Arielle menyimpan kembali piring dan gelas yang kosong di atas nampan. Ronan telah kembali ke kursi kerjanya. Arielle telah siap untuk pelajaran pertamanya.
Ronan merapikan beberapa tumpukkan buku di sampingnya untuk memberikan ruang bagi Arielle untuk belajar. Tak lupa juga pria itu menyeret sebuah kursi yang kemudian diletakkan di samping kursi kerjanya.
"Kau akan belajar di sini," ujar Ronan.
Arielle duduk dan menunggu Ronan yang tengah menyiapkan beberapa lembar kertas.
"Kau sudah mengenal abjad?"
"Um… hanya beberapa," jawab Arielle malu.
Ronan mengeluarkan sebuah buku tipis dan di dalamnya terdapat beberapa jenis abjad sederhana.
"Jangan merasa sedih. Sebuah proses dimulai dari garis start. Tidak ada makhluk di dunia yang langsung mencapai garis finis tanpa berlari."
Akhirnya, senyum Arielle pun kembali. Ronan dengan sabar memperkenalkan Arielle dengan abjad. Arielle cukup cepat dalam belajar. Gadis itu setidaknya sudah mengenal beberapa huruf sehingga mempermudah Ronan dalam mengajar.
Saat Arielle butuh waktu lama untuk mengingat huruf yang diajarkan. Ronan akan menggunakan kesempatan itu untuk membaca beberapa laporan kerajaan yang menantinya. Namun setiap Arielle merasa tidak yakin dan meminta bantuan tentang pelafalan yang benar, Ronan tak ragu-ragu meletakkan pekerjaannya dan memberikan gadis itu perhatian sepenuhnya.
"Kau ingin beristirahat?" tawar Ronan. Ia tidak ingin Arielle memaksakan dirinya. Mereka bisa minum teh untuk beberapa menit kemudian lanjut belajar lagi jika gadis itu mau.
"Jika Yang Mulia ingin beristirahat, silakan saja. Aku masih butuh membedakan dua abjad ini. Masih sering tertukar," jawab Arielle santai tanpa mengangkat wajahnya dari kertas membuat Ronan tersenyum lebar.
Ronan pun tak ingin memaksakan. Jika Arielle merasa lelah, gadis itu pasti akan berhenti sendiri. Ia kembali bekerja dengan tekun.
Jam terus bergulir dan sekarang adalah jam minum teh siang mereka. Ronan melirik ke arah sampingnya dan menyeringai. Tiba-tiba saja pria itu mengistirahatkan kepalanya pada pundak Arielle membuat gadis itu berhenti menghafalkan abjad di depannya.
"Yang Mulia?" tanya Arielle bingung mendapati pria itu meletakkan kepalanya di bahunya.
Ronan menutup buku milik Arielle.
"Sudah jam istirahat siang. Pelajaran hari ini kita cukupkan di sini. Besok kau akan belajar menulis dan mengeja."
Pintu kerja Ronan diketuk dan kemudian William muncul. Melihat kehadiran William, Arielle segera bangkit dari kursinya dan merapikan bukunya dengan gugup. Hal itu membuat Ronan berdecak kesal.
"Yang Mulia, sebentar lagi adalah waktunya Anda untuk hadir ke Aula Utama. Beberapa orang telah menanti kehadiran Anda."
Ronan tak lupa tentang jadwalnya. Setiap bulan istana selalu dibuka untuk beberapa masyarakat biasa untuk menyampaikan permasalahan mereka. Beberapa duke yang bertanggung jawab di wilayah tertentu ikut hadir untuk mendengarkan beberapa keinginan warganya.
Ronan adalah raja yang tegas. Ia bisa menjadi kejam jika diperlukan. Ia akan menyelesaikan konflik yang ada dengan caranya sendiri. Ia juga akan menghukum orang-orang sesuai dengan perbuatan mereka. Sering kali ia tidak peduli dengan permintaan para duke yang meminta beberapa hak mereka. Ronan lebih peduli omongan dari rakyatnya daripada para bangsawan yang menjadi benalu.
Selama pemerintahannya sudah ada beberapa keluarga bangsawan yang meninggalkan kerajaan Northendell akibat tak dihiraukan oleh Ronan ketika meminta perluasan daerah kekuasaan. Ronan tak terlalu memikirkannya. Ia masih memiliki keluarga lain untuk mengolah wilayah yang ditinggalkan. Hingga sekarang yang tersisa di Utara adalah orang-orang yang benar-benar bisa Ronan percayai.
Sejak saat itu Ronan dikenal sebagai raja yang tegas dan beberapa bangsawan tak akan berani mengambil langkah riskan melawan keinginan sang raja.
"Kalau begitu saya mohon izin mengundurkan diri, Yang Mulia," kata Arielle.
"Kembalilah esok hari untuk belajar lagi."
Arielle mengangguk dan membungkuk hormat ke arah pria itu. Ia mengambil buku yang dipinjamkan Ronan untuknya. Sebelum meninggalkan ruangan, Arielle sempat menyapa William saat melewati pria itu.
Arielle kembali ke istana Whitethorn. Ia menggunakan sisa waktunya untuk melanjutkan hafalan abjad yang sempat diberhentikan sebentar. Tania membawakan secangkir teh ke balkon kamar kemudian dituangkan ke cangkir porselen membuat uap dari cairan panas itu membubul tinggi.
Arielle yang tengah fokus tiba-tiba mendengar suara ledakan kecil dari kejauhan. Bibirnya terbuka melihat percikan berwarna-warni di langit. Dari ukurannya yang sangat kecil ia dapat mengira pasti ada orang yang menyalakan kembang api di kota.
Tania ikut melihat itu dan tersenyum.
"Kata seorang koki tadi pagi, di kota ada perayaan festival."
"Festival apa?"
"Setiap tengah tahun setelah dua malam purnama, mereka akan merayakan hari terbentuknya kerajaan Northendell."
Arielle sungguh ingin melihat festival di Northednell. Di Nieverdell memang ia sering melihat perayaan. Di sana banyak orang berjualan dan menyalakan kembang api dan Arielle tak pernah ketinggalan melihat atraksi-atraksi yang ditampilkan para pelakon di tengah-tengah alun-alun. Arielle sungguh penasaran bagaimana bentuk perayaan festival di kerajaan yang penuh salju ini….
"Aku ingin melihat festival itu," gumam Arielle.
"Kenapa Tuan Putri tidak meminta kepada Yang Mulia Raja Ronan? Aku yakin ia akan memberikan kesempatan Anda untuk meninggalkan istana."
"Raja sedang sibuk saat ini."
Tania menjentikkan jarinya ketika teringat sesuatu.
"Hari ini adalah hari dimana istana dibuka untuk umum jadi Raja Ronan pasti sedang berada di aula utama istana untuk menemui para tamu kerajaan."
"Kau tahu tentang itu, Tania?"
"Tentu saja, Tuan Putri." Wanita tua itu tersenyum lembut. "Orang-orang di utara cukup ramah dan kami bisa berteman dengan cepat."
Arielle menyentuh tangan keriput milik Tania. "Aku senang mendengarnya. Tapi aku harap kau tidak bekerja terlalu keras dan memaksakan diri, Tania."
"Tuan Putri tak perlu khawatir. Kini aku sudah mulai terbiasa dengan dinginnya utara dan ternyata dengan lebih sering bergerak kian kemari membuat sendi-sendiku lebih sehat."
Arielle hanya tersenyum dan kembali menyeruput teh yang Tania tuangkan. Padahal saat Tania tuangkan tadi, cairan tersebut masih sangat panas hingga mengeluarkan uap namun setelah ditinggalkan berbincang beberapa saat, teh tersebut mulai menjadi dingin.
Tania pun izin menghangatkan teh tersebut kembali, meninggalkan Arielle dengan bukunya. Saat melihat Tania melangkah pergi, tiba-tiba, sebuah ide terlintas di kepala sang putri.
"Tania, hari ini beristirahatlah karena aku akan kembali ke istana Blackthorn."
"Apa yang akan Tuan Putri lakukan?" Tania berbalik dan menatap majikannya dengan pandangan keheranan.
"Aku akan mengantre untuk menemui raja," ujar Arielle tegas.
Sang putri pun mengenakan mantelnya kembali dan meninggalkan kamarnya.
Di Istana Blackthorn, Arielle langsung menuju lorong aula besar. Ia sempat terkejut melihat antrean orang-orang yang ingin masuk ke dalam aula. Mereka dibariskan dalam satu baris memanjang ke belakang.
Arielle yang bingung menepuk pundak seorang pria tambun di depannya.
"Permisi Tuan, apakah ini adalah antrean untuk menemui raja?"
Pria itu mengerutkan alisnya bingung.
"Benar, kau baru datang ke istana pertama kali?" tanyanya.
Arielle mengangguk. Ia memang sudah tinggal di istana Northendell beberapa waktu namun ia belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya.
Pria itu menoleh ke belakang Arielle. "Sepertinya kau akan menjadi antrean terakhir. Apakah Nona sedang tergesa-gesa? Karena biasanya antrean ini akan selesai hingga malam hari."
"Malam hari?" tanya Arielle tak percaya.
"Benar, maka dari itu jika Nona tak kuat menunggu bisa kembali bulan depan dan datanglah lebih pagi."
Bulan depan? Tapi kata Tania festival itu hanya diadakan setahun sekali? Artinya saat a datang bulan depan, ia tak bisa meminta izin Ronan untuk pergi ke festival…
Seorang pengawal yang memeriksa antrean mengenali Arielle sebagai putri dari Nieverdell yang menarik tangan sang raja keluar dari ruang kerja kemarin siang. Pengawal itu pun menunduk hormat ke arah Arielle membuat beberapa orang yang mengantre menoleh ke belakang.
Arielle mulai gelagapan mendapatkan perhatian dari banyak orang. Ia menyentuh pundak pengawal tersebut meminta pria itu untuk segera menegakkan tubuhnya kembali.
"Apa Tuan Putri ingin menemui Yang Mulia Raja? Saya bisa menyampaikan kehadiran Anda kepada Tuan William agar Anda bisa menemui raja terlebih dahulu."
Setiap orang yang mendengar perbincangan itu mulai saling berbisik.
"Tuan Putri?"
"Apakah dia seorang putri? Mengapa ia ikut mengantre dengan kita?"
"Dia putri dari mana? Aku belum pernah melihatnya?"
"Di mana putri? Ia benar-benar seorang putri?"
Arielle menggigit bibirnya merasa panik. Wajahnya merona karena merasa malu. Ia malu karena resah akibat perhatian yang kini didapatkannya.
"Er… kenapa tidak biarkan saja aku ikut mengantre?"
"Apakah Tuan Putri ingin beristirahat?" tawar pengawal itu sekali lagi.
Arielle yang tak terbiasa dengan perlakuan khusus segera menolak tawaran tersebut.
"Ah tidak perlu. Aku akan berdiri di sini bersama yang lainnya," ujarnya. Ia mendongak ke arah beberapa orang di depannya kemudian mereka menunduk memberi hormat termasuk pria tambun yang Arielle ajak bicara tadi.
"Anda boleh mendahului kami, Yang Mulia," ujar pria tersebut.
"Tidak perlu. Kalian telah mengantre terlalu lama. Aku tidak ingin kalian mengantre lebih lama lagi karena aku. Aku masih bisa menunggu."
Beberapa pria yang mengantre di depan Arielle merona, merasa malu akan kehadiran seorang putri. Pengawal tadi pun tetap menemani Arielle mengantre untuk menghindari suatu kejadian yang tak diinginkan.