Chereads / BETA ROMEO AND HIS ROGUE / Chapter 2 - BAB 02 : Perempuan Bermata Aneh

Chapter 2 - BAB 02 : Perempuan Bermata Aneh

"Bu, mereka mengatakan jika mataku aneh." Perempuan kecil berusia tiga belas tahun itu merajuk pada Ibunya. Dirinya tak terima karena selalu dicemooh oleh teman sepermainan yang berada di desanya.

Sang Ibu hanya bisa tersenyum sambil tangannya memetik buah di kebun.

"Memang apa yang aneh. Bukankah mataku ini unik, ya." Buah yang sudah dipetik Ibunya di keranjang, sesekali dimakan olehnya.

"Matamu memang unik, Rena. Karena kau memiliki mata seperti nenekmu. Ibu orang  Asia. Kau sudah tahu, kan?" Ibu Rena berjalan mencari anggur yang sudah masak, tangannya dengan telaten menggunting batang buah tersebut. Rena yang melihat Ibunya pun mengambil gunting yang berada di dalam keranjang dan mencoba membantu.

"Ambil yang berwarna ungu. Tinggalkan yang hijau." Instruksi yang langsung dipatuhi oleh Rena tanpa adanya bantahan.

"Tapi mata kak Ben tidak sepertiku, Bu?" Ternyata masih berlanjut masalah ini.

Yura yang melihat punggung anaknya hanya bisa mendesah. Gadis kecil dengan rambut hitam kepang dua yang tertutup topi rotan itu selalu mempermasalahkan matanya, padahal tidak semua orang bisa mempunyai mata seperti itu. Tapi banyak yang menghina bahkan mengolok sebagai bukti jika ia tak normal. Seharusnya itu anugerah tersendiri bukan?

"Nikmati apa yang sudah diberikan, Sayang. Syukuri kita masih bisa hidup tanpa ada kekurangan."

Rena kecil hanya bisa bergumam. Ego yang selalu ada di dalam dirinya kembali terusik. Teman-teman sekolah maupun di rumah selalu menghinanya ada yang bilang di sipit aneh ada yang bilang vampir karena kulit pucat meronanya. Dia kan bukan vampir tapi were ... upss! Rena memukul mulutnya gemas. Orang tuanya sudah mewanti-wanti jangan sampai identitas keluarga diketahui orang.

Mereka memilih tinggal di desa dan menjauhi segala macam kelompok—pack—dan berbaur dengan manusia. Karena Ibunya sering berkata, manusia sangat menyenangkan daripada kelompok werewolf.  

"Bu, ayah dan kak Ben belum pulang?" Tangannya memegang baju Ibunya sampai di halaman rumah.

"Sepertinya belum, mungkin kayunya belum terkumpul banyak."

"Apa kau mau ikut ibu ke rumah paman Gill untuk menjual anggur?" Ibunya membawa gerobak berisikan anggur yang sudah dipanen sedari kemarin.

Rena yang sedang memberikan makanan hewan kesayangannya dengan daun menggeleng. "Aku ingin mengurus Didi-ku dulu, Bu." Binatang bertelinga panjang itu terus saja mengunyah apa yang disodorkan Rena.

"Kalau begitu, kau tunggu di sini Rena. Jangan main ke sungai, berbahaya."

"Ibu sudah memberitahuku ribuan kali, jika Ibu lupa." Rena menggendong binatang berbulu putih itu. Sebenarnya ia mau sekali mandi di pinggiran sungai, apalagi kakaknya Ben selalu mengajaknya meskipun itu hanya tawaran kosong.

Rena menatap ke depan melihat aliran sungai  Rhein yang lumayan jauh dari halaman rumahnya. Sungai terpanjang yang melintasi beberapa Negara Eropa.

Sankt Goarshausen tepatnya di Desa Wellmich, Jerman. Sebuah desa yang penduduknya sekitar seribu orang dengan pemandangan yang masih asri juga bukit yang tinggi. Salah satu penghasilan dari penduduk desa ini adalah anggur. Anggur yang nantinya menjadi salah satu minuman termahal yang Jerman punya.

"Rena!" Gadis sebaya menghampiri Rena dan ikutan berjongkok memberikan Didi daun. "Kau sudah mengerjakan tugas?"

Rena membuka topi rotan dan menaruhnya di tanah berumput. Memasukkan Didi di kandangnya dan menutup rapat. "Sudah, dong, aku kan pintar." Dengan cengiran yang membuat mata itu terlihat hanya segaris membuat Harriet mengerucut.

"Bisakah kau mengajarkanku, Ren?" Harriet memohon iba sambil menggoyang-goyangkan badan Rena yang sudah terduduk di bangku panjang.

Rena yang mendengar permintaan temannya memikirkan dengan cara mengetuk-ketuk dagu. "Tapi ada syaratnya, bagaimana?"

Harriet yang ikut di duduk di bangku pun mengangguk setuju. Apa pun akan dipenuhi asal guru menjengkelkan itu tak memarahinya.

"Tetap menjadi temanku, Harry." Rena menaik turunkan alisnya. Membuat Harriet melotot tak percaya, semudah itukah?

"Kan aku memang temanmu." Harriet ingat, tak semua teman sebayanya yang mau menerima Rena. Harriet memegang tangan Rena dan berkata, "Aku selalu menjadi temanmu selamanya." Dan Rena menganggap itu sebagai janji sampai mati.

***

Di Senin pagi. Siapa yang menyukai hari Senin? Di mana semua orang diharuskan memulai kegiatan. Rena merengut kesal saat memakan roti yang sudah tersaji di piring.

"Kak, nanti aku berangkat bersama Harriet saja ya, pinta Rena memelas.

"Kenapa tidak mau bersama Kakak?" Ben menambahkan selai cokelat pada rotinya.

"Aku hanya ingin berbicara pada Harriet. Ya berbicara padanya."

"Baiklah."

Tanpa menunggu lagi, ia langsung berpamitan pada Ibu dan Ayah serta mengambil tas ranselnya.

"Kau tahu, Ren. Brandon kemarin mengatakan cinta pada Ursula." Rena yang mendengar cerita dari Harriet pun menghentikan langkahnya dan terkejut heboh.

"Bagaimana bisa!? Brandon kan seumuran dengan kakakku, sedangkan Ursula dia seumur kita. Mereka berbeda jauh bayangkan Harry, lima tahun. Brandon seperti pedhofil ya." Rena tak habis pikir bagaimana bisa teman kakaknya mencintai gadis yang jauh di bawah umurnya. Mereka memang remaja kecil yang akan beranjak dewasa tapi tetap saja terasa aneh.

"Namanya cinta, Rena. Biarkan saja mereka menjalin cinta di usia muda." Ya Harriet adalah salah satu manusia yang melankolis. Rena menyetujui itu.

Jangan sampai mate-ku berumur yang berada jauh di atasku. Rena bergidik ngeri mengingat itu semua.

***

"Hai, mata aneh. Seharusnya kau melakukan operasi yang membuat matamu seperti manusia normal." Elisha tertawa bahagia disambut teman yang lain.

Rena yang melihat dan mendengar itu hanya memutar bola matanya jengah dan membalikkan lembar buku yang masih dibacanya meskipun sudah tidak fokus.

"Apakah kau tak mempunyai biaya untuk melakukan operasi?" Elisha memutar rambut pirang bergelombangnya. Sebenarnya ia jengah jika harus seperti ini, tapi jika ia mengamuk ia takut tak bisa terkontrol.

"Elisha Si Ratu Drama, bisakah kau diam sejenak. Telingaku sakit mendengar mulut bawelmu sedari dulu. Lagi pula yang seharusnya operasi itu kau, melihatmu yang tak pernah bisa menghafal pelajaran dengan benar."

Telak. 

Pekikan jeritan, siulan dan cercaan teman sekelas membuat Elisha bungkam. Ia tak habis pikir ternyata Rena bisa membuat malu dirinya dalam sekejap. Dengan emosi dan muka memerah, Elisha keluar dari kelas di temani dua pembantu—eh temannya.  

***

Rena tersenyum tipis saat mengingat kejadian itu, kejadian yang tak pernah ia lupa seumur hidup. Masa remaja kecil yang membuat ia tampak egois karena perkataannya tanpa maksud menyinggung Elisha sedikit pun. Setelah kejadian itu Elisha tak pernah mau lagi berbicara bahkan mengejeknya, tapi tidak teman-teman yang lain. Mereka tetap saja mengejeknya. Menyebalkan.

Seharusnya pada saat itu juga ia meminta maaf pada Elisha dan menjalin pertemanan yang baik. Tapi setelah mengingat Elisha adalah orang nomor pertama yang selalu gencar menghinanya, ia tak pernah melakukan permintaan maaf itu sampai sekarang.

Rena menghela napas, kenangan yang indah bukan di mana saat semua orang masih ingin bermain dengannya tapi dengan cara yang berbeda.

"Luna."

"Kemari, Nak." Luna Irene membawa Rena duduk di sofa dan membuka bungkusan berwarna merah muda itu.

Terpampang gaun cantik berwarna putih yang dihiasi pita di pinggangnya. Membuat Rena tampak takjub dengan pemandangan di hadapannya. "Indah sekali, Luna." Ia tak sanggup memegang dan hanya melihat  tak ingin gaun itu kotor karenanya.

"Kau menyukainya?" Luna Irene senang melihat reaksi Rena. Rena mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya.

"Kalau begitu, ini untukmu." Luna Irene memasukkan gaun itu ke tas kertas dan memberikannya pada Rena. Rena yang melihat kantong kertas itu hanya menggeleng dan tak terima. Bagaimana bisa Luna-nya memberikan gaun yang semewah itu untuk dirinya.

"Terima, Rena. Ini perintah!" Tegas. Luna Irene baru kali ini berbicara seperti itu padanya, membuat Rena terkesiap dan tangan bergetar.

"Pakai gaun ini malam nanti, akan ada acara ulang tahun pernikahanku. Kau sudah tahu itu kan?!" Tanpa menerima penolakan dari Rena, ia berdiri dan berjalan angkuh meninggalkan Rena yang masih menatap baju itu kosong.

Irene bukan marah padanya hanya saja ia tak mau melihat Rena yang setiap hari selalu tertutup dan memojokkan diri sendiri. Ia selalu mengamati gadis itu, gadis yang disayangi seperti anaknya sendiri. Jika saja Jonathan mengizinkan Rena untuk ia asuh sebagai anak angkat, bisa dipastikan Rena selalu bahagia.

Saat di mana Rena datang ke dalam wilayah packnya dan membuat gempar seisi istana karena diperbolehkannya seorang rogue tinggal di dalamnya. Tapi itu perintah mutlak dari Jonathan dan disetujui Christopher. Jika memang Rena tak mau dibunuh ia harus menjadi pelayan untuk istana ini.

"Tapi ia masih kecil, Jo." Irene terisak melihat pakaian compang-camping Rena yang sangat tak layak pakai.

"Iya atau tidak, Irene!" Bagaimana bisa seorang anak kecil membuat dirinya dan istri bertengkar.

Irene memegang bahu Rena melihat manik mata yang kosong seolah ia siap kapan saja dieksekusi.

"Kita tidak tahu apa yang akan diperbuat di suatu hari nanti, mengingat ia adalah rogue." Jonathan selalu berpikiran matang. Ia tak ingin ada masalah apa pun dalam wilayahnya.

"Aku bisa merasakannya ia adalah anak baik, Jo. Kau pun bisa merasakannya 'kan, Sayang." Pecah sudah tangis Irene ia tak percaya jika suaminya akan menjadikan Rena sebagai pelayan  di umurnya yang masih kecil, seharusnya Rena mengenyam pendidikan.

Jonathan menghela napas lelah, sebagai seorang Alpha ia ditugaskan untuk menjaga miliknya dari segala macam bahaya. Tapi jika dilihat dari sisi orang tua ia tak mungkin tega membiarkan Rena menjadi pelayan di usia muda. "Biarkan ia belajar seperti anak pelayan yang lain. Katakan pada Morin jangan terlalu keras pada Rena alasannya karena ia masih kecil. Kau bisa memantaunya dari jauh Irene. Dan juga jangan kau tunjukkan ketidakadilan antara Rena dan yang lain."  

"Setelah dia dewasa jadikan dia pelayan pribadi untuk pasangan Nickholas." Tanpa menerima bantahan apa pun dari Istrinya, ia meninggalkan Irene yang memeluk tubuh Rena.

Irene tak bisa membantah lagi, perintah Jonathan termasuk adil untuk Rena.