Chapter 115 - Epilog - Volume 1

Arany hanya terdiam saat dia selesai mendengarkan cerita dari Ayahnya. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk merespon cerita Ayahnya. Dia sedikit mengerti alasan kenapa Ayahnya membenci mahluk-mahluk itu, meski dia masih tidak bisa setuju dengan cara berpikir oleh Ayahnya.

Berada tak jauh darinya, Raya juga hanya terdiam. Ini adalah pertama kalinya dia mendengar cerita itu, jadi dia sama terkejutnya dengan Arany, tidak, bahkan mungkin dia lebih terkejut dari pada Arany.

"Apakah kalian sekarang mengerti kenapa Aku membenci mahluk menjijikan seperti mereka?"

Arany dan Raya tidak menjawab pertanyaan dari Jagt. Bukan karena mereka tidak mengerti alasannya, tapi karena mereka tidak tahu kata-kata apa yang sebaiknya mereka gunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

"Jika kalian tidak mengatakan apapun, Aku akan menganggap jawabannya sebagai ya!"

Setelah mengatakan hal tersebut, Jagt kembali berbaring di tempat tidurnya dan tertidur. Meskipun dia sudah bisa menggerakan seluruh tubuhnya dengan baik, tapi dia masih harus mengistirahatkan tubuhnya agar dia bisa pulih secara total. Semakin cepat dia sembuh, semakin cepat dia bisa kembali bertugas dan membunuh mahluk-mahluk menjijikan yang berhasil lolos darinya.

Arany hanya dapat memandang Ayahnya yang sudah memejamkan matanya. Sebetulnya dia memiliki beberapa pertanyaan pada Ayahnya tentang apa yang terjadi pada orang yang membunuh Ibunya, tapi dirinya tidak bisa membawa dirinya untuk menanyakan hal tersebut. Dia hanya bisa termenung sambil memikirkan apa yang sebaiknya dia lakukan.

Sementara itu, di sisi lain Raya juga ikut termenung seperti Arany, tapi berbeda dengan Arany yang tidak tahu apa yang sebaiknya dia lakukan mulai sekarang, dirinya sudah memutuskan apa yang sebaiknya dia lakukan. Dia memutuskan untuk membantu Jagt apapun yang terjadi. Dia menatap lurus pada wajah Jagt sambil menguatkan sumpah tersebut di dalam hatinya.

Di saat yang sama dengan Arany dan Raya yang sedang memikirkan rencana mereka untuk kedepannya, di suatu rumah yang sudah lama tak terpakai di bagian pinggir kota, Arya dan yang lainnya sedang sibuk untuk membereskan tempat tersebut.

Sudah seminggu penuh mereka tidak mendengar kabar dari Roy, jadi mereka sudah berpikir bahwa Roy sudah tidak berada di dunia ini lagi. Menyedihkan memang, tapi untuk saat ini mereka harus fokus pada apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Qita yang menjadi penyebab dari kematian Roy hanya dapat terdiam sambil melakukan segala hal yang diperintahkan padanya. Dia benar-benar patuh hingga dia tidak pernah protes tugas yang diberikan padanya ataupun membantah perkataan siapapun.

Dia pasti merasa sangat bersalah, karena dialah yang menjadi penyebab utama kenapa Roy harus kehilangan nyawanya.

Melihatnya seperti itu membuat Arya dan Ageha merasa sedih, tapi mereka tidak bisa melakukan apapun untuk membantunya, karena mereka juga merasakan perasaan bersalah yang sama sepertinya.

"Apakah kita perlu membereskan pakaian Roy?"

Dengan nada yang tak bersemangat, Arya bertanya pada Meister yang sedang menata ulang ruang tamu.

Mereka membawa pakaian Roy untuk jaga-jaga, jika dia kembali pada mereka, tapi sepertinya tindakan tersebut berakhir menjadi percuma saja. Mereka tidak pernah menyentuh barang milik Roy sejak mereka sampai di rumah itu.

"Kurasa kau bisa tinggalkan barang-barangnya untuk dibereskan terakhir... siapa tahu dia akan kembali secara tiba-tiba, jadi dia bisa mengurus barangnya sendiri!"

Perkataan Meister terdengar positif, tapi sebenarnya dia adalah orang yang paling tahu bahwa Roy tidak mungkin kembali hidup-hidup. Pengalamannya selama beratus-ratus tahun membuatnya menjadi orang yang paling tenang di antara mereka semua yang masih terbilang seperti bayi bagi dirinya.

"Arya, Ageha... mungkin kalian sudah tahu ini, tapi kita harus bersiap, jika mereka menemukan kita... Aku mungkin akan langsung melarikan diri saat itu terjadi, jadi mungkin saat itu kalian harus mengurus diri kalian sendiri! Tentu saja bersama si kecil itu!"

Tiba-tiba saja Meister mengatakan sesuatu yang sangat serius saat dia selesai membereskan ruang tamu. Arya dan Ageha hanya menganggukan kepala mereka.

Mereka mengerti jika apa yang dimaksud oleh Meister adalah dia tidak akan ragu-ragu untuk meninggalkan mereka semua, jika situasi berbahaya terjadi dan dia tidak akan membantu Arya dan Ageha untuk bertahan hidup. Hal tersebut memang terdengar sangat dingin, tapi begitulah cara dia untuk bisa terus bertahan hidup selama beratus-ratus tahun lamanya.

"Jika kalian mengerti hal tersebut, maka Aku ingin kalian untuk siap akan hal tersebut!"

Saat mengatakan itu Meister menatap Arya dan Ageha dengan pandangan yang sangat serius. Pandangan serius itu membuat Arya dan Ageha tidak dapat bergerak dari tempat mereka berdia. Tubuh mereka seakan-akan dibekukan oleh tatapan yang sangat dingin tersebut.

"Bersiaplah kalian berdua, mulai sekarang Aku yang akan melatih kalian!"

Arya dan Ageha sama-sama membuat wajah serius. Mereka tahu bahwa latihan yang akan mereka hadapi akan lebih berat dari pada sebelumnya.

Lawan mereka kali ini adalah seseorang yang dapat mengalahkan Roy yang tidak pernah bisa mereka kalahkan, bahkan jika mereka menggabungkan kekuatan mereka. Jadi mereka harus bisa jauh bertambah kuat dari pada sebelumnya.

"Ya, Aku mengerti!"

Ageha menjawab perkataan Meister, sementara Arya hanya menganggukan kepalanya.

Senyum puas muncul di wajah Meister saat melihat respon itu.

Di sisi lain, Qita yang sedari tadi memperhatikan mereka hanya menampilkan wajah yang murung. Perasaan bersalah terlihat jelas di wajahnya yang kecil. Sebenarnya dia ingin sekali membantu mereka, tapi pada akhirnya dia tidak bisa melakukan apapun. Jika dia bertindak seenaknya lagi, maka dia hanya akan memperburuk keadaan. Jadi hal terbaik untuk dia lakukan hanyalah diam dan mematuhi semua perkataan mereka.

Sambil terus membersihkan rumah baru mereka, Arya dan yang lainnya juga membicarakan tentang beberapa hal mengenai latihan yang akan mereka jalani dan rencana masa depan mereka lainnya.

Pada sebuah aula tertutup, banyak orang yang berbaris rapih yang mengenakan seragam berwarna hitam dengan plat nama di dada mereka.

Di depan orang-orang itu, berdiri beberapa orang yang mengenakan seragam yang memiliki lambang ATS di bagian dadanya.

Seorang yang nampaknya adalah atasan tertinggi di antara orang-orang itu kemudian maju sambil membawa selembar kertas.

"Sekarang Aku akan membaca nama beberapa orang yang lulus dari seleksi menjadi anggota kami dan akan menjalani latihan khusus mulai besok! Bagi yang namanya disebut, kalian bisa maju ke depan dan berbaris ke tempat yang sudah disediakan!"

Setelah mengatakan itu, orang yang menjadi instruksur itu mulai menyebutkan nama-nama orang yang lolos seleksi.

Orang-orang yang namanya dipanggil, segera memisahkan diri dari barisan mereka dan maju ke tempat yang disediakan untuk mereka yang berada di samping barisan para petugas ATS yang sudah senior. Mereka semua kemudian membentuk barisan rapi di depan sana.

Dari semua orang yang berbaris di sana, ada satu orang yang benar-benar ingin masuk menjadi anggota ATS apapun yang terjadi.

Dia meremas tangannya dengan erat untuk meredam rasa frustasi, karena namanya belum disebutkan. Tatapan yang dia perlihatkan juga nampak sangat tajam yang seakan mengancam instruktur itu untuk segera menyebutkan namanya.

Wajahnya dari orang itu akhirnya menampakan senyuman yang lebar saat sebuah nama keluar dari mulut instruktur ATS yang sedang membaca nama-nama orang yang lolos seleksi.

"Rio Febrian!"

Setelah nama itu disebutkan, orang tersebut segera memisahkan dirinya dari barisannya dan berjalan dengan gagah berani untuk bergabung dengan orang-orang yang berhasil lolos seleksi sama seperti dirinya.

Dengan begini, tujuan yang sudah dia pendam selama setahun penuh akhirnya semakin dekat untuk menjadi kenyataan. Dia sudah tidak sabar untuk segera memulai rencananya.

Di atas sebuah gedung pencakar langit, duduk seorang wanita cantik yang mengenakan sebuah gaun hitam yang sederhana, tapi nampak sangat elegan saat dikenakan olehnya. Dengan anggunnya, dia melihat pemandangan malam kota yang terlihat sangat cantik.

Senyum mengembang di wajahnya saat dia keramaian orang-orang yang masih sibuk berkeliaran, meskipun langit sudah menjadi sangat gelap sekalipun.

"... Sepertinya semuanya akan menjadi semakin menarik mulai sekarang!"

Sebuah kalimat keluar dari celah bibirnya yang berwarna merah. Entah untuk alasan apa, tapi dia nampak sangat bahagia dengan pemandangan yang dia lihat. Matanya berkilau dengan indah saat memantulkan pemandangan malam kota.

Setelah mengatakan hal tersebut, sosoknya yang disinari oleh cahaya bulan itupun melompat dari atas gedung tersebut dan menghilang seperti ditelan oleh malam hari.