Memang benar ketika untuk tak dapat diraih, barangkali malang tak bisa dihindari.
Begitu kira-kira pepatah yang pernah diingat Ara sekarang ini.
Dengan langkah gontai, Ara berjalan menuju ruangan Pak Arga, sang kepala HRD.
Sampai di depan ruangan beliau, Ara memulai ritualnya terlebih dahulu. "Oke, Ara. atur napas dulu aja. Jangan sampai ke dalam malah sesak napas," ucapnya menguatkan diri.
Ara menarik napas, kemudian menghembuskannya perlahan. Setelah ia sudah merasa siap secara mental untuk menghadapi kenyataan, Ara mulai mengetuk pintu.
Tok. Tok. Tok.
"Permisi, Pak," sapa Ara.
"Masuk," sahut Pak Arga dari dalam.
Ara memutar kenop pintu perlahan dan berjalan masuk selambat mungkin. Ia masih belum siap menerima pemecatan dirinya.
"Bapak mencari saya?" tanyanya, pura-pura tidak mengetahui perkara ia dipanggil meski Ara masih ingat dengan jelas kejadian beberapa puluh menit yang lalu.
"Ya, saya memanggil kamu—"
"Pak, saya mohon, Pak. Apa tidak bisa mempertimbangkan kembali status karyawan saya, Pak? Perkara pagi ini saya benar-benar tidak sengaja, Pak."
Belum selesai Pak Arga berbicara, Ara sudah memotong duluan sembari menundukkan kepala berkali-kali.
"Ya mau gimana, ga semua orang punya kesempatan yang sama." Pak Arga membalas ucapan Ara.
Ara lantas menatap Pak Arga dengan puppy eyes yang ia harap dapat berguna di detik-detik terakhir pemecatannya. "Saya mohon, Pak, jangan pecat saya ... saya punya tiga anak yang perlu saya hidupi, Pak. Saya mohon, Pak ..."
'Tiga anak kucing, maksudnya.' Ara melanjutkan dalam hati.
Mendengar hal itu, kening Pak Arga merenggut kebingungan.
"Kamu ini kenapa malah ngawur sih? Wong kamu dinaikin jabatannya jadi personal asistent si bos malah ga mau. Saya lapor lagi nih ke Pak Josh kalo kamu—"
"Sa-saya benaran minta maaf, Pak. Tolong jangan ... eh? Apa, Pak? Naik jabatan?"
Ara menghentikan gerakannya dan mata bulatnya memandang Pak Arga keheranan.
"Makanya, Ra. Attitude kamu diperbaiki. Mentang-mentang panik bukan berarti kamu boleh nyela pembicaraan orang seenak hati," tegur Pak Arga. "Kan jadinya miskomunikasi kalau gini."
"I-iya, ma-maaf, Pak. Apa boleh diulangi, Pak, yang barusan Bapak ucapkan? Saya ... naik jabatan?" tanya Ara ragu-ragu.
Pak Arga mengangguk. "Iya, kamu sekarang naik jabatan jadi personal asisten si bos. Emangnya kamu ga mau?"
"Personal asisten si bos? Ma-maksud Bapak ... Pak Josh?" Ara mencoba untuk melakukan verifikasi terhadap apa yang baru saja disampaikan oleh Pak Arga, membuat Pak Arga lantas memutar kedua bola matanya.
"Ya bos di sini siapa lagi kalau bukan Pak Josh, Ara?" Pak Arga malah balik bertanya.
"Emm ... I-iya sih, heheh ... jadi saya ga dipecat kan, Pak?" Ara kembali memastikan bahwa posisinya aman dan tidak didepak dari perusahaan.
"Aman ... selama kamu ga nganterin surat pengunduran diri ke saya." Pak Arga dengan malas menyahut. "Nih, kamu lihat dulu kontrak kerja kamu yang baru. Kalau sudah merasa deal atas gaji dan peraturannya, segera tanda tangani dan kembalikan kepada Pak Josh.
Pak Arga menyerahkan map cokelat tipis yang segera disambut oleh Ara.
"Terima kasih, Pak!" ucap Ara bertubi-tubi. "Jadi saya boleh negosiasi gaji nih, Pak?"
"Iya ... tapi negosiasi langsung sama Pak Josh."
Mendengar nama yang kemarin terasa menyeramkan itu, nyali Ara menciut. "Emm ... kayaknya gaji berapa pun Ara terima aja deh, Pak."
"Benar, nih? Kalau begitu kamu tanda tangani langsung aja kontraknya," usul Pak Arga.
"Peraturannya masih peraturan lama kan, Pak?" tanya Ara lagi sembari membuka map tersebut.
"Ya elah Ra, kamu kira peraturan kayak kalender, tiap hari ganti mulu?" Pak Arga benar-benar jengah dengan keruwetan Ara.
Ara, tanpa ragu membuka berkas tersebut. Untungnya Ara selalu membawa materai enam ribu di balik case ponselnya sehingga saat ini ia tidak perlu turun ke toko ATK untuk membeli benda berharga tersebut.
"Pak, ada air ga?" tanya Ara tanpa merasa sungkan.
"Pake air liur aja Ra, ribet banget." Pak Arga enggan untuk memberikan air kepada Ara bareng setetes.
Ara sudah paham gelagat Pak Arga. Beliau terkenal kikir dan pelit se-antero kantor, mana mau beliau memberikan air kepada Ara. Jadi, tanpa ragu Ara mencelupkan jari telunjuknya ke dalam gelas kopi milik Pak Arga.
"Pak, kopinya udah dingin tuh." Ara, tanpa merasa bersalah lantas mengoleskan jarinya ke materai tersebut dan menempelkannya ke kertas kontrak kerja dan segera menandatanganinya.
Saat Pak Arga melihat Ara dengan mudahnya mencelupkan jari telunjuknya ke dalam gelas kopi miliknya, darahnya segera terpompa memenuhi kepalanya dan membuat wajahnya memerah. "Diara Alvaniii!" teriak Pak Arga yang malangnya Ara sudah lebih dulu melesat keluar ruangan.
Maklum, perbedaan usia membuat gerak dan respon Pak Arga tidak segesit Ara lagi.
"Terima kasih atas bantuannya, Pak. Lain kali jangan pelit-pelit, Pak. Ntar rambutnya ga mau numbuh lagi, lho!" sahut Ara yang berjalan menjauh dari ruang Pak Arga, tertawa terbahak-bahak karena ia berhasil mengganggu kepala HRD itu.
"Hahahah ... hahahahh ...." Ara masih tidak bisa menghentikan tawanya meski langkahnya sudah terhenti dan napasnya tersengal karena berusaha lari secepat mungkin dari jangkauan Pak Arga yang sedang marah.
Misha yang baru saja akan melesat kembali ke ruangannya berhenti dan menatap Ara aneh. "Ra, kamu masih waras kan?" tanyanya.
"Hahahah ... hahahah ... Mis, kamu ga lihat wajah Pak Arga tadi pas aku celupin jari aku ke kopinya, merah parah kayak tomat, hahahah!"
Mendengar ucapan Ara, Misha menggeleng lagi. "Ra, Ra. Aku tahu kamu frustrasi karena dipecat, tapi kamu kenapa malah bikin masalah? Nanti malah ga dikasih surat rekomendasi pindah kerja lho kamu."
"Tenang, tenang." Ara mengibaskan tangannya ke udara. "Aku ga jadi dipecat, kok."
"Hah? Seriusan, Ra? Jadi ... kamu masih kerja di sini?" Misha langsung terlonjak senang mendengar kabar Ara tidak jadi dipecat
Ara buru-buru mengangguk. "Iya, dan kabar baiknya ... aku—"
"Ara, kamu dicari sama Pak Josh." Embun, kalau tidak salah nama sekretaris si bos berjalan menghampiri keduanya dengan tatapan tidak suka.
"Hah? Kenapa lagi?" tanya Misha. "Ra, kamu jangan buat aneh-aneh, lho. Kalau sampai kamu dipecat kali ini ga bakal bisa balik lagi," bisiknya kepada Ara.
"Buruan cepetan, masih pada berbisik pula. Ini jam kerja, lho. Pekerjaan saya banyak." Embun lagi-lagi berkata dengan tatapan tidak suka.
Ara mengangguk. "Iya, Mbak. Mis, aku pergi dulu ya," pamit Ara yang langsung mengikuti gerak Embun. Wajahnya membentuk karakter aneh dan digeleng-gelengkan ke kiri dan ke kanan untuk mengejek embun yang berada di depannya.
"Buruan, saya banyak kerjaan," ulang Ara dengan wajah jeleknya itu, pastinya dengan suara yang minim agar tidak bisa didengar oleh Embun.
Langkah keduanya terhenti tepat di depan pintu ruangan Pak Josh. Embun menoleh sekilas, memberikan intruksi kepada Ara untuk masuk sementara ia kembali ke meja kerjanya lagi.
Tok. Tok. Tok.
Ara mengetuk pintu tersebut. "Permisi Pak, ini saya Ara."
"Masuk." Suara berat itu segera menyahut.
-to be continued-