"Mbak ngopi mbak!"
"Iya silahkan bang, makasih," jawabku ramah saat penghuni tenda sebelah menawariku kopi.
Ternyata memang suasana diluar masih ramai, terlihat orang-orang masih mengobrol di depan tendanya masing-masing, ada juga beberapa yang masih di sibukan dengan kegiatan memasak.
Aku lalu menuju semak-semak mencari tempat yang benar-benar aman. Ramainya suasana tempat ini membuatku sedikit kebingungan mencari area untuk buang air kecil.
Aku memilih sedikit lebih masuk ke dalam hutan dan kemudian menuntaskan keinginanku untuk buang air kecil.
"Desi..."
"Desiiii..."
Terdengar suara seseorang memanggil namaku. Dengan perasaan was-was kuperhatikan sekeliling area ini, takut ada orang yang mengintipku.
Namun aku tidak menemukan apa-apa dan siapa-siapa, hanya gelapnya hutan dan semak belukar yang lumayan tinggi.
"Desiii..."
Suara itu terdengar lagi, sepertinya suara seorang wanita.
Bulu kudukku langsung berdiri.
Kupercepat kegiatan buang air kecil ini lalu segera kembali menuju tenda dengan sedikit berlari.
"Kenapa lu Des?" Tanya Toyib saat aku tiba di tenda.
"Gak kenapa- napa," balasku berbohong karena tidak ingin membuatnya ketakutan.
"Masa sih? Gausah takut Des, lu liat apaan barusan?" Tanya Toyib penuh selidik.
"Liat apaan emang?" Ferdy ikut nimbrung, disusul oleh Rivan.
Ternyata kedua orang itu belum tertidur.
"Apaan sih? Gue gak kenapa-napa juga!" Ucapku sambil sedikit tertawa agar mereka percaya.
"Kalo gue ngerasa ada yang ngikutin," Toyib mulai bercerita.
"Kedenger suara kresek-kresek pas gue kencing, tapi pas gue tengok gak ada apa-apa!" Lanjut Toyib.
"Ah perasaan lu doang kali?" Ucap Ferdy ringan.
"Mungkin sih. Tuh tuh liat! Gue merinding!" Ucap Toyib sambil memperlihatkan bulu-bulu ditangannya yang berdiri.
"Kedinginan lu itu mah!" Ferdy tetap tak percaya dengan cerita Toyib.
"Udah-udah tidur ah istirahat!" Ajak Rivan menyadari gelagat kurang baik mengenai obrolan ini.
Aku pun langsung masuk sleeping bag dan melupakan kejadian tadi, nanti saja akan kuceritakan kalau kami sudah pulang. Begitu pikirku.
***
Pukul 1 pagi alarm di handphone membangunkanku. Aku langsung membuka tenda, menyalakan kompor lalu memasak.
Terdengar suara beberapa pendaki lain yang sepertinya juga sudah terjaga, atau bahkan mungkin sebagian belum tidur sama sekali.
Pukul 02:30 kami mulai berjalan meninggalkan tenda, sedikit meleset dari waktu yang sudah direncanakan. Tidak lupa kami berdoa dahulu untuk memohon perlindungan dan kelancaran selama dalam perjalanan.
Jalur pendakian ramai lancar, ratusan pendaki berbaris rapi seperti sedang mengantri untuk menonton sebuah konser. Ramai sekali.
Beberapa menit berjalan kami melihat plang penunjuk arah yang kami nantikan. Lurus menuju puncak gunung Gede, sedangkan belok kanan menuju puncak gunung Pangrango. Kami langsung belok kanan mengikuti petunjuk plang tersebut, di ikuti oleh beberapa orang yang bertujuan sama seperti kami, sisanya semua mengambil jalan lurus untuk menuju puncak Gede.
"Benerkan kata gue?" Ucap Rivan sambil tersenyum bangga.
"Udah ayo jalan!" Jawab Ferdy ketus.
Trek menuju puncak Pangrango memang sangat terjal, beberapa kali kami juga harus berjalan merangkak karena terdapat pohon rubuh yang melintang menghalangi jalan.
"Van kalo ada tempat datar break dulu ya," pintaku saat melewati sebuah tanjakan yang lumayan terjal.
"Yaudah disini aja nih!" Jawab Rivan yang berada di posisi depan sambil menyorotkan senter ke sebelah kanan jalur.
Kami beristirahat di sebidang tanah yang lumayan datar, luasnya mungkin bisa menampung sekitar 5-6 orang dalam posisi duduk.
"Ngopi dulu aja sekalian ya? Gue belum ngopi nih," ajak Ferdy.
Rivan melihat jam di tangannya lalu berkata "Oke boleh!"
Ferdy langsung membuka tas dan mengeluarkan alat masak, dengan sekejap nesting berisi air sudah siap diatas kompor untuk dipanaskan.
Aku melihat jam di HP ternyata baru satu jam kami berjalan meninggalkan tenda.
"Ngopi dulu sini bang biar anget," ucap Rivan berbasa-basi pada pendaki lain yang berjalan melewati kami.
Mereka hanya menjawab, "Iya bang silahkan!" Tanpa berhenti.
Entah sudah berapa rombongan yang datang silih berganti melewati kami yang sedang beristirahat ini, hingga ada satu rombongan yang terdiri dari 3 orang datang berjalan melewati kami.
"Ngopi dulu bang!" kembali Rivan menyapa rombongan tersebut.
Seperti biasa, rombongan yang Rivan sapa hanya tersenyum sambil berkata "Mari-mari, silahkan bang," tanpa tertarik untuk mampir.
Mungkin tanggung karena posisi kami memang berada ditengah-tengah tanjakan. Namun tanpa diduga salah seorang dari rombongan tersebut langsung menepi dan bergabung bersama kami.
"Darimana bang? Ferdy membuka obrolan pada orang itu.
Dari wajahnya terlihat sepertinya pria itu sudah lumayan tua, sekitar umur 45 tahunan.
"Saya asli orang sini," jawab pria itu sambil memberikan tangannya untuk berjabat.
"Beni." Ucapnya memperkenalkan diri.
Rasa dingin langsung terasa saat telapak tanganku bersentuhan dengan tangannya.
Rivan memberiku kode untuk membuatkan kang Beni kopi, aku pun segera menyiapkannya.
"Gulanya banyak atau sedikit Kang?"
"Bebas. Terserah yang ngasih, tapi saya lebih suka yang agak pait," jawab kang Beni sambil tersenyum.
"Temannya sekalian ajakin ngopi aja atuh kang, kasian takut nyariin ntar," ujar Rivan sambil menyodorkan segelas kopi hitam yang baru saja ku buatkan.
"Ah gapapa udah biasa," jawabnya enteng.
"Rokoknya ada? Punya saya dititip temen." Lanjut kang Beni sambil tertawa kecil.
Rivan langsung mengeluarkan dua bungkus rokok yang berbeda, filter dan kretek, lalu menaruhnya tepat di samping kopi tadi beserta koreknya.
"Saya suka yang kretek," ucap kang Beni sambil mengambil rokok itu lalu membakarnya.
15 menit pertama kami terlibat obrolan yang lumayan seru, Dia bercerita bahwa ini adalah pendakian terlamanya bersama kedua rekannya tadi yang bernama Upin dan Ipin. Namun di menit berikutnya kang Beni lebih banyak diam. Raut wajahnya terlihat seperti menyimpan kesedihan.
"Kamu, siapa tadi namanya?" Tanya kang Beni sambil menepuk pundak Toyib.
"Toyib Kang."
"Hemm...cincin kamu bagus," ucap kang Beni sambil memperhatikan cincin yang dipakai Toyib.
Sebuah cincin berwarna perak dengan hiasan batu akik berwarna toska yang tidak terlalu besar.
"Dapet darimana?" Tanya kang Beni.
"Emang kenapa Kang?" Toyib balik bertanya.
"Menarik!" jawabnya singkat.
"Menarik?" Toyib penasaran.
"Menurut kamu itu cincin apaan?" kang Beni balik bertanya.
"Cincin batu akik biasa aja sih, ini dikasih paman saya," jawab Toyib sambil mengusap-usap batu akik tersebut.
"Oooohh..." Respon kang Beni sambil menyeruput kopi lalu menghisap lagi rokoknya dalam-dalam.
Sepertinya dia adalah perokok berat, kuperhatikan mulutnya tidak berhenti mengepulkan asap tembakau yang ia hisap. Cepat sekali dia menghabiskan tiap batang rokok itu, dan itu adalah rokok ketiga yang sudah ia bakar.
"Cincin itu sebenarnya tidak cocok buat kamu, Kamu tidak paham cara memakainya."
Lanjut kang Beni.
"Maksudnya kang?" Tanya Toyib bingung.
"Mendingan di simpen lagi!"
"Saya duluan ya, terimakasih loh kopi sama rokok nya, saya suka," ucapnya sambil berlalu meninggalkan kami.
Namun baru beberapa langkah tiba-tiba dia berhenti lalu menoleh, "Hati-hati ya kalian!" lalu kembali berjalan.
"Iya Kang!" jawab kami serempak.
"Maksudnya apaan ya?" Tanyaku yang juga tidak mengerti dengan apa yang diobrolkan kang Beni mengenai cincin itu.
"Gue juga gak ngerti. Ayo ah kita lanjut!" Ajak Toyib sambil membereskan semua peralatan.
Namun hal aneh kami dapati saat melihat gelas kopi yang tadi di minum oleh kang Beni. Kopi itu masih utuh seperti tidak pernah ada yang meminumnya.
"Mungkin dia gasuka kopi kali, tadi pura-pura minum buat ngehargain kita doang," ucap Ferdy asal.
"Gak mungkin!" ucapku dalam hati.
Yang terakhir kulihat tadi, dari cara kang Beni meminumnya sepertinya kopi itu sudah habis tinggal menyisakan ampasnya saja.
"Udah lu abisin aja Van," lanjut Ferdy.
"Ogah ah, buang aja ya?" Ucap Rivan ragu.
"Sayang kalo di buang, sini Gue aja yang abisin!" Ferdy mengambil gelas itu dari tangan Rivan.
"Srupuuut...."
Ferdy berhenti, lalu melihat kearah kami satu persatu sambil terdiam.
"Kenapa Fer?" Tanyaku cemas
"Cobain deh," pintanya agar aku mencicipi kopi itu.
"Emang kenapa?" Aku ragu.
"Cobain aja biar ga penasaran."
Kata penasaran yang dia ucapkan benar-benar membuatku menjadi penasaran, perlahan aku menyeruput kopi itu dan aku pun melakukan hal yang sama seperti Ferdy.
Secara bergantian kutatap Rivan dan Toyib sebagai bentuk pemberitahuan bahwa ada hal yang aneh dari kopi tersebut.
"Kenapa sih?" Toyib penasaran lalu mengambil dan meneguk kopi itu, kemudian menyerahkannya pada Rivan.
Setelah meneguk kopi itu Rivan langsung membuangnya.
"Kok bisa ya? Padahal gue tau tadi Desi ngeracik kopi nya kayak gimana," ucap Rivan terheran-heran.
"Udah yuk, kita berdoa lagi biar gak ada hal-hal yang tidak di inginkan," ajak Rivan.
Bersambung...