Chereads / Listya Milik Tazki / Chapter 2 - Bab 1 | Mereka Yang Berada di Pelukan

Chapter 2 - Bab 1 | Mereka Yang Berada di Pelukan

Meja makan lenggang. Tak ada yang berbicara. Keduanya diam. Menyalurkan ketegangan yang semakin mencuak. Tita mentautkan jari tepat di depan wajah. Matanya menatap tajam ke arah gadis yang terduduk dalam tepat di hadapannya.

"Bolos lagi?" satu pertanyaan keluar.

Tak ada jawaban. Listya masih menunduk. Memainkan ujung rok dengan gusar.

"Kamu bolos lagi?" tanya Tita dua kali dengan nada sedikit dinaikkan.

Listya mengedip beberapa kali. Ia mengangguk pelan. Sesekali melirik tantenya itu tanpa mengadahkan kepala.

Tita menghela napas dalam. Menelan ludah satu kali dan memutar bola mata. "Kenapa?"

Gadis itu masih memainkan ujung rok. Enggan berkata. Lebih tepatnya, takut.

"Kamu kenapa bolos lagi?" suara Tita merendah. Mencoba sabar dengan tingkah ponakan satu-satunya itu.

Listya membasahi bibir. Mengangkat kepala dengan perlahan. "Listya gak suka." jawabnya singkat dan begitu saja.

Alis Tita bertaut. Mencondongkan wajah ke depan, meminta penjelasan.

Listya tersadar dengan apa yang diinginkan tantenya. Kepalanya terpaksa diangkat penuh. "Mereka suka ngatain Listya di belakang. Listya gak betah. Mereka sama aja," kalimatnya terhenti. "Sama-sama nganggep Listya freak."

Keduanya saling tatap untuk beberapa detik. Tita menyanggah kepala dengan tangan. Sedangkan Listya menelan ludah setelah mengungkapkan apa yang dipendam selama enam bulan ini.

Napas Tita lagi-lagi dikeluarkan dengan berat dan panjang. Mata perempuan itu terpejam. Tangan yang berada di kepala memijat pelan dahi.

"Listya tau kok, Listya sering nyusahin Tante, tapi Listya udah gak mau les di tempat itu lagi. Listya lebih nyaman kalo belajar sendiri di rumah." Listya menatap mata Tita sungguh-sungguh. Napasnya sedikit memburu. "Rankingnya Listya juga stabil, kan? Mulai dari kelas satu Listya selalu masuk lima besar. Listya gak mau les, Tante. Ya ya ya?" kini tangannya disatukan di depan wajah. Memohon agar permintaannya disetujui.

Tita menatap dalam anak perempuan dari kakak kandung satu-satunya itu. Lekat-lekat ia mengamati wajah Listya. Ini sudah keempat kalinya Listya meminta untuk keluar dan mengatakan hal yang sama di tempat yang berbeda. Tita bisa apa? Excuse yang dilontarkan Listya juga ada benarnya. Tujuh belas tahun. Usia Listya saat ini. Dia akan tumbuh menjadi wanita dewasa seiring berjalannya waktu. Dia berhak melakukan apa yang ia inginkan asal tidak melewati jalur batas.

"Oke." Tita berkata setelahnya. "Tante gak akan daftarin kamu les kalau semester ini kamu masih masuk lima besar. Kalau kamu gak masuk, jaminannya apa?"

Listya melebarkan mata. Tidak percaya bahwa tante satu-satunya ini begitu takut tentang nilainya di sekolah. "Listya gak bisa jamin apa-apa. Listya kan, apa-apa minta ke Tante." tangannya dilipat di depan dada, memberengut kesal.

"Kalau kamu gak masuk lima besar semester ini, kamu harus ikut les sampai nanti kelas tiga. Betah gak betah kamu harus tetep les di tempat yang sama. Deal?" tawar Tita dengan enteng. Bibirnya tersenyum puas melihat wajah kesal Listya.

"Gimana? Setuju?" Tita meminta jawaban. Tangan kanan itu terulur.

Listya mendengus. Mau tidak mau ia harus menerima tawaran Tita agar terbebas dari tempat yang dipenuhi dengan sekumpulan remaja ambisius dan tidak mengenal kata menghargai. Tangan Listya juga terulur. Menyambut tangan Tita sebagai jawaban.

"Deal."

**

Listyaria Meilani Adinda Sukma.

Lahir di bulan Mei dengan zodiak taurus. Gadis ini begitu ceria bahkan saat tengah mengerjakan remidial ulangan harian geografi. Pecinta kucing, tapi tidak berbesar hati untuk merawat satu anak kucing. Ribet, alasannya. Anime holic! Dia rela duduk berjam-jam di wifi corner hanya untuk mendownload anime yang ia cari. Menghabiskan uang jajan hanya untuk membeli beberapa stuff yang menurutnya unyu dan layak dikoleksi.

"Good morning, Anin!" senyum Listya lebar sambil menampakkan wajah cerah tepat di hadapan seorang gadis yang telah menjadi sahabatnya selama kurang lebih dua tahun.

Gadis dengan sapaan Anin itu terlonjak dan spontan melepas headset di kedua telinga. Hampir saja melempar ponsel di tangan.

"Gue gak suka!"

Listya tertawa puas. Langkahnya begitu ringan saat berputar, berjalan ke arah tempat duduk di samping Anin.

"Masih pagi gak boleh marah-marah lho, Nin. Nanti cepet tua." Listya melepas tas di punggung dan mengambil benda seperti yang digenggam Anin dari dalam saku.

"Lo yang bikin gue marah!" mata Anin menatap tajam ke arah Listya. Dibalas dengan senyum polos oleh gadis di samping.

"LILIIIISSSS!!!!!"

Anin kembali terlonjak. Di susul oleh dengusan Listya saat suara dari pintu kelas mereka begitu menggemparkan dan membuat penghuni kelas menggeleng heran.

"Liliskuuuu!" pemilik suara itu berjalan lebar ke arah meja mereka berdua. Duduk seenaknya di bangku kosong depan meja Listya dan menunjukkan cengiran lebar.

"Berisik!" peringat Anin kesal.

"I don't care." manusia di depan Listya itu menjulurkan lidah.

"Gak sopan." Listya bersuara. Mengerucutkan bibir melihat tingkah laki-laki yang tak pernah berubah dari waktu ke waktu.

"Tarzan dasar!" tambah Anin.

Laki-laki yang merasa dijuluki Tarzan itu menatap Anin tidak terima. "Berisik aja lo, Ninin!"

Listya menghela. Memutar bola mata malas. "Tazki kalo berisik jangan ke sini lagi deh."

"Ihh! Tazki kan, mau nyapa Lilis tersayang. Masa gak boleh?" senyum jahil laki-laki bernama Tazki itu terbit. Membuat Anin yang melihatnya bergidik ngeri.

"Kalian berdua kenapa gak kawin aja, sih?"

"Ogah!" sela Listya cepat. "Tazki bego. Nanti anak Listya ikutan bego kalo kawin sama dia.

Tazki berdecak. Menunjukkan wajah kecewa. "Tazki pinter. Cuma gak mau sombong aja."

Anin melepaskan tawa renyah. Hampir melayangan kotak pensil yang ada di atas meja ke arah laki-laki di depan teman sebangkunya. "Balik sana ke kelas lo. Ganggu mulu pagi-pagi."

"Oke! Gue balik!" laki-laki itu terpaksa beranjak. Sedikit menghentakkan kursi yang diduduki karena kesal. "Tazki balik dulu ya, Lis? Nanti pulang bareng Tazki aja." senyumnya berubah lembut saat berhadapan dengan Listya. Mencubit gemas pipi gadis itu sebelum benar-benar pergi dari kelas.

"BALIK!" sentak Anin sambil memegang sepatu yang telah terlepas.

**

13:00.

Bel pulang telah berbunyi nyaring di setiap kelas. Semua berhamburan keluar kecuali kelas dua belas yang masih harus mengikuti bimbel sampai pukul 16:00. Anin dan Listya berjalan melewati siswa-siswi lain. Melambaikan tangan pada mereka yang dikenal.

"Hati-hati, Pras!" Listya berpesan dan tersenyum lebar pada laki-laki bernama Pras, salah satu murid kelas IPA yang terkenal pelit saat ulangan. Begitu ambisius. Namun, tidak separah orang-orang di tempat les yang pernah Listya singahi.

"Gak capek apa dadah-dadah mulu?" Anin di sampingnya bertanya heran. Dibalas gelengan cepat. Listya acuh. Masih mengucapkan kata yang sama kepada banyak orang yang menyapanya.

Tin tin! Tin tin!

Suara klakson memecah pembicaraan sebagian siswa yang berkumpul di sisi kiri gerbang sekolah. Anin dan Listya yang berada di belakang mereka spontan berjalan lebih ke tepi dan memutuskan untuk berhenti. Mereka hampir berjingkat karena suara klakson yang begitu keras dan tak biasa. Setiap pasang mata yang tersulut emosi langsung melemparkan tatapan laser pada pemilik motor yang berada di belakang kemudi. Tak terkecuali Anin.

"Kalo mau gosip jangan di depan gerbang! Di kuburan sana, sepi! Gak ngehalangin jalan!" pemilik motor itu berkata bebas. Siswi-siswi yang tadinya berada di tempat kini beranjak setelah mendengar kalimat yang cukup menusuk hati. Mereka memilih diam saat tahu siapa laki-laki yang begitu jahilnya memencet klakson banyak kali.

"Heh!" satu pukulan keras mendarat indah di kepala bagian belakangnya. Membuat laki-laki di atas motor itu hampir tersungkur jika tidak menahan diri. "Lo kira ini pasar main bel aja?! Kalo ada yang jantungan terus mati gimana?!"

"Heh, Ninin!" Tazki berteriak. Memegang kepala belakang yang tertutup helm dan masih menyalurkan rasa nyeri. "Nyokap gue gak pernah mukul kepala kayak lo, ya! Emang lo pernah ngasih makan gue sampe berani mukul kepala?! Bantu Nyokap lahiran aja kagak!"

"Heh, Tarzan! Gue kan, seumuran sama lo! Mana bisa gue bantuin nyokap lo lahiran?"

"Berarti gak ikut bantuin, kan? Ya udah, jangan mukul-mukul kepala orang!"

"Kok lo makin nyolot, sih?!"

"Lo yang mulai duluan!"

"Lo yang mulai!"

"Lo yang resek!"

"Lo yang─"

"Aaaaaaaaaaaahh! Udah!" Listya mengeluarkan jurus ampuh saat berdebatan antara dua sahabatnya ini semakin panjang. Dua bibir yang tadinya mengeluarkan kata-kata kasar itu akhirnya terkatup rapat. Mata keduanya beralih ke arah gadis dengan dada yang naik-turun. "Listya pengen p*p! Pengen cepet pulang!"

Tazki menyerahkan helm cokelat secepat kilat. Buru-buru ia menyalakan mesin motor.

"Duluan ya, Nin." Senyum Listya begitu polos saat berhasil menduduki jok motor Tazki dengan nyaman.

Sedetik kemudian, motor yang ditumpanginya bergerak cepat melewati Anin yang tercengang dan siap memecah padatnya Jakarta karena panggilan alam yang harus segera dituntaskan.

**

"Fatur!" seorang siswi berkacamata menghampiri dengan map plastik warna biru muda di tangan.

Laki-laki yang baru saja menyelesaikan shalat dzuhur dan bersiap mengenakan kaoskaki itu tertoleh saat namanya dipanggil dari jarak lima meter.

"Ini latihan soal olimpiade kimia dari Bu Firly. Minggu depan harus dikumpulin buat diperiksa." ujarnya sambil menyerahkan map yang ada di tangan.

Fatur membuka map dan melihat ke dalam. Berlembar-lembar soal sesuai materi ditatapnya datar. "Semua?"

"Iya."

"Oke, deh." map itu kembali ditutup. Diletakkan di samping. Meraih kaoskaki yang belum selesai terpasang di kaki. "Thanks."

Siswi tersebut mengangguk. Membenarkan kacamata. Membalikkan badan dan hendak kembali ke kelas.

"Eh, Tur." tiba-tiba langkahnya tertahan. Beberapa helai rambut yang keluar dari lingkaran kuncir dan jatuh di samping kepala itu disisir ke belakang. "Semangat, ya.

Laki-laki itu menghentikan pergerakan. Melihat sejenak ke arah Dinda─salah satu siswi yang juga mengikuti olimpiade kimia tingkat nasional seperti dirinya. Kemudian kepalanya mengangguk dengan ekspresi yang sama.

Dinda menarik ujung bibir malu-malu. Membentuk kesan manis di wajah putihnya yang bersih. Beranjak kembali ke kelas. Memainkan dasi yang dilingkarkan di jari telunjuk dengan asal.

**

Tazki menginjak rem kaki saat berada di depan rumah berpagar hitam setinggi 1.5 meter. Helm di kepala dilepaskan. Gadis yang berada di belakang seketika turun dan melakukan hal yang sama seperti dirinya.

"Kayaknya Tante gak ada di rumah, deh." Listya menyerahkan benda yang ia pinjam ke pemilik asli.

Tazki turun dari motor. Mendorong kendaraannya masuk ke dalam. "Ya udah, ke rumah gue aja. Mumpung belum diberesin. Sekalian bantu-bantu."

Tangan Listya otomatis terangkat dan melayangkan satu pukulan penuh ke permukaan kepala sahabatnya itu. Dibalas tatapan lebar oleh Tazki.

"SAKIT!" desisnya.

Senyum khas gadis itu terbit. Dua matanya membentuk lengkungan garis. Membuat siapa saja yang melihat hatinya terkoyak karena gemas. Termasuk Tazki.

"Listya ke rumahnya Tazki sampe Tante Tita pulang, ya?"

"Gak."

Lidah Listya bercedak. Tubuhnya mengekor di belakang Tazki.

"Iya deh Listya bersihin rumahnya Tazki. Tapi Listia bolehin di sini."

Laki-laki beserta motornya telah sampai di bagasi. Dia menjagrak motor dan menggantungkan helm di tempat yang telah tersedia. "Yakin?"

Listya mengangguk mantap dari belakang.

"Lo harus nyapu, ngepel, cuci piring, cuci baju, jemur baju, bersihin kandang Mintil, setrika, kasih makan Mintil, bersihin kamar gue, sama ngecat pager." tatap Tazki sungguh-sungguh. Menunggu reaksi dari gadis di depannya.

Lagi-lagi Listya tersenyum lebar. Kembali menunjukkan eye-smilenya. "Cuma itu? Oke, Listia sanggup kok."

"ARGHHH!" Tazki menjambak rambutnya sendiri. Frustasi melihat tingkah polos Listya. Berjalan cepat menuju kamar sambil terus memegang rambutnya kuat.

"Udah lo duduk aja. Gue tadi bercandaan. Mau minum apa?" Tazki melepas tas ke arah bangku belajar sesampainya di kamar.

"Cokelat panas, dong, satu."

"Iya. Apalagi, Mbak?"

"Martabak keju ada gak?"

"Gak tau diri banget lo." Untung sayang, lanjutnya dalam hati.

Listya tertawa ringan. "Itu aja satu."

"Oke. Wait." Tazki berjalan keluar kamar. Seragamnya masih melekat. Belum lima detik ia meninggalkan Listya, langkah cepat laki-laki itu kembali hadir. Kepalanya menengok ke arah sofa depan komputer. Alat musik petik yang bertengger langsung diraih dan dibawa keluar kamar tanpa memperdulikan tatapan bingung Listya.

"Sorry, sisa semalem. Males masukin lemari." ucap laki-laki itu dari ambang pintu. Kepalanya saja yang nampak. Raut wajahnya ketar-ketir menunggu jawaban dari gadis yang berada di jarak lima meter dari tempat ia berdiri.

Listya tersenyum lembut. Tersadar dengan maksud Tazki. Kepalanya mengangguk paham. Di atas ranjang milik Tazki, Listia mengayunkan kaki sambil menatap kaoskaki putih yang ia pakai. Menyembunyikan rasa bersalah sekaligus trauma yang ada di kepala. Hampir sepuluh tahun, dan bayangan itu masih setia di belakangnya.

"Lis?" panggil Tazki ragu. Tubuhnya tak beranjak. Menatap Listya cemas.

Satu tawa kecil tiba-tiba mengejutkan indera pendengaran Tazki. Satu alisnya terangkat karena bingung. Hingga mata gadis yang bersamanya saat ini bertemu pandang dengan matanya, rasa cemas yang ada di hati menguap begitu saja.

"Gak pa-pa kok." deretan gigi putihnya ditunjukkan. "Udah sana siapin cokelat panasnya! Listya haus. Hus hus!"

"Anjir," gumam Tazki kesal saat melihat tangan Listya yang terkibas, menyuruhnya untuk keluar. Dirinya melengos. Keluar dari kamar sambil berdecak. "Kamar siapa, yang diusir siapa.... untung sayang."

"TAZKI NGOMONG APA?!"

"ADA P*PNYA MINTIL DI ATAS MEJA!!!"