"Des, mau ikut gak ke Gede-Pangrango?" Rivan mengirim pesan whatsapp padaku.
"Kapan? Siapa aja?" Balasku cepat
"Sabtu depan. Gue, Ferdy sama Toyib temennya Ferdy," Rivan menjelaskan.
"Cariin ceweknya lagi dong, biar gue ada temennya."
"Oke nanti gue coba ajak si Vika sama Resti," jawab Rivan.
Rivan dan Ferdy adalah teman sependakianku, kami bertemu 3 tahun yang lalu ketika sama-sama ikut sebuah open trip ke gunung Rinjani yang di gagas oleh salah satu Trip Organizer yang bermarkas di Bandung.
Dan sejak pertemuan itu, kami jadi sering melakukan pendakian bersama di beberapa gunung lainnya.
Sedangkan Toyib, aku belum tahu sama sekali, mendengar namanya saja baru kali ini.
Singkat cerita, Jumat malam Rivan, Ferdy dan Toyib menjemputku ke rumah.
Formasi kami masih tetap sama seperti yang Rivan katakan tempo hari, aku adalah wanita satu-satunya dalam pendakian kali ini
"Bu, kami berangkat dulu ya," Ucap Rivan dan yang lainnya berpamitan pada ibuku.
"Hati-hati ya, nitip Desi!" balas Ibuku.
"Siap Bu!" Ucap Rivan sambil mengangkat tangan kanannya menirukan orang yang sedang hormat.
Perlahan tapi pasti, mobil yang dikemudikan Toyib mulai melaju meninggalkan rumahku di kawasan Bandung Selatan.
Awalnya perjalanan kami lancar-lancar saja, namun saat kami akan memasuki daerah Cianjur, tepat saat mobil ini berada di sebuah jembatan besar tiba-tiba saja mesin mobil kami mati.
"Eh kenapa Toy?" Tanya Rivan.
"Abis bensin kali?" Timpal Ferdy
"Ah nggak kok, sebelum berangkat udah gue isi fullteng," jawab Toyib sambil berusaha menghidupkan kembali mobil ini.
"Jangan di tengah jalan gini Toy, ke pinggirin dulu tuh disana!" Saran Ferdy setelah melihat Toyib yang beberapa kali gagal menghidupkan mesin mobil.
Kuperhatikan jarak dari posisi kami untuk sampai di ujung jembatan ini tidak lebih dari 25 meter. Tidak terlalu jauh pikirku, hitung-hitung pemanasan sebelum pendakian nanti.
"Oke satu, dua, tiga!" Ferdy memberi aba-aba.
Dengan sekuat tenaga kami mendorong mobil ini keluar dari jembatan untuk menepi.
Perlahan-lahan roda mobil mulai melaju seirama dengan langkah kaki dan tenaga kami. Semakin lama mobil ini terasa semakin ringan, bahkan kini kami mendorongnya dengan setengah berlari.
"Gue kira deket, ternyata kalo lagi begini berasa jauh ya!?" Ucap Rivan sedikit berteriak.
Aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapannya tersebut, dan saat aku melihat ke depan ternyata benar.
Ujung jembatan ini masih terlihat sama seperti tadi. Kami hanya bergeser sedikit saja.
"Aneh, perasaan tadi ngedorong udah lumayan jauh," ucapku dalam hati.
Aku langsung menengok ke kanan dan ke kiri entah untuk apa, namun aku merasakan hawa di tempat ini kini berubah menjadi tidak enak.
Perlu waktu sekitar 20 menit bagi kami untuk bisa sampai di ujung jembatan ini.
Menurutku itu adalah waktu yang kurang sepadan untuk mendorong sebuah mobil di jalanan datar sejauh kurang lebih 25 meter.
"Haduh, untung gak ada kendaraan lain yang lewat," ucap Rivan dengan nafas ngos-ngosan setelah kami menepi.
Memang benar yang dikatakan Rivan, semenjak mesin mobil ini mati, aku tidak melihat ada satu kendaraan pun yang melintas. Padahal kondisi belum terlalu malam, kulihat jam masih menunjukan pukul sepuluh kurang.
Toyib kembali berusaha untuk menghidupkan mobil ini, namun hasilnya masih tetap nihil. Mesin dan bensin pun tak luput untuk kami periksa dan keduanya tidak ada masalah.
"Ngopi dulu lah biar gak panik!" Ferdy beranjak menuju warung terpal yang masih buka. Kami pun mengikutinya.
"Mau pada kemana?" Bapak penjaga warung menyapa kami.
"Mau naik gunung Pak," jawabku ramah.
"Oh kemping? ke gunung mana?"
"Iya Pak, ke gunung Gede," jawabku lagi.
"Sekarang mah udah rame yang kemping kesana, dulu mah angker Neng, sepi!" Ucap beliau yang ternyata dulunya pernah 2x mendaki kesana.
Setelah beliau mengetahui bahwa mobil kami mogok, beliau hanya berkata, "Udah biasa itu mah, nanti juga nyala lagi."
Kami pun langsung mengerti maksud beliau tanpa harus menanyakan alasannya.
"Bismillah....." Ferdy mencoba memutar kunci mobil, dan benar saja. Mobil langsung menyala lagi.
"Alhamdulillah..." Ucap kami hampir berbarengan.
Kami pun berpamitan pada Bapak penjaga warung untuk melanjutkan perjalanan. Bapak itu hanya berpesan agar kami hati-hati.
Setelah jauh meninggalkan jembatan tadi tiba-tiba saja Toyib bertanya, "kalian tadi liat gak ada cewek di jembatan?"
Aku, Rivan dan Ferdy langsung saling berpandangan.
"Serius lu?!" Tanya Ferdy penasaran.
"Serius! cewek itu liatin kita terus. Gue rasa dia yang bikin mobil kita mogok!" Jawab Toyib serius.
"Anjir untung gue gak liat! Gue ngerasa anehnya tuh pas kita dorong mobil, berasa gak nyampe-nyampe!" Timpal Rivan sambil tertawa.
"Kalian ngeuh gak sih kalo tadi selama mobil kita mogok gak ada kendaraan lain yang lewat?" Tanyaku.
"Nah iya tuh! Kok tiba-tiba jadi sepi!" Ujar Ferdy sedikit berteriak.
"Iya juga ya, perasaan tadi sepi bener," Ucap Rivan sambil manggut-manggut.
Sepanjang sisa perjalanan itu kami habiskan dengan membahas keanehan-keanehan saat di jembatan tadi, hingga tak terasa akhirnya kami sampai di daerah Cipanas. Kami mampir sebentar di mini market untuk melengkapi kekurangan logistik yang kami bawa, kemudian segera menuju Cibodas.
Setelah memarkirkan mobil kami langsung menuju warung untuk beristirahat sambil ngopi-ngopi.
Suasana Cibodas belum terlalu ramai, entah karena para pendaki lain sudah tertidur di dalam warung-warung yang ada disini atau memang karena masih terlalu malam.
Kulihat jarum jam yang menempel di dinding warung masih menunjuk ke angka satu, masih terlalu lama untuk menuju ke pagi hari.
Singkat cerita, pukul sepuluh pagi kami memulai pendakian melalui jalur Cibodas. Trek berbatu yang tersusun rapi menyambut langkah demi langkah yang kami ayunkan dengan perlahan.
"Mari mbak..."
"Duluan mbak."
Sapaan hangat dari para pendaki lain sering kali terdengar saat mereka menyusul langkah kami yang lambat ini.
"Istirahat dulu Fer!" Pinta Rivan saat kami mulai memasuki Rawa Denok 1.
Ini adalah kali kesekian dia meminta istirahat. Sejak dari Rawa Gayonggong entah kenapa sepertinya kaki dia mengalami masalah.
"Lu kenapa sih? Tumben banget?" Tanya Ferdy.
"Gatau, kaki gue sakit banget. Kenapa ya?" Ucap Rivan sambil memijit kakinya sendiri.
"Nih pake ini nih," Toyib menawarkan obat gosok yang dia ambil dari kerilnya.
Dengan telaten Rivan mulai mengoleskan obat gosok itu ke kakinya secara merata, sesekali ia mengurut dan memijit kaki itu agar lekas membaik.
Setelah beberapa saat akhirnya Rivan mengajak kami untuk melanjutkan lagi pendakian. Namun sepanjang perjalanan aku melihat dia terus-terusan meringis menahan sakit.
"Van, kalo lu gak kuat ngomong aja. Gapapa kita balik lagi gausah di terusin," ucapku saat Rivan meminta untuk berhenti lagi.
"Gue kuat kok, gapapa lanjut aja, cuman gak bisa cepet-cepet."
Sebenarnya kami tak tega melihat keadaannya yang seperti itu. Beberapa kali kami mengajak untuk kembali, namun dia selalu saja meyakinkan kami untuk terus melanjutkan pendakian ini.
Meskipun banyak sekali drama selama perjalanan tapi Alhamdulillah dengan tempo perjalanan yang sangat lambat, akhirnya pukul 5 sore kami tiba di camp area Kandang Badak.
"Buset penuh banget," ucap Rivan lesu.
Terlihat puluhan tenda dari para pendaki lain sudah berdiri kokoh memenuhi area ini. Hampir tidak ada celah lagi bagi kami untuk mendirikan tenda kecuali area tengah yang sengaja digunakan untuk berlalu-lalang para pendaki yang ingin mengambil air.
"Camp sebelah mana nih kita?" Tanya Ferdy kebingungan.
Setelah berkeliling akhirnya kami menemukan tempat yang lumayan cocok, meskipun memang posisinya berada di paling ujung. Berbatasan langsung dengan rimbunnya hutan gunung Gede-Pangrango.
Dengan cekatan Rivan, Ferdy dan Toyib langsung memasang tenda kapasitas 5 orang yang kami bawa, sedangkan aku berinisiatif untuk memasak dan membuatkan mereka kopi.
"Udah sembuh kaki lu Van?" Tanya Ferdy melihat pergerakan Rivan yang sangat gesit.
"Hehehe udah," jawab Rivan sambil menggerak-gerakan kakinya seraya menunjukannya pada kami, bahkan sampai menghentak-hentakannya ke tanah beberapa kali.
"Jadi summit dong?" Aku menggodanya.
"Ya jadi lah, gaskeun!" Ucapnya jumawa.
"Jam berapa kita summit Fer?" Toyib membuka obrolan sehabis kami makan malam di dalam tenda.
"Bagusnya sih jam 2, gimana?" Ferdy balik bertanya.
"Kita ke puncak Gede dulu baru ke Pangrango, biar nyampe lagi kesini gak kesorean!" Lanjutnya lagi.
"Mendingan Pangrango dulu baru ke Gede Fer," usul Rivan.
Kami pun setuju dengan usulan Rivan, karena menurut kami waktu tempuh menuju Pangrango lebih lama daripada ke Gede. Lagian pendaki yang ada disini sebagian besar tujuannya adalah puncak Gede, bisa di bayangkan macetnya saat di jalur pendakian nanti dan penuhnya orang-orang saat di Puncak.
Selesai membahas summit lalu kami memutuskan untuk tidur, meskipun jam masih menunjukan pukul 20:10.
Suara diluar masih sangat ramai, bahkan terdengar beberapa pendaki memutar lagu lewat pengeras suara dengan volume yang lumayan besar.
"Kemana Toy?" Tanyaku saat Toyib beranjak keluar tenda.
"Buang air kecil," jawabnya sambil tertawa.
"Gue juga deh!"
Aku menyusul keluar tenda, karena memang sedari tadi aku pun merasa ingin buang air kecil.
Lanjut ke Bab 2