari mereka saling menghubungi dengan handsfree.
"Tidak ada di sini."
"Sial!"
"Cari lagi di gang-gang!"
"Baik, Pak!"
Dua pengawal yang di dekat situ kemudian berlari menjauh dan entah mencari kemana. Oska makin memeluk Maya yang gemetaran. Ia menyadari gadis itu yang ketakutan.
"May," panggil Oska.
Maya menunduk.
"Kau baik-baik saja?"
Maya masih menunduk. Oska lalu memegang dagunya dan mendongakkan wajahnya. Betapa terkejutnya ia saat melihat wajah Maya memerah. Ia menangis dalam diam, air mata bercucuran di pipinya. Ini adalah pertama kalinya, ia melihat gadis itu menangis. Padahal dulu dia selalu riang saat bekerja di kafe.
"Ma...Maya..." Oska tertegun melihatnya. Ia khawatir.
"Aku....takut....aku takut sekali..." Maya menangis.
"Maya...." Oska merengkuhnya dan memeluknya dengan erat. Entah kenapa hatinya sangat sakit. Ia sangat sakit melihat air mata gadis itu jatuh dengan diam-diam. Hatinya tidak terima dan terasa perih saat melihat gadis itu terluka terlalu banyak.
"Sudah tidak apa-apa. Sekarang kau baik-baik saja. Kau baik-baik saja, May."
Tubuh Maya sangat lemas. Oska menyadari gadis itu yang sedari tadi memaksa berlari. Ia melihat kaki Maya yang lusuh dan kotor karena tidak membawa alas kaki. Oska makin frustasi dan mengacak rambutnya.
"Astaga apa yang aku lakukan pada gadis ini!" teriaknya dalam hati mengumpat pada diri sendiri.
Ia lalu memapahnya keluar dan menggendongnya di punggung. Gadis itu sangat lemah, tangan kecilnya masih bergetar dan tubuhnya dingin menggigil. Ia berlari ke jalan raya lalu naik taksi. Kemudian membawanya ke apartemen. Diliriknya jam di pergelangan tangan, menunjukkan jam 1.30 dini hari. Untungnya Tian sudah terlelap. Sembari menggendongnya Oska memasukkan sandi pintu kamarnya lalu masuk mengendap-endap agar tidak bersuara.
Ia membaringkan Maya di ranjang. Ia membuka kemeja yang melingkar di lehernya dan juga jas yang di pinggangnya. Lalu mengambil sebaskom air hangat, dan mencuci kakinya. Dengan handuk kecil yang bersih, Oska membasuh wajah dan lehernya. Ia mendapati kancing paling atas Maya hilang beberapa. Ia mengancingkannya seadanya dengan wajah tertekuk, marah dan tangannya mengepal ingin meninju Jeffry dan Rey.
"Kalau sampai aku ketemu mereka, aku akan membunuh keduanya!" batin Oska brutal.
Ia melihat rok Maya yang juga sobek parah. Diambilnya selimut tebal dan menyelimuti gadis itu. Wajah Maya pucat, bibirnya memutih dan kondisinya lemah. Oska duduk di bawah. Satu kakinya ditekuk ke atas, satunya lagi diselonjorkan. Tangan kanannya membawa handuk kecil, ia meremas handuk itu dengan mata menyala dan marah.
"Rey....sebenarnya apa yang kau lakukan di sana? Apa rencanamu? Apa kau ingin memulai perang lagi dengan Sky Lynx? Apa tidak cukup yang dilakukan Black Bird dahulu?" batin Oska.
"Arrgggghh!" Oska marah dan berteriak dalam diam, ia melempar handuk itu hingga menatap dinding. Napasnya tersengal. Setiap menoleh dan melihat Maya, hatinya merasa sakit. Ia meremas dadanya yang nyeri.
"Kenapa? Kenapa aku ingin melindungi Maya? Seharusnya aku hanya mengawasinya saja. Kenapa? Kenapa?!!" batin Oska menggila.
Ia tidak menyukai perasaan ini. Ia tidak ingin membuat gadis itu dalam bahaya. Ia tidak ingin membiarkan siapapun lagi mati di hadapannya. Tidak gadis ini, Maya.
***
Elias mengawasi Cherry di ruangan kantornya. Cherry sibuk bermain ponsel barunya di kursinya sembari berputar-putar dan memainkannya. Sedangkan Elias menyemprot tanaman kecil bonsai dengan air. Ia meliriknya.
"Apa kau akan bermain ponsel baru seharian?"
"Kenapa?" Cherry meliriknya.
"Tidak, lanjutkan saja."
Cherry memasang wajah kesal.
"Kemana sih Dean. Cepat suruh dia kembali," pinta Cherry. Ia menyimpan ponselnya.
"Kau... sungguh lupa ingatan?" tanya Elias tiba-tiba.
"Jawab aku dulu."
Elias menoleh segera, lalu menaruh semprotannya dekat bonsai. Ia mendekati Cherry.
"Aku tahu kau cuma pura-pura," kata Elias dengan penuh penekanan sembari memperbaiki kacamatanya.
Cherry berdiri, lalu mendekat dan menggodanya.
"Kenapa? Kau mau tidur denganku?"
Uhuk-uhuk
Elias terbatuk-batuk.
"Apa? Apa kau gila? Itu tidak ada hubungannya?"
"Bukankah kau dan Dean sedang berusaha mengambil kursi pimpinan. Kalau begitu siapa yang akan menang, aku akan menempel padanya."
"Kau menempatkan dirimu sendiri jadi taruhan. Aku tahu kau mengalihkan topik, dasar gadis rubah."
"Bagaimana jika kau yang menang? Kau mau tidur denganku?" bisiknya di telinga Elias. "Aku akan memberikan semuanya padamu."
Cherry memeluk Elias erat dan penuh nafsu. Elias tersadar dan segera mendorongnya pelan.
"Apa tujuanmu? Apa kau dikirim dari Black Bird lagi?"
"Lagi?" batin Cherry.
"Black Bird? Apa itu? Oh yang kemarin menyerang markas?"
Elias mendekat dan mengelus rambutnya pelan namun menakutkan.
"Jika kau berusaha menggoyahkan tempat ini seperti wanita sebelumnya. Aku yang akan membunuhmu dengan tanganku sendiri."
Mereka berdua saling menatap tajam satu sama lain. Namun tatapan Cherry kini berubah menjadi ceria lagi dan merengek menempel pada Elias.
"Eli... jangan kasar padaku ah. Kan aku cuma tanya Dean dimana tadi, kenapa kau marah begitu sih?" Cherry cemberut.
Elias menoleh dan melepaskan gelayutan manja lengan Cherry.
"Namaku bukan Eli," ketusnya. "Sebaiknya kau segera keluar dari rumah utama."