Ronan terbangun dari tidur pulasnya. Ia tidak tahu berapa jam yang ia habiskan untuk beristirahat. Dua malam purnama kemarin sama sekali membuatnya tak beristirahat dan sekali ia memejamkan mata, tak terasa hari sudah malam.
Ronan merasa begitu nyaman, ia melepas topengnya untuk menenggelamkan wajahnya pada kenikmatan sensasi hangat yang bantalnya berikan.
Tapi, tunggu dulu!
Sial, Ronan baru ingat jika ia tertidur di pangkuan Arielle. Ia meraih topengnya cepat. Namun saat Ronan ingin menggunakannya kembali, ia melihat Arielle tengah tertidur sambil duduk dengan kepala yang miring. Ronan pun meletakkan kembali meletakkan topengnya.
Untuk beberapa saat pria itu memilih duduk sambil memandangi wajah tidur Arielle di depannya.
Merasa cukup, Ronan bangkit kemudian meletakkan kedua tangannya di bawah lutut juga punggung gadis itu. Ronan menggendong Arielle dan meletakkannya di atas ranjang tidur miliknya. Ia membantu Arielle melepas sepatunya kemudian menyampirkan selimut sutra tebal berwarna hitam itu di atas tubuh Arielle.
Ronan memutar tubuhnya ke kiri dan kanan, merasa segar kembali. Dentuman menyakitkan di kepalanya telah hilang, begitu juga rasa lelahnya. Ronan membuka kancing bajunya satu per satu kemudian berganti pakaian yang lebih longgar.
Alisnya terangkat saat mendengar ketukan dari pintu kamarnya. Ia melirik ke arah Arielle yang tertidur, memastikan gadis itu tidak terbangun oleh suara ketukan barusan.
Ronan mendekati pintu dan bertanya, "Siapa?"
Ia tidak ingin repot mengenakan kembali topengnya bila itu seseorang yang dikenalnya.
"Lucas, Yang Mulia."
Ronan pun membuka pintunya. Di depannya berdiri Lucas yang terengah-engah. Dua pengawal di belakang Lucas pun seketika menunduk saat menyadari Sang Raja sedang tidak menggunakan topengnya seperti biasa. Lucas yang terlihat panik membuat Ronan tak sabar.
"Ada apa?" tanya Ronan tajam.
"Pu-putri Arielle… " Alis Ronan terangkat menunggu Lucas menetralkan nafasnya kembali. "Ka-kami tidak menemukan Putri Arielle sedari tadi siang. Tania, pelayan pribadinya mengatakan ia belum kembali dari Cathedral sedangkan saya sempat melihat Anda bersama Tuan Putri. Namun… tadi saat mengetuk kamar Yang mulia tak ada sahutan membuat saya berpikir Yang Mulia dan Putri Arielle telah meninggalkan kamar. Namun setelah kami mencari sekeliling istana kami tak menemukan Putri Arielle…"
Ronan membuka pintu kamarnya lebih lebar dan bersandar di salah satu daun pintu.
"Lihatlah," perintah Ronan agar Lucas mengangkat kepalanya.
Lucas pun mengangkat kepalanya dengan ragu. Ia mengedarkan pandangannya namun tak menemukan…. Ah, segera pria tu bisa bernafas lega saat mendapati seseorang berambut putih berkilau tengah tertidur di atas ranjang sang raja.
Sebuah kesadaran tiba-tiba menamparnya. Lucas menatap sang raja dengan tatapan tak percaya. Mulutnya terbuka lebar. Namun sedetik kemudian ia menutup mulutnya rapat-rapat dan menunduk dalam.
"Maaf telah mengganggu waktunya, Yang Mulia. Saya hanya khawatir karena pelayan pribadi Putri Arielle memaksa untuk mencari Tuan Putri sehingga saya menjadi panik."
Ronan hanya mengerling tak peduli.
"Bawakan pekerjaanku kemari dan sampaikan kepada pelayan Putri Arielle, Putri akan bermalam di sini."
"Di sini?" tanya Lucas tak percaya.
"Apa aku terlihat sedang bercanda sekarang, Lucas?"
Lucas menelan salivanya saat Sang Raja menyebut namanya. Ia pun mengangguk dan izin mengundurkan diri.
Ronan menggunakan waktu luangnya untuk membaca sebuah buku hingga Lucas kembali membawa pekerjaan yang belum sempat ia selesaikan hari itu. Sang raja pun perlahan tenggelam dalam pekerjaannya.
Saat dirasa tubuhnya mulai lelah, Ronan pun merangkak naik ke atas ranjangnya. Arielle terlihat nyaman berada di atas ranjangnya. Selama Ronan bekerja tadi, ia selalu memperhatikan Arielle yang mengubah posisinya.
Kini Ronan mengistirahatkan wajahnya pada salah satu telapak tangannya dan memperhatikan bibir merah muda itu terbuka kecil. Sejujurnya, ini adalah pertama kali bagi Ronan merasa begitu terpesona oleh sosok yang sama sekali tak pernah ia pikirkan. Ronan merasa begitu tenang dan damai melihat wajah tertidur Arielle.
Ia bukan pemuda perjaka yang belum pernah menyentuh wanita. Ronan cukup tau seluk beluk tubuh wanita, hanya saja ia telah meninggalkan masa pencarian kenikmatannya bertahun-tahun yang lalu. Northendell lebih membutuhkannya…
Ia selalu menyukai tubuh wanita yang melengkung indah. Dengan kaki jenjang dan beberapa bagian tubuh yang lebih besar terutama di bagian dada, pinggul dan bokong. Ronan kembali memperhatikan Arielle yang terlihat sangat… apa adanya.
Gadis itu hanya tampak mencolok dengan kulit putih pucat dan rambut putih berkilaunya. Ah, mungkin jika gadis itu terjatuh di atas salju, Ronan sendiri tak akan bisa membedakan yang mana Arielle dan yang mana salju.
Pemikirannya itu membuatnya tertawa geli. Namun dari semua itu kenapa ia merasakan ketertarikan yang luar biasa?
Harus Ronan akui, ia sangat ingin Arielle selalu ada di sisinya seperti ini. Ia bahkan sudah tidak peduli lagi dengan ucapan William tentang dirinya menelantarkan pekerjaannya hanya untuk bersama Arielle.
Tanpa sengaja telunjuknya bersentuhan dengan rambut putih Arielle yang terurai. Ronan memainkan telunjuknya. Berputar-putar menarik rambut Arielle. Ia begitu terpana oleh rambut putih berkilau Arielle di sela-sela jemarinya sampai tak menyadari sang pemilik telah terbangun.
Arielle membuka matanya perlahan. Ia mengerjap beberapa kali melihat ruangan yang sama seperti tadi. Matanya terus bergulir sampai mendapati seseorang tengah sibuk bermain dengan rambutnya yang terurai.
Jantung Areille berdebar sangat kencang melihat wajah Ronan untuk pertama kali tanpa topeng. Ia bisa melihat jelas gurat putih bekas luka yang melintang dari atas alis kanan hingga bagian bawah dagunya. Hidungnya sangat mancung dan rahang tegasnya tampak begitu kokoh.
Pria itu sangat tampan pikir Arielle. Arielle bahkan sampai berhenti bernafas saat Ronan tersenyum dan menampilkan dua lesung pipi di kedua pipinya.
"Yang Mulia?" panggil Arielle dengan suara serak sehabis bangun.
Tubuh Ronan menegang. Ia mendongak panik dengan mata terbuka lebar. Dilihatnya Arielle yang tengah menatapnya lekat. Ronan segera mengangkat tangannya untuk menutup mata Arielle namun gadis itu bereaksi cepat dengan menghindar.
"Kenapa aku harus menutup mataku?" tanya Arielle bernada protes.
"Aku sedang tak mengenakan topengku."
"Untuk apa? Aku sudah melihat semuanya."
"Lupakan apa yang kau lihat."
Ronan duduk memunggungi Arielle membuat gadis itu merasa bersalah. Ia seperti telah membuka sebuah kotak pandora. Arielle menyentuh bahu Ronan lembut.
Tubuh pria iu bergetar menahan tawa.
"Aku terlihat mengerikan bukan?" tanyanya dengan nada sarkas.
"Tidak, Anda terlihat seperti orang lainnya, Yang Mulia."
"Pembohong," ujar Ronan dengan sinis.
Arielle tak tahu mengapa pria itu begitu merasa buruk saat ia melihat wajahnya? Arielle bahkan telah mengakui bahwa Ronan sangatlah tampan. Baginya pria itu lebih tampan dari kakak sulungnya, Pangeran Alexis yang terkenal dengan ketampanannya di seluruh penjuru Selatan.
Arielle mengusap wajahnya untuk menghilangkan kantuk. Ia merangkak untuk bisa duduk di hadapan pria itu. Namun saat Arielle sudah duduk di depannya, Ronan kembali berbalik memunggungi Arielle. Arielle terus berusaha namun Ronan terus menghindar membuat gadis itu bergerak lebih cepat. Ia melangkah ke depan Ronan kemudian menangkup wajah pria itu.
"Anda terlihat baik. Apa yang mengerikan?" tanya Arielle sambil memindai wajah Ronan sekali lagi.
Ronan menggeleng dan menarik kedua tangan Arielle dari wajahnya.
"Tidak. Lupakan saja."
"Kenapa? Bukankah kita teman?"
Ronan terdiam sesaat. Netra merahnya menatap netra hitam Arielle dengan bingung.
"Teman? Siapa yang berteman?"
"Anda dan aku, Yang Mulia."
Pria itu mengerjapkan matanya masih tak percaya apa yang barusan ia dengar.
"Kita bukan teman?" tanya Arielle panik.
Ia panik karena merasa malu akibat terlalu percaya diri. Gadis itu segera menarik tangannya karena merasa tak sopan.
Apa ia salah mengartikan gestur dan perlakuan dari Ronan? Arielle pikir pria itu memperlakukannya dengan baik karena menganggap dirinya seorang teman. Bahkan pria itu rela mengajarkannya belajar membaca dan menulis, kan?
Atau jangan-jangan Ronan hanya merasa kasihan padanya? Merasa iba akan statusnya sebagai putri yang tak pernah merasakan kehidupan bangsawan?
"Kau ingin kita berteman?" tanya Ronan pelan.
Arielle tak menjawab. Ia masih terlalu kalut akan pemikirannya sendiri.
Ronan tertawa kecil kemudian mengusap keningnya. Teman, ya? Ronan mengangguk. Ia menyukai ide itu. Ia belum pernah memiliki teman wanita sebelumnya. Wanita yang datang kepadanya selalu berakhir di ranjang dan ia tinggalkan esok hari.
Entah kenapa mendengar Arielle menganggapnya sebagai seorang teman membuat hatinya membuncah. Ronan pun mengangkat wajah Arielle untuk menatapnya.
"Apakah kau yakin tidak keberatan atau merasa takut melihat luka di wajahku?"
Arielle melirik ke arah guratan panjang itu sekali lagi kemudian mengangguk pelan.
"Di Northendell, hanya William, Lucas, Pendeta Elis dan Pendeta Louise, orang yang memberiku pemberkatan saat diangkat menjadi raja, yang pernah melihat wajahku. Dan sekarang kau juga, Arielle."
Wajah Arielle merona saat Ronan menyebut namanya.
"Apakah itu bekas pertempuran dengan naga-naga?" tanya Arielle pelan.
Ronan menyentuh lukanya dengan sedih kemudian menggeleng. "Ini adalah kenangan yang ibuku tinggalkan sebelum meninggal."
Ronan melepas beberapa kancing kemejanya. Terpampang beberapa luka yang melintang memenuhi tubuh pria itu. Arielle meringis membayangkan rasa sakit yang pria itu rasakan saat luka-luka itu terbentuk.
"Yang ini adalah sisa pertempuranku dengan para naga."
Arielle memberanikan diri menyentuh tubuh liat pria di depannya. Telunjuknya menyusuri luka-luka tersebut.
"Pasti sakit sekali saat luka-luka itu terbentuk," ujar Arielle merasa iba. Tatapan Ronan menajam dan merasakan sentuhan hangat di tubuhnya mengaburkan pandangannya.
Ronan harus menghentikan ini sebelum terlambat namun adrenalinnya terus terpacu. Ia ingin Arielle terus menyentuhya. Dan Ronan pun baru mendesah lega saat gadis itu menarik kembali tangannya. Ronan masih duduk terdiam membiarkan Arielle mengancing kemejanya kembali.
"Terima kasih sudah mempercayaiku sebagai seorang teman," ujar Arielle begitu ceria.
Ronan berkedip pelan. Ia meraih tubuh Arielle kemudian dibaringkannya kembali di atas kasur. Ronan membalik tubuh gadis itu sehingga ia bisa memeluknya dari belakang.
"Tidurlah, fajar masih beberapa jam lagi."
"Tapi aku harus kembali ke istana Whitethorn. Tania pasti khawatir."
"Aku sudah memberikan kabar. Malam ini tetaplah di sini. Aku ingin merayakan hari pertama kita menjadi teman?"
"Dengan tidur?" tanya Arielle polos membuat mata Ronan yang sudah tertutup kembali terbuka.
"Aku tahu beberapa cara alternatif untuk menghabiskan waktu bersama namun aku rasa itu kurang pantas untuk dilakukan sesama teman. Mungkin nanti saat kau ingin lebih dari seorang teman, aku bisa memberikannya."
"Lebih dari seorang teman? Menjadi sahabat?" tanya Arielle sekali lagi membuat Ronan mendesah panjang.
Ronan yang gemas menggigit pundak Arielle dari belakang membuat gadis itu terlonjak kaget.
"Apa yang Anda lakukan?" tanya Arielle panik sambil memegangi pundaknya.
Ronan memilih untuk tidak menjawab. Ia menarik Arielle untuk kembali ke pelukannya.
"Maaf. Aku hanya sedikit lupa diri. Tidurlah, aku janji tidak akan melakukan apa pun lagi.
Arielle sendiri tak membalas. Ia membiarkan Ronan mengangkat kepalanya untuk menyelipkan tangannya menjadi bantal untuk Arielle. Begitu juga tangan satunya yang merengkuh erat dari belakang. Arielle menguap sekali lagi dan tak butuh waktu lama untuk gadis itu kembali terlelap.