Chereads / Listya Milik Tazki / Chapter 3 - Bab 2 | Dia

Chapter 3 - Bab 2 | Dia

Listya menguap lebar saat berada di depan pintu rumah Tazki. Tubuhnya masih terbalut seragam. Punggungnya masih menggantung tas. Berbeda dengan Tazki yang telah mengganti pakaiannya menjadi lebih santai. Kaos hitam dan celana pendek bahan kain warna putih.

"Beneran gak nginep sini?"

Gadis itu menggeleng lemah. Sibuk mengusap mata yang berair karena rasa kantuk.

"Nginep sini aja gak pa-pa. Gue gak bakal ngapa-ngapain lo kok. Tenang aja."

"Bukan gitu." Listya menguap lagi. "Kalo Tante nyariin gimana?"

"Halah. Pasti dia tahu kalo lo nginep di rumah gue. Secara temen lo di komplek ini cuma gue doang."

"Enggak deh. Listya gak mau bikin Tante khawatir. Listia harus bukain pintu buat Tante."

Tazki menghela nafas satu kali. "Lo tidur sini. Gue aja yang nungguin mobil Tante Tita dateng. Nanti gue bilangin kalo ponakannya tidur di sini."

"Jangan. Nanti Tazki begadang. Kasian."

"Hadeh! Tinggal tidur aja sih!"

"Gak! Listya pulang! Bye!" kaki gadis itu menuruni tangga dengan cepat dan lincah. Melupakan rasa kantuk yang menghinggapi. Sesampainya di depan pagar rumahnya sendiri, Listya melambaikan tangan ke arah Tazki yang masih berdiri di tempat yang sama. Tak peduli rasa cemas yang ada di hati laki-laki itu.

Bibir Listya bergerak pelan. Tidak menimbulkan suara apapun mengingat rumah-rumah di sekitar telah menutup jendela. Memberikan pesan selamat malam pada Tazki. Lantas, masuk ke dalam rumah.

Tazki mendesah sambil melipat tangan di depan dada. Menggeleng pelan melihat Listya yang berjalan masuk. Bibirnya mengeluarkan tawa kecil. Ia menggaruk leher bagian belakang.

Tazki berbalik. Menutup pintu rumah saat gadis yang ada di seberang jalan sana menghilang dari hadapan. Buru-buru melangkah ke dalam kamar.

Message from: tazki susu bendera

Good night, too Lilisku:*

Bego, batin Listya di balik pintu kamar sambil menahan senyum geli saat membuka satu pesan yang baru saja sampai.

**

Fatur mengusap wajah kasar. Sesekali kepalanya dipijit untuk mengurangi pening di tengah-tengah aktivitas rutinnya setiap malam. Di atas meja, terdapat soal-soal yang telah terisi dengan berbagai rumus di setiap bagiannya. Tidak ada warna putih yang tersisa selain coretan merah atau hitam sebagai hasil dari kinerja otaknya selama hampir tiga jam.

Jendelanya dibiarkan terbuka. Mempersilahkan angin malam yang dingin menyapa kulit yang terlapis kaos putih lengan pendek serta celana pendek bahan kain yang biasa ia pakai. Kalkulator, ponsel, serta alunan lagu bergenre rock masih menyala-nyala sampai dirinya benar-benar lelah.

Tiga ketukan dari arah luar membuat Fatur mau tidak mau harus mengangkat kepala dan beranjak membukakan pintu.

"Lagunya dimatiin dong, Tur. Udah malem." dua kalimat itu langsung terlontar sesaat setelah ia berhasil membukakan pintu untuk wanita cantik yang tak lain adalah ibunya. Nampan yang di atasnya terdapat susu putih hangat serta roti keju diletakkan di satu tempat dengan berbagai macam kertas yang belum selesai ia kerjakan. Di antara seratus soal pilihan ganda, hanya ada enam yang masih belum terisi.

Mata Halida tak sengaja tertuju pada soal-soal di atas meja. Menatap benda itu sejenak. Lantas, mengeluarkan nafas perlahan.

"Masih belum selesai?"

"Belum. Kurang enam soal." Fatur duduk di atas ranjang sambil memainkan fidgetty spinner warna hitam dan putih yang baru ia beli beberapa hari lalu.

Halida menghampiri anak laki-lakinya itu dan ikut terduduk di atas ranjang. Tangannya mengusap rambut hitam yang mulai panjang dengan begitu lembut. "Dilanjutin besok aja ya, Tur? Kamu sekarang tidur."

"Nanggung. Tinggal dikit." jawabnya tanpa melihat ke arah ibunya yang berada di samping. Ia menggerakkan tubuh ke arah yang berlawanan. Menghindari tangan Halida yang masih bertengger di rambut hitam legamnya. "Jangan diginiin, ah. Fatur udah gede."

Halida sedikit terhenyak. Kemudian ia tertawa. "Dulu padahal kalo ke pasar malem takut banget ditinggal Ibu sampe nangis-nangis. Sekarang kalo rambutnya disentuh aja gak mau."

"Itu kan dulu, Bu. Waktu masih bocah." Fatur mendengus. Menyisir rambutnya ke belakang.

Satu helaan panjang keluar melalui hidung Halida. Ia memutuskan untuk beranjak saat mendengar suara tangis dari kamar lain yang tak jauh dari kamar Fatur.

"Jangan tidur di atas jam 12. Kalo kamu gak tidur, Ibu suruh kamu jagain Fadel."

"Ogah banget." tolak Fatur cepat dan berjalan ke arah meja belajar yang beberapa menit lalu ia tinggalkan.

Halida yang telah berdiri di ujung pintu kamar lantas kembali menolehkan kepala ke dalam. "Besok kan hari jum'at, kita ziarah ke makam ayah kamu ya, habis jum'atan?"

Fatur terduduk. Menggenggam pena warna merah. Membolak-balikkan kertas, mencari soal-soal yang belum ia kerjakan.

"Tur?"

"Iya, iya."

**

Sepuluh menit lagi bel masuk akan berbunyi nyaring di setiap penjuru kelas. Sekolah terlihat semakin penuh. Siswa-siswi berlalu lalang dari berbagai arah. Listya berjalan dengan langkah gontai semenjak kedua kakinya berada depan sekolah. Wajahnya begitu lesu sambil menguap beberapa kali saat melewati lapangan basket.

"Ikut gue!" Anin menarik tangannya kasar saat dirinya berada tepat di depan kelas mereka.

Listya tak bisa mengelak. Dua mata lebarnya semakin terbuka. Kakinya terseret-seret mengikuti langkah Anin yang berjalan menuju kamar mandi perempuan. Bibirnya ikut terbuka. Hendak melayangkan protes namun aura gelap dapat ia rasakan di balik punggung sahabatnya itu.

Keduanya masuk ke dalam salah satu kamar mandi khusus perempuan. Anin buru-buru mengunci salah satu pintu kamar mandi yang berada di paling ujung. Menghindari telinga-telinga jahil yang sengaja ataupun tidak mendengar pembicaraan antara mereka.

"Apaan sih, Nin?!" Listya memberengut. Suaranya tak besar.

"Lo ngirim surat lagi buat Fatur?" desis Anin sambil menahan geram.

Mata Listya bergerak ke kanan dan ke kiri. Nyalinya ciut saat pertanyaan itu dilontarkan oleh Anin. "Emang kenapa?"

"BEGO!" sentak Anin kemudian. "Anak-anak kelas tiga heboh banget nemu surat di kolong mejanya Fatur!"

"Tapi gak ada nama Listya kok di sana," jawab Listya enteng sambil membenarkan posisi tas warna cokelat di punggung.

"Astaga Listya," keluh Anin tak habis pikir. "Kalo mereka tau ternyata lo yang nulis gimana?"

"Tenang aja," tangan mungil Listya menepuk pundak Anin dua kali. "Gak bakal ada yang tau kok. Selama ini kan, Listia kalo nulis surat buat Kak Fatur gak ada nama Listyanya."

"Gue gak ngomongin ada nama lo apa enggak. Gue tanya kalo misalnya mereka tiba-tiba tau lo yang nulis gimana?"

"Jangan bilang gitu, dong!"

"Gue udah bilang dari dulu jangan ngirim surat lagi ke dia. Kalo ketauan, lo yang malu, Lis." kedua alis Anin bertaut. Menatap lembut ke dalam mata Listya.

Listya menunduk. Kaki kanannya bergerak gelisah. "Gak bakal ketauan kok." ujarnya lemah.

Mata Anin lantas tertutup. Ia mengatur napas secara perlahan, menahan amarah. "Terserah lo deh!" ucapnya menyerah sambil membuka pintu kamar mandi dengan kasar. Kakinya bergerak cepat meninggalkan Listya di tempat yang sama. Ada perasaan sakit saat sahabatnya itu masih kekeh dengan pendiriannya yang tak masuk akal. Anin sayang Listya. Anin tak ingin Listia merasakan apa yang dinamakan 'malu' suatu hari nanti.

Anin masih berjalan. Baru sepuluh langkah ia ambil, tubuhnya terdorong ke belakang dari arah yang berlawanan.

"Kalo jalan liat-liat, dong!" cercah Anin dengan tak sabar tanpa melihat siapa yang ada di hadapannya.

"Lo naksir gue? Cari masalah mulu tiap ketemu."

Gadis itu tak nampak terkejut dengan sosok laki-laki tinggi nan tak asing yang berada tepat di depan. Kedua matanya menatap sinis sosok itu sambil mengibaskan seragam bagian atas seolah-olah seragamnya baru saja terkena benda kotor. "Najis!"

"Dih!" laki-laki itu membuang muka. Tangannya dimasukkan ke saku celana. "Sok suci lo."

"Emang gue suci."

"Mana temen lo? Dia belum sampe?" Tazki bertanya tanpa ingin memulai perang dingin chapter sekian bersama Anin.

"Di dalem noh." tunjuk Anin dengan dagu ke arah kamar mandi perempuan.

"Ngapain?"

"Kepo aja lo, Tarzan!" Anin menjawab pertanyaan Tazki begitu ketus dan kembali berjalan menuju kelas.

Tazki yang melihat pergerakan musuh bebuyutannya sejak duduk di bangku kelas 10 itu dengan tiba-tiba menahan pergelangan tangan mungil gadis di hadapannya.

Mata Anin sontak melebar. Melihat ke arah tangan yang masih digenggam dan Tazki secara bergantian.

"Mau ke mana?" suara Tazki begitu datar. Tak menghirauan tatapan laser yang Anin lemparkan.

"Apaan, sih?!" bibir gadis itu berdesis bersamaan dengan tangannya yang dilepaskan secara paksa oleh dirinya sendiri. Matanya memicing. Amarahnya tergambar dari kerutan di dahi yang saling bertaut.

Tanpa banyak bicara lagi, Anin kembali berjalan membelakangi Tazki yang menatapnya bingung dari belakang.