Chereads / For a Youth / Chapter 72 - Mencarinya

Chapter 72 - Mencarinya

"Kali ini bukan anak 3 atau 4 tahun yang akan kau asuh. Dia remaja berusia 15 tahun, kelas 1 SMA."

Maya shock, namun ia berusaha tenang dan tidak terkejut meskipun ekspresinya mengatakan sebaliknya. Dan Roy sebagai psikiater nampaknya juga tahu kalau kandidat muda ini terkejut mendengarnya.

"Sepertinya kau tidak menduganya."

"Ah itu…iya, Pak. Di brosur yang saya lihat ada keterangan memiliki latar belakang konselor meskipun optional. Saya tidak mengindahkannya dan masih melamar di sini."

"Aku tidak butuh pengasuh. Adikku berusia remaja jadi untuk apa aku menyewa pengasuh."

Maya terkejut, ia panik. "Apa saya tidak diterima, Pak?"

"Apa saya bilang begitu?"

Maya menggeleng, namun ia khawatir.

"Aku tidak butuh pengasuh, aku butuh teman untuk adik perempuanku."

"Teman?"

"Pindahlah kemari mulai Rabu besok. Aku ada dinas hari Kamis sampai…" Roy melihat kalender kecil di meja. "Sampai bulan Juni berakhir, atau bisa lebih dari itu."

"Itu artinya…." Maya berusaha mencernanya.

"Iya, kau diterima jadi teman putriku. Aku sudah membuat jadwal sarapan, makan siang, makan malam dan camilan sehat untuknya. Aku juga membuat list apa saja yang perlu kau lakukan dengannya dan cara menghadapinya. Dia bukan anak yang mudah kau rawat. Jadi datanglah besok jam 8 pagi. Adikku sudah berada di sekolah di jam itu. Jadi kita bisa membicarakannya tanpa ia tahu."

"Apa adik anda tidak tahu saya akan datang?"

"Tidak, dia akan marah dan mengamuk. Karena itu kau harus bersiap. Aku menawarkan gaji tinggi bukannya tanpa alasan."

"Baik, Pak. Saya akan datang tepat waktu," Maya mengangguk mantap.

Paginya, Maya sudah siap dengan koper di tangan. Ia dan Roy membahas tentang pekerjaannya.

"Namanya Viola," kata Roy. Sembari memberikan setumpuk dokumen pada Maya untuk dipelajari. "Ini jadwal makan, jadwal olahraga, jadwal keseharian. Lalu yang ini list camilan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi, dan yang paling penting list yang harus kau lakukan sesuai dengan kondisi emosinya dan jadwal konseling setiap minggu."

"Apa saya perlu membuat laporan tertulis?"

"Iya, laporan tertulis yang rinci tentangnya. Kau harus melaporkannya tiap minggu, kirim melalui email. Di sini ada template laporan perkembangan. Kau bisa menulisnya sesuai itu. Kau harus secepatnya menghubungiku kalau ada masalah. Paham?"

"Baik, paham, Pak."

"Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku sangat strict pada adikku sendiri kan? Dia sedang sakit, jadi aku juga sangat hati-hati memilih 'teman' untuknya. Sebelumnya aku ingin mengaku kalau aku meminta seseorang untuk menyelidikimu."

"Ha?" Maya kaget. "Kenapa anda baru tahu memberitahu saya sekarang?"

"Karena aku tahu kau sedang dalam kondisi tidak bisa menolak pekerjaan. Kau membutuhkan dana untuk pendidikan bukan? Kau kan cuti kuliah."

"Ah itu…" Maya menghela napas. "Iya benar."

"Aku khawatir kalau aku malah mempekerjakan seseorang yang berbahaya untuk adikku sendiri. Seperti residivis atau yang lain. Tidak ada yang tahu kan? Kejahatan selalu ada di tempat dan orang yang kita anggap aman sekalipun."

Maya malah terperangah menatap Roy. Dia sangat cerdas dan karismatik.

"Iya, saya sedang berada di keadaan yang tidak mungkin menolak pekerjaan apapun sekarang. Tidak apa-apa, saya tidak keberatan, toh saya tidak memiliki rahasia khusus. Anda juga bukan orang yang akan menggunakan informasi untuk kejahatan."

"Aku seorang psikiater, aku selalu berhati-hati tentang informasi pasienku. Jadi aku minta maaf karena menyelidikimu."

"Iya, tidak masalah."

***

Tian membuka kemejanya dan menggantinya dengan kaus putih pendek biasa di ruang ganti. Ia keluar lalu mengambil peralatan badminton di ruang perlengkapan. Sesampainya di lapangan ia mengabsen para junior.

"Aldi."

"Hadir.

"Joe."

"Hadir."

"Ella."

"Hadir."

"Maya."

"Tidak hadir," sahut Aldi.

"Kemana? Belum masuk."

"Dia tidak hadir. Dia juga absen di kelas hari ini." sahut Ella.

Tian membisu, ia bertanya-tanya dalam hati kemana anak itu.

Di restoran.

"Sudah jam segini, kenapa Maya belum datang?" Gita melihat jam di pergelangan tangannya, sembari mengelap meja dan menatap kursi.

Ia menatap Oska di meja barista. Oska mengedipkan mata tanda ia sendiri juga tidak tahu dimana dia.

"Mungkinkah dia masih di kampus?" Gita penasaran.

Tiba-tiba Nando datang dan meminta mereka berkumpul. Ia hendak memberitahukan sesuatu mengenai Maya.

"Dia berhenti."

"Apa?!" Gita kaget dan tidak percaya. Begitu juga Oska hanya saja dia pendiam seperti biasa.

"Kenapa?" tanya Oska tiba-tiba, Gita dan Nando menoleh. Biasanya dia sangat pendiam.

"Dia punya alasan yang tidak bisa dijelaskan."

"Apa dia akan kembali?"

"Aku juga tidak tahu."

"Ah kenapa dia tiba-tiba berhenti? Pasti ada masalah serius," Gita khawatir.

"Sepertinya begitu. Maya menitipkan salam untuk kalian berdua. Dia tidak menjelaskan alasannya padaku. Dia hanya mengatakan bahwa membutuhkan uang banyak secepatnya. Tapi aku tidak tahu untuk apa."

"Gadis yang malang," Gita makin sedih mendengarnya. "Di usia semuda itu dia sudah bekerja sangat keras. Aku harap bisa membantunya."

Oska termenung mendengarkannya. Dia lalu berdiri lalu kembali ke tempatnya. Nando juga ikut berdiri dan meminta mereka untuk bertahan bekerja hanya berdua di malam hari.

"Aku akan menukar karyawan di shift pagi ke shift malam besok. Jadi tolong bekerja dengan baik meski hanya berdua malam ini."

"Kenapa kau merasa bersalah, Bos. Tidak apa-apa kami bisa mengatasinya," kata Gita.

Nando melempar senyum padanya.

Setelah pulang bekerja, Oska sampai di depan pintu kamarnya. Ia menoleh ke samping, ke mara Maya. Ia lalu melangkah dan berdiri di depan kamar Maya sejenak, kemudian menghela napas sedih. Di kamar, setelah mandi dan merebahkan diri di ranjang, Oska mengecek nomor Maya di grup karyawan. Ia hendak menekan panggil, namun jarinya kaku karena ragu. Ia berakhir tidak jadi meneleponnya dan meletakkan ponselnya di meja.

Paginya, Tian hendak menemui Maya ke kelasnya. Namun ia malah mendapati Jeffry yang tengah memaksa Ella untuk memberitahukan sesuatu hingga mencengkeram pergelangannya dengan kasar. Sedang teman sekelas lainnya yang hendak bubar dan keluar ketika selesai kelas, menonton keduanya dan tidak berani mendekat ke Ella meskipun ia menoleh ke kanan dan ke kiri meminta pembelaan.

"Jawab El?! Jawab!"

Maya melihat sekeliling dan teman sekelasnya hanya menatapnya. Padahal ia tengah diganggu oleh pria dari jurusan lain bahkan dipaksa dengan kekerasan. Ella ketakutan melihat Jeffry.

"Lepaskan aku," Ella meronta agar tangannya dilepaskan. Ia hampir menangis. "Aku tidak tahu, Jeff. Kenapa kau memperlakukanku seperti ini?"

"Dimana Maya? Dimana dia?!"