"Lepaskan aku," Ella meronta agar tangannya dilepaskan. Ia hampir menangis. "Aku tidak tahu, Jeff. Kenapa kau memperlakukanku seperti ini?"
"Dimana Maya? Dimana dia?!"
Ella mendudukkan kepala gemetar dan berusaha menarik tangannya agar lepas dari Jeffry.
"Lihat aku, lihat mataku El. Jawab!"
Grep!
Tian datang dan melepaskan lengan Jeffry dari Ella. Ia berdiri di depan dan menutupi Ella dengan tubuhnya.
"Minggir kau!" teriak Jeffry dengan penuh amarah. "Jangan ikut campur urusan orang!"
"Aku tahu kau brengsek tapi aku tidak menyangka kau sebrengsek ini," Tian miris. "Apa kau selalu menggunakan kekerasan pada perempuan?"
Tian melirik Ella yang berdiri di belakangnya dengan gemetar sembari memegang pergelangan tangannya yang merah.
"Setelah menyakiti Maya sekarang kau menyakiti Ella. Apa kau pria huh?!" Tian marah. Tangannya mengepal namun ia menahan untuk memukulnya.
Jeffry melotot ke arah Ella.
"Aku hanya bertanya dimana Maya tapi perempuan jalang ini…"
Plak!
Ella maju dan menamparnya.
"Kenapa kau mencari Maya? Mau mengganggu hidupnya lagi?" Ella muak. "Aku menyesal pacaran denganmu. Aku menyesal menyakiti Maya gara-gara laki-laki brengsek sepertimu!" Ella menangis. Tian terkejut mendengarnya.
Ella mengangkat tangannya hendak menamparnya lagi, namun Tian menghentikannya. Ia menurunkan lengannya dengan pelan.
"Jangan kotori tanganmu lagi," kata Tian.
Ella menangis.
"Pergilah ke UKS dan obati tanganmu yang memar."
Satpam datang dan menyeret Jeffry keluar. Jeffry kaget dan tentu saja tidak terima.
"Loh loh ada apa ini? Lepaskan? Argh!" Jeffry meronta dua lengannya disatukan ke belakang oleh satpam berbadan kekar.
"Ada laporan kekerasan! Kalian semua di kelas ini akan jadi saksi. Mahasiswa ini akan dikenai sanksi." setelah itu satpam membawanya keluar paksa.
Jeffry mengumpat dan makin marah, matanya melotot dan menyumpah serapahi Tian. Setelah itu Tian berbicara dengan Ella di luar kelas tentang Maya.
"Apa Kak Tian kemari juga mencari Maya?" tebak Ella.
Tian mengangguk.
"Aku juga tidak tahu kemana dia. Aku sudah mencoba menghubunginya namun ponselnya mati. Aku juga sangat khawatir padanya. Aku menyesal dan merasa bersalah padanya, Kak," Ella murung.
Tian memegang bahunya, menenangkannya. Ia sendiri menghela napas karena tidak bisa menemukan dimana Maya.
"Pulang dan istirahatlah. Latihan club sore ini aku akan mengizinkanmu absen."
Ella mengangguk dan berterima kasih. Setelah itu ia pamit pergi dari sana.
Di club, Olla melihat Tian nampak lesu dan tidak bersemangat. Ia menghampirinya.
"Ada apa denganmu?"
"Tidak apa-apa," jawab Tian seadanya.
"Kau tidak lihat Maya masuk latihan kan akhir-akhir ini?"
Tian seketika menoleh dan menatap Olla.
"Kenapa kau melototiku?" ia heran.
"Aku tidak melotot." Tian memperbaiki raut wajahnya.
"Jelas-jelas kau melotot tadi."
"Kau tahu sesuatu tentang Maya."
"Dia tidak masuk bukannya tanpa alasan."
Tian mendengarkannya dengan serius. "Jadi kenapa?"
"Maya cuti kuliah."
"Apa?!"
***
Nico baru sadar kalau hadiah anting dari Andra untuk Maya tertinggal di mobilnya karena mereka pelukan malam itu. Paginya saat ke kampus ia membawa kotak hadiah itu lagi bersamanya. Mobilnya masih terparkir id garasi rumah.
"Maaf nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Silakan coba beberapa saat lagi."
"Bisa-bisanya ponselnya mati."
Nico heran tidak biasanya ponsel Maya tidak aktif. Ia lalu memutuskan menjemput Maya di apartemen dan mengajaknya ke kampus bersama. Ia lalu pergi ke apartemen Maya secepatnya.
Tok tok tok, tok tok tok.
Tidak ada sahutan dari dalam. Nico mulai khawatir.
"Cari siapa, Mas?" seorang cleaning servis yang kebetulan membersihkan lantai bertanya padanya.
"Ini loh Mas, yang punya kamar ke mana ya?" tanya Nico dengan ramah.
"Sudah pindah penghuninya."
"Apa?!" Nico kaget. "Sudah pindah?"
"Iya."
Setelah memberitahunya, petugas kebersihan itu pergi dari sana setelah mengambil sampah. Sedang Nico masih berdiri termenung tidak percaya. Ia kemudian tersadar lalu berbalik dan berlari di koridor. Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, Nico terkejut dan seketika menoleh sembari berteriak.
"Maya!" ia tersenyum lebar, namun sesaat kemudian kecewa yang didapatkannya.
Itu bukan Maya, melainkan Oska.
"Gadis itu sudah pindah," katanya.
Nico menunduk panik. Namun ia berusaha positif thinking.
"Mungkin dia sudah di kampus. Aku harus bertanya padanya." Nico hendak berbalik namun Oska mengatakan sesuatu yang membuatnya berhenti.
"Tidak ada. Dia cuti kuliah."
"Apa?!" Nico meraih kaus bagian leher Oska dengan emosi. "Tahu apa kau tentangnya? Jangan seenaknya bicara omong kosong!" teriaknya.
"Itu bukan omong kosong," sahut seseorang. Itu adalah Tian, ia ikut keluar dari kamar.
"Apa katamu?" Nico menoleh ke arah Tian. Perlahan ia melepaskan baju Oska. Napasnya sesak, ia ketakutan dan khawatir pada keadaan Maya.
"Kenapa hanya aku yang tidak tahu? Kenapa Maya memberitahu kalian?!" teriaknya marah.
"Tidak. Kau salah," kata Tian. "Aku tahu dari ketua club olahraga."
"Aku tahu dari pemilik kafe," sahut Oska.
"Pemilik kafe? Si Nando?"
Oska mengangguk.
"Dia juga berhenti dari pekerjaannya," tambah Oska.
"Tidak mungkin. Sebenarnya apa yang terjadi?" Nico makin bingung. "Kalian kan tetangganya. Harusnya kalian tahu kemana dia kan?!" ia melihat Oska dan Tian bergantian.
"Oi, berhenti berteriak!" Tian membalasnya. "Kenapa kau marah dari tadi? Kalau kau dekat harusnya kau yang paling tahu kan? Berhenti berteriak dan mengacau di sini?! aishhh." Tian jengkel. "Memangnya hanya kau yang khawatir?"
Setelah itu Tian masuk dan menutup pintunya dengan keras. Nico baru sadar kalau dia marah-marah dari tadi. Ia lalu menatap Oska yang berwajah datar tanpa ekspresi.
"Jadi kau yang namanya Nico?" tanya Oska.
"Apa? Kenapa?" Nico meninggikan suaranya.
"Kau sangat mirip dengannya," Oska menatapnya serius.
"Apa sih yang kau katakan?" Nico lalu bergegas melangkah pergi dari sana. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Nando.
Sementara itu, Oska melihat dari atas, Nico yang meninggalkan kompleks apartemen dengan mobilnya. Ia dengan hati-hati mencatat nomor plat mobilnya dengan mencurigakan.
***
Pulang dari kampus, Nico langsung rebahan di kamarnya. Ia frustasi dan masih menghubungi Maya berkali-kali namun nihil. Mama mengajaknya makan malam namun ia hanya berdiam diri di kamar. Hingga Andra harus ke kamarnya.
"Jangan seperti anak kecil. Nina yang memasak hari ini."
Tidak ada sahutan. Ia melihat Nico menutupi dirinya dengan selimut. Andra lalu masuk dan menarik selimutnya sembari berteriak sebal dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakkan.
"Ayo cepat keluar…." Andra terkejut melihat keadaan adiknya.
Nico tengah sesenggukan menangis.