Suasana istana tampak ramai. Banyak anggota keluarga dan kerabat yang hadir. Dengan menggunakan konsep serba hitam dan putih, membuat pesta ini terlihat mewah dan elegan.
Ternyata tidak hanya Rena sendiri yang memakai gaun, pelayan lain pun memakainya. Mereka serasi dengan pakaian yang berwarna putih hanya saja motifnya yang berbeda. Mungkin Luna Irene ingin membuat malam ini sempurna. Tetapi Rena tahu bahwa gaun yang diberikan Irene sangat berbeda dengan yang lainnya, apakah ini khusus.
Seketika kepercayaan dirinya luntur, ia tak pantas memakai pakaian mewah seperti ini. Seharusnya ia sama seperti teman yang lainnya. Tapi jika ia tak memakainya bisa saja Luna Irene benar-benar marah.
"Rena ... Rena ... Rena." Wendy dengan gaya angkuhnya berdiri di depan Rena dan memperhatikan gaun dari atas sampai bawah. Matanya terbelalak saat gaun Rena berbeda dari miliknya. Padahal sama-sama dari pemberian Luna Irene.
"Dapat dari mana kau gaun mewah ini?" Tangannya menyentuh kain putih itu dan merasakan kehalusan di sana.
Rena sontak mundur tak membiarkan pakaiannya dikotori oleh tangan Wendy.
"Luna Irene."
Jawaban singkat itu membuat tangan Wendy mengepal dan mukanya memerah. Ia pergi meninggalkan Rena tanpa mau terlibat lebih jauh. Suara hentakkan heels memenuhi telinga dan diabaikan. Biarlah Wendy berasumsi dengan pikirannya sendiri.
Rena melangkah memasuki ruang utama yang dijadikan acara malam ini. Ruang yang sudah disulap menjadi tempat terindah yang didominasi hitam dan putih. Kakinya yang memakai heels tidak terlalu tinggi mencari sang raja dan ratu dalam cara ini. Ingin mengucapkan selamat dan meminta maaf kepada Luna Irene soal kejadian siang tadi. Matanya mengedarkan ke penjuru ruangan, ruangan yang sudah dipenuhi oleh tamu dan kerabat.
"Rena, kau sangat cantik." Suara berat menginterupsi, ia melihat Theo melihatnya dari atas hingga bawah. Pria dengan rambut panjang yang diikat itu tersenyum geli.
"Terima Kasih, Theo." Rena sedikit menarik bibirnya, matanya masih mencari Luna Irene berada.
"Kau sedang mencari Luna Irene ?" tanya pria itu.
Hanya gumaman yang membalas perkataan Theo.
"Alpha dan Luna belum terlihat dari tadi. Mungkin masih bersiap-siap." Rena menatap mata cokelat Theo dan menganggukkan kepalanya, kemudian pergi dari hadapan Theo tanpa berbicara lagi.
Theo geram melihat kelakuan pelayan itu, sungguh gadis yang tak mengerti etika. Ia sudah bersikap baik untuk menyapa tapi balasan gadis itu membuatnya menahan emosi.
***
Rena menatap pasangan paruh baya yang sedang tertawa itu memotong kue berwarna putih yang kira-kira mencapai tinggi satu meter lebih. Terlihat raut wajah Luna Irene sangat bahagia berdampingan dengan Alpha Jonathan. Setiap tahun mereka melakukan acara ini, tapi mungkin di tahun ini adalah tahun yang spesial. Di mana seluruh tamu menggunakan pakaian yang sama begitu juga dengan pelayan. Tak ada kasta yang terlihat saat ini, semua sama.
Rena mengulum bibirnya saat mencium wangi kayu manis yang mendekatinya. Jantungnya selalu berdebar jika pria itu menampakkan eksistensi saat berada tak jauh darinya. Matanya masih menatap lurus ke depan, membiarkan pikiran serta gejolak yang sudah bersemayam. Ia sudah biasa.
"Mereka selalu terlihat bahagia." Suara berat itu memenuhi gendang telinga Rena setelah sekian menit sang pria berdiri di sampingnya.
Rena membenarkan toh seperti itu kenyataannya.
"Apa kau bahagia?" Rena sedikit mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan Romeo.
"Selama sembilan tahun kau di sini aku tak pernah lagi merasakan kebahagiaan itu, Rena. Kau sudah mengubahku."
Rena mengelus kedua lengannya yang tak tertutup baju, menghantarkan sedikit rasa hangat. Jika berhadapan dengan pria ini, ia selalu seperti tersiram air es sangat menyakitkan. Rena tak menjawab, ia semakin mendengarkan apa yang Romeo sampaikan.
"Tidak puaskah kau menyiksaku seperti ini?" Suara lirih Romeo membekukan tubuh Rena. Benarkah selama ini ia menyiksa Romeo? Bukankah sebaliknya.
"Pergilah Rena. Jangan kau tampakkan muka menyedihkanmu itu di depan mataku lagi." Suara itu semakin memelas.
Rena masih menatap lurus ke depan, melihat Luna Irene menyuapi kue yang tadi dipotongnya pada anaknya, Alpha Nickholas.
"Aku selalu mengingat kata-katamu, Beta Romeo. Ada saatnya aku pergi dari hadapanmu sesuai permintaan. Saat di mana itu terjadi mungkin kau tak akan pernah lagi melihatku sudah berbeda." Rena berjalan menghampiri Luna Irene menghapus setitik air mata yang sempat jatuh.
Dada Romeo berdenyut nyeri tangannya meremas tuksedo dengan keras. Apakah Rena akan menuruti permintaannya? Apakah ia siap jika gadis itu benar-benar pergi dari hadapannya sesuai permintaan?
Sejak tadi ia memperhatikan Rena yang berdiri sendiri tanpa ada yang mau menyapanya. Ia sedikit bangga, Rena terlihat sangat cantik malam ini dengan gaun yang cocok melekat di tubuhnya. Ia dengan terburu-buru menghampiri gadis itu ingin memberikan pujian. Tapi sayang, hati dan mulut tak bisa selaras. Ia kembali menyakitinya dengan kata-kata tajam. Kata-kata yang juga melukai hati terdalam.
Romeo mengambil gelas yang berisikan alkohol dan meminumnya dengan cepat. Ia harus bisa menjernihkan pikirannya kembali. Dengan terburu Pria itu meninggalkan pesta dan pergi ke hutan menenangkan diri.
***
Romeo menyendiri menikmati suasana yang sepi. Semilir angin malam membuat dedaunan di hutan rimbun itu sedikit mengalun. Ia pergi dari Istana untuk menenangkan diri dan tidak ingin terlibat jauh dengan hingar bingar pesta, tak terlalu memekakkan telinga memang tapi cukup membuat dada Romeo sesak.
Bukan karena pesta tapi gadis itu.
Jika dulu ia diyakini akan menjadi Beta terkuat setelah Beta Christopher dengan segala taktik dan perencanaan yang matang. Tapi semakin lama ia semakin tak mengenali dirinya sendiri.
Dua kancing kemeja sudah dilepaskan, kemeja putihnya pun sudah digulung hingga siku menampilkan otot liat yang terpampang. Sedikit hentakan ia memukul pohon tua itu hingga membuat ruas jarinya memerah. Pohon tua yang ia dan teman lainnya jadikan sebagai rumah pohon adalah salah satu tempat kesukaannya. Dari atas sana ia bisa melihat bahkan memantau keadaan sekitar. Pohon besar dengan daun rimbun seolah menyembunyikan persinggahan itu.
"Kak," panggil seseorang dari bawah sambil membawa buah anggur dan melemparkannya pada Romeo.
Romeo yang terkejut tapi karena refleksnya bagus, tak membiarkan buah kesukaannya itu jatuh dan berakibat hancur ke tanah. Ia mendelik kesal dan mengumpat.
"Kau tak perlu mengikutiku sampai sejauh ini, Jordan."
"Aku hanya khawatir padamu saja. Apa itu salah?" tanya laki-laki berumur dua puluh tujuh tahun. Dengan mudah dirinya ikut bergabung naik ke atas pohon.
Romeo mendengus sambil mengacak-acak rambut Jordan. "Jordan ...." Romeo menatap jauh ke depan membayangkan sesuatu.
"Apa kau pernah membayangkan bagaimana jika kau menjadi seorang rogue dan berbaur dengan manusia setiap saat?"
Pertanyaan yang membuat Jordan tersentak dan memandang kakaknya bingung. "Kau tak pernah berpikir untuk keluar dari pack 'kan, Kak?" tanya Jordan was-was melihat ekspresi Romeo yang tak terbaca.
Romeo hanya tertawa kecil ini hanya canda dan pertanyaan yang singgah di otaknya. Tak pernah sedikit pun ia berniat untuk meninggalkan pack dan semuanya. Mungkin jika dibandingkan, ia lebih memilih mati daripada meninggalkan pack. Pack yang sudah membesarkan namanya serta keluarganya.
"Lagi pula, untuk alasan apa aku meninggalkan pack dan menjadi rogue rendahan?" Romeo memakan anggur secara perlahan.
"Pikiranmu terlalu kolot, Kak. Tidak semua werewolf yang berbaur dengan manusia adalah rogue yang sebenarnya. Dan tak selalu rogue itu mengusik pack hingga membuat kekacauan. Banyak dari mereka yang memang sengaja meminta izin kepada para Alpha untuk pergi dan tinggal berdampingan dengan manusia," jelas Jordan.
"Semakin berkembangnya zaman kau tak selalu melulu menjadi seperti ini, Moongoddess menciptakan kita berdampingan dengan mereka supaya kita tak terlalu rakus begitu juga mereka," tambahnya.
Romeo tertegun, senaif itu kah dirinya?
"Coba kau ingat, kapan terakhir kali kau meninggalkan Black Forest untuk kesenanganmu sendiri tanpa embel-embel tugas yang kau dapat? Kapan terakhir kali kau berbaur dengan manusia lagi dengan jangka waktu yang lama?" Jordan menatap kakaknya. "Sudah lama sekali bukan, terakhir saat kau masih bersekolah."
Benar, apa yang dikatakan adiknya memang benar. Romeo sudah terlalu larut akan kesetiaan yang selama ini diayomi. Tugas yang selalu ada setiap detiknya selama sepuluh tahun terakhir membuat dirinya terlalu larut dan melupakan kesenangan dirinya sendiri.
"Aku tidak iri padamu saat kau dipilih Alpha Jonathan untuk menjadi kandidat terkuat calon Beta, tapi yang aku takutkan kau berubah menjadi kejam ya ... seperti sekarang ini. Kau dan Alpha Nickholas adalah perpaduan yang pas." Jordan mengejek sambil membaringkan tubuhnya.
Dia ingat, saat dirinya sudah lulus sekolah dan pada saat itu berumur delapan belas tahun, Romeo dan teman-teman yang lainnya dipilih secara acak oleh Alpha Jonathan untuk dijadikan kandidat terkuat mendampingi calon Alpha berikutnya—Nickholas
Pemilihan itu dikarenakan Beta Christopher tidak mempunyai anak laki-laki dan hanya mempunyai satu anak yaitu Nona Noella.
"Aku mempunyai beberapa kandidat terkuat yang akan mendampingi Alpha Nickholas di kemudian hari menjadi seorang Beta." Jonathan berbicara di hadapan segerombolan anak remaja laki-laki yang sedang bermain pedang di halaman istana.
Semua orang di sana hanya saling menoleh dan mendengarkan kelanjutannya.
"Menariknya adalah bahwa Alpha Nickholas sendiri yang memilih kandidat." Jonathan yang melihat Nickholas hanya bisa memasang wajah datar.
"Danny, Theo, dan Romeo. Persiapkan diri kalian mulai sekarang, karena kalian akan dibimbing selama dua tahun untuk memantaskan diri. Satu di antara kalian akan dipilih menjadi Beta dan mendampingi Nickholas. Setelah itu, Calon Alpha dan Calon Beta akan mendapatkan pelajaran khusus selama kurang lebih empat tahun untuk mendalami kepemimpinan dan kekuasaan. Kalian mengerti?" teriakkan Jonathan membuat ketiga remaja itu mengangguk.
"Baik, Alpha."
Romeo menyandarkan punggungnya di dinding kayu. "Kau baru saja menasihatiku, Adik Kecil?"
"Tidak, untuk apa aku menasihatimu kau yang tahu tentang dirimu sendiri dan masa depanmu." Jordan melipat kedua tangannya di bawah kepala menjadi bantalan.
"Kau tak kembali ke istana?" tanya Romeo saat adiknya sudah menutup mata.
"Tidak, pesta yang membosankan menurutku walaupun tahun ini ada yang berbeda dengan semua orang apalagi para pelayan yang terlihat cantik-cantik."
Romeo mengangguk.
"Kau sudah menemukan pasanganmu, Dan?" Mata Jordan terbuka mendengar pertanyaan itu.
"Belum," jawabnya ikut menerawang.
"Tapi mungkin aku harus berkeliling dunia untuk menemukan mate-ku. Sebenarnya sedari dulu ada anggota pack yang aku suka." Jordan tertawa kecil.
Romeo mengerutkan kening, tangannya mengelus ruas jemari yang memerah.
"Rena, aku menyukainya." Senyum hangat yang Jordan berikan pada Romeo membuat pria itu terdiam.
Rena?
Jordan menyukai Rena? Adikku menyukai gadis itu?
Jantung Romeo berdetak cepat, dengan cepat ia melompat dari rumah pohon itu meninggalkan Jordan sendirian. Jordan yang melihat gelagat aneh kakaknya hanya bisa menyeringai kejam.
Menyedihkan.