Chereads / For a Youth / Chapter 71 - Guardian

Chapter 71 - Guardian

"Viola kau...." Lyan mendesis menahan amarah.

"Ternyata malam di saat kita bertemu. Kau berjalan menuju kompleks apartemen kami kan? Apa waktu itu kau juga mengunjungi kakak 'tampanku'?" Viola menekankan kata terakhir yang ia ucapkan.

Lyan berdiri dengan pucat pasi.

Diraihnya tas mahal miliknya yang tergeletak di atas meja. Emosinya membuncah hampir tak terbendung lagi. Darahnya naik turun melihat pemandangan itu di depannya. Pikirannya dipenuhi rasa malu yang tak terelakkan. Jika ia tahu hubungan Dr. Casano dengan Viola, ia tak akan sudi mendekatinya. Lyan menghentakkan kakinya dengan sebal, sesaat sebelum ia benar-benar keluar dari pintu, meninggalkan adik kakak itu bersenang-senang. Ia memutuskan untuk tak peduli lagi mulai sekarang.

Roy menatap kepergiannya dengan perasaan bersalah namun juga lega. Sementara itu, Viola malah tertawa terbahak melihat wajah pucat pasinya Lyan. Dirinya pasti sangat malu. Viola pastikan, setelah ini Lyan tidak akan berani menampakkan muka di depannya maupun Roy. Kakak mendecakkan lidah menatap adiknya.

"Berhenti tertawa," kata Roy.

"Ya baiklah. Maaf kakakku yang paling tampan." Viola menahan tawanya yang hampir pecah.

"Kenapa kau bisa tahu aku ada di sini?"

"Sebenarnya tadi aku mengikutimu."

"Apa!" Roy membelalakkan matanya. "Dasar Penguntit! Jadi kau mendengar seluruh pembicaraanku dengannya?"

"Tentu saja," sahut Viola tanpa beban. "Tapi yang membuatku penasaran, kapan dan dimana kau mengenalnya?"

"Ah itu berarti kau tidak mendengar seluruhnya."

"Cih. Kau tidak tanya kenapa aku bisa mengenalnya?"

"Tidak, tidak perlu," Roy entah mengapa merasa bersalah, pada Viola dan pada Lyan. "Aku harap kalian jadi teman baik. Lyan memang agak kasar tapi dia bukan anak yang jahat."

"Apa? Kenapa kau membelanya?" Viola cemberut.

"Lyan adalah pasienku, dia mengalami insomnia akut yang cukup parah waktu itu. Mungkin karena belajar terlalu keras. Tapi dia sudah sembuh sejak lama."

Viola termenung. "Aku juga tahu dia anak yang baik. Dia hanya kesepian," Viola menunduk.

"Ajaklah dia berteman."

"HA? Kau gila?!" teriaknya? "Kenapa aku harus melakukannya?"

"Jelaskan kalau kau ingin memulainya lagi… menjadi sahabatnya."

"Kau sudah tahu rupanya. Aku sudah menduganya, sih." Viola tidak terkejut mendengarnya. "Lagipula kau yang paling salah di sini!"

"Kenapa jadi aku?"

"Kenapa kau mau menemuinya? Di tempat seperti ini? Apa kalian sengaja kencan?"

"Aku sudah tahu maksud ajakannya bertemu di sini. Untuk itu aku datang menyelesaikannya. Tapi tiba-tiba..."

"Tiba-tiba kenapa?"

"Tiba-tiba sebuah badai datang menggagalkan rencanaku."

"Tapi aku kan sudah menyelamatkanmu." Viola cengengesan.

"Dan satu lagi. Apa kau bolos?" Roy menatap seragam sekolah yang dipakai adiknya.

"Ya ampun. Kejam sekali kau. Aku baru saja pulang. Banyak hal yang kukerjakan di sekolah. Jadi kenapa harus bolos."

"Seharusnya dari dulu begitu. Dasar anak nakal!" Roy pura-pura menjitak kepalanya.

Viola tersenyum lebar. Roy merasa ada yang aneh dengan adiknya, namun mereka berdua melempar senyum satu sama lain. Roy tahu bahwa sebenarnya Viola menyayangi Lyan sebagai sahabatnya, jika ia memberitahu kejadian yang menimpa dirinya di masa lalu, Lyan pasti akan merasa bersalah karena telah membenci dirinya. Jadi dia membuat tameng untuk melindungi Lyan agar ia tak merasa buruk menjadi seorang teman yang telah salah paham padanya. Jadi Viola menahan semua rasa kebenciannya dari pada membuat sahabatnya terpuruk dalam rasa bersalah, meskipun itu juga buruk untuk Lyan dan dirinya sendiri.

***

"Siapa yang memindahkanku ke kamar VIP, Ma?" tanya Alfa.

"Mama juga tidak tahu, Nak. Katanya dia seorang dermawan."

"Benarkah?"

Mamanya mengangguk. Alfa membisu.

"Apa masih ada orang seperti itu zaman sekarang?' batinnya.

Dokter dan suster masuk lalu memeriksa kondisi jantungnya. Dokter mengatakan bahwa kondisinya semakin baik, dan ia bisa mendapatkan transplantasi secepatnya jika ada donor yang tepat.

Penyakit jantung bawaan Alfa berasal dari ayah kandungnya, sayangnya ibunya sendiri tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tidak ada yang bisa mereka lakukan, ibunya sudah cukup dengan cacian tetangga. Mereka pindah dari kota lain dan kebetulan tinggal di dekat rumah orang tua angkat Viola saat itu. Kini, mereka mendapat jaminan kesehatan di kota yang lebih baik dan tentu saja di lingkungan di mana mereka diterima.

Saat dokter keluar, suster memanggil ibu untuk ke ruangan dokter. Alfa sendirian di kamar, ia menghela napas panjang sembari melihat langit-langit kamar yang kini lebih bagus, juga sekitarnya yang kondisinya lebih bersih dari kamarnya yang dulu.

"Siapa orang dermawan itu ya?" ia bertanya-tanya.

Beberapa saat kemudian, seseorang tiba-tiba membuka pintu lalu masuk ke dalam kamar. Alfa menoleh dan memperhatikan seorang pria yang mengenakan jas rapi. Pria asing itu mendekat dan berdiri di samping ranjangnya. Setelah melihat wajahnya dengan jelas, Alfa terkejut namun juga tahu sebentar lagi ia pasti akan menemukannya.

Pria itu adalah Roy Casano, kakak dari gadis yang ia sukai.

"Dari ekspresimu sepertinya kamu mengenal siapa aku."

***

"Perkenalkan dirimu dengan singkat."

"Nama saya Maya Forenzo. Saya mahasiswa yang cuti untuk bekerja. Saya beberapa kali bekerja di rumah makan, kafe dan asisten rumah tangga."

"Sudah? Itu saja?"

"Emm saya juga bisa merawat anak kecil dengan baik. Saya orangnya disiplin dan patuh, saya pekerja keras dan tidak mudah menyerah."

"Bukankah itu sudah kau cantumkan di resume mu?"

"Iya, Pak."

Roy menghela napas. Ia memegang dahinya dan menyumpahi temannya yang mengambil kandidat untuk dijadikan suster Viola. Setidaknya dirinya memang harus memilih yang paling dekat dengan usia Viola. Maya nampak cemas melihat pewawancara memegang dahinya seperti frustasi.

"Apa benar usiamu 20 tahun?"

"Iya, Pak."

"Kau pernah mengasuh anak?"

"Iya, saya mengasuh anak usia 4 tahun."

"Apa kau sudah mengira-ngira berapa usia anak yang akan kau asuh kali ini?"

Maya menatap Roy, ia mengira setidaknya Roy berusia sangat dewasa dan cukup umur untuk memiliki anak kecil manis. Maya menjawab dengan jujur dan polos.

"Jika itu anak bapak, mungkin… 3 tahun?" Maya merasa miris dengan jawabannya sendiri.

"Anak?" Roy menghela napas. "Saya belum menikah." jawabnya setengah hati.

"Apa? Maafkan saya, Pak. Saya tidak tahu."

"Tidak apa-apa. Tapi kali ini bukan anak 3 atau 4 tahun yang akan kau asuh."

Maya terkejut.

"Dia remaja berusia 15 tahun, kelas 1 SMA."