***
Sama sekali tak pernah terpikir suatu hari nanti aku yang cantik jelita ini akan menikah dengan pria yang entah siapa. Bisa dibilang aku dijodohkan orangtua.
Bagi kalian mungkin ini klise. Hidupku memang bak sinetron yang selalu Mama tonton sampai lupa waktu, Papa selingkuh pun Mama tak tahu saking asyiknya melihat perselingkuhan suami si protagonis dalam layar tv.
Sudahlah, kenapa bahas Mama dan Papa? Mama dan Papa orang lain pula yang aku omongin.
Alhamdulillah orangtuaku tak pernah seperti Mama Papa yang kusebut di atas, Ayah dan Bundaku masih harmonis sampai sekarang.
Hari ini adalah hari pertunanganku dan pria itu. Degdegan juga hatiku. Yaiyalah kalau tak berdetak degdegdeg ya aku mati lah kan.
"Aliiiiii!" teriakan Rifka mengagetkanku dari lamunan.
"Allahu! Woy RIFKA! Kenapa kau mengagetkanku hah? Lihat jadi luntur nol koma nol sejuta kali satu persen kecantikanku. Dan satu lagi, kenapa kau masih saja memanggilku Ali ish?" Aku mendengus kesal. Kalau gak Ali dia akan memanggilku 'alien'. Memang menyebalkan sekali orang ini.
"Amboi! Nyerocos aja terus kayak mulut tetangga. Emak kau manggil, katanya calon mertuamu dah datang tuh. Mereka mau bertemu denganmu dulu."
"Hah? Mau ngapain?"
"Ya mau pasang cincin buat kau lah sholehah, masa mau lamar emakmu!" kata Rifka terlihat kesal. "Cepat kita temui mereka!"
"Ish aku malu lah! Kau saja yang wakilkan!"
"Coyyy!" Rifka menoyor kepalaku. "Bisa perang dunia aku dengan My Boo, ya meskipun dalam hati besarku ini aku mau juga berlaki dua."
"Cih! Yealah ayo kita pergi!" kataku lalu berdiri hendak keluar. "Bismillah!" ucapku sebelum melangkah keluar dari kamar.
***
"Ih gak mau lah aku sama dia!" rengekku saat sedang di dapur menyiapkan hidangan untuk keluarga calon suami.
Baru saja acara pertunangan dilakukan. Demi apa aku tak mau menikah dengan pria itu! Rupa memang sedap dipandang, tapi dia musuh bebuyutanku di taman kanakkanak. Aku tak mau. Sejak dia menarik kuncir kudaku dulu, aku sudah menaruh benci padanya.
"Kenapa sih, Li?" tanya Rifka.
"Kau masih tanya kenapa? Kau tahu kan aku tak pernah sebulu dengan si Rafa itu. Bisa huru hara rumah tanggaku nanti."
Aku lihat Rifka hanya menatapku sambil menyipitkan mata. Lah kenapa dia? Kerasukan penunggu dapur atau apa? Seram sekali tatapannya.
"Menjelaskan padamu pun percuma!" ucapnya lalu pergi.
Lah? Aneh!
Uhh! Kesal!
"Aku tak mau menikah dengan Rafa!"
"Kau pikir aku mau?"
What? Itu suara Rafa! Ish kenapa dia datang ke dapur sih?
Aku menoleh menatap Rafa penuh provokasi. Dia hanya bersandar di dekat pintu masuk dapur dengan melingkarkan tangan di dada. Sok ganteng sekali. Tapi memang ganteng. Uhh tapi aku tak mau mengakui.
"Batalkan sajalah perjodohan ini. Ini bukan cerita sinetron atau novel yang di mana benci akan jadi cinta. Jangan harap kisah kita akan berakhir romantis seperti itu. Sampai kapanpun kita tak akan pernah seia sekata!" ucapku to the point.
"Tak mau!" jawab Rafa pendek.
"Kau kan tak mau menikah denganku juga. Kenapa tak mau batalkan? Sengaja kan kau mau menghancurkan hidupku!"
Bisa kutebak pikiran jahatnya, Rafa itu tak pernah suka melihatku bahagia.
"Penuh prasangka buruk sekali pikiranmu itu. Ckckck!"
"Whatever!" kataku membalikan badan memunggunginya. "Bi Sitiiii! Bantu aku antar makanan ke depan!" teriakku pada asisten rumah tangga di rumah.
"Iya Non!" jawab Bi Siti yang dengan cepat masuk dari arah halaman belakang.
Saat membawa makanan bisa kulihat Bi Siti senyum mesam mesem pada si Rafa. Dih! Bibi, itu calon suamiku oyy! Eh enggak enggak enggak, aku tak mau mengakui. Sampai kucing tetangga mati pun aku tak mau. Aish kenapa aku menyumpahi makhluk Allah satu itu. Ini semua garagara Rafa!
***
Ladadiladadidaaa~
Ponselku berdering. Dengan malas aku gapai.
'Selamat malam calon istri!'
Dih! Aku menaruh kembali ponsel setelah membaca chat itu. Nomor si Rafa sudah aku blacklist dan sekarang dia menggunakan nomor baru untuk mengirimiku pesan seperti ini. Dasar!
Aku memejamkan mata mengantuk. Lelah seharian melayan tamu.
***
Keesokan paginya aku dibangunkan suara nyaring Bunda. Mengantuk sekali aku. Tak mau bangun!
Aku kembali mengeratkan selimut.
"Edrea Aileen Binti Muhammad Husein!"
Mampus! Emakku sudah berteriak manggil nama bapakku.
"Iya Bunda! Lea bangun nih!" teriakku agar Bunda diam.
Aku duduk di kasur sambil mengucekngucek mata. Dengan mamai aku melangkah turun membuka pintu. Kalau tak dibuka, alamat ngamuk lah emakku itu.
Setelah membiarkan pintu terbuka lebar, aku pergi ke kamar mandi. Di kamar mandi aku tidur lagi. Bunda tak akan tahu.
Well, aku memang pintar. Hoamzzz!
***
"Lea, nanti pulang dari kampus kamu akan dijemput mertuamu. Katanya mau ajak kamu membeli barang hantaran," kata Bunda saat kami sedang sarapan.
"Dengan Rafa juga?" tanyaku malas.
"Mungkin."
"Semoga saja dia tak ikut! Mood belanjaku nanti hilang."
"Lah bukannya bagus Rafa ikut? Kalian sudah kenal lama juga kan? Kamu itu harus akur dengan Rafa. Jangan bertengkar terus!"
Sudah tahu kami tak pernah akur kenapa masih dijodohkan?
***
Selama pelajaran aku tak konsentrasi. Benarkah keputusan ini? Apa aku bisa akur dengan Rafa annoying itu nanti? Bagaimana nasib rumah tanggaku?
"Woy Ali! Mau pulang bareng gak?" tanya Rifka.
Aku menggeleng, "Kau duluan saja! Aku dijemput orang."
"Siapa? Calon suamimu kah?"
"Hmm!" jawabku malas.
"Yasudah kalau gitu aku duluan ya. Papay Ali!"
"Papay!" kataku melihat Rifka masuk ke mobil pacarnya.
Tak lama kemudian sebuah mobil berhenti di depanku. Seperti mobilnya Rafa. Karena panas berdiri di pinggir jalan aku pun langsung masuk ke dalam mobil.
"Lama sekali!" kataku kesal sambil memasang sabuk pengaman. Saat menoleh aku terkejut. Emak! Dia bukan Rafa. Kata calon mertuaku tadi katanya akan dijemput Rafa. Apa aku salah?
"Sorry, salah naik mobil!" ucapku malu lalu segera keluar dari mobilnya.
Aku berjalan sedikit menjauh. Malu gilaaaaa! Uhhhh hatimu mana hatimu. Aku mau ngumpet saja di hatimu.
Aku berdiri menunggu Rafa lagi. Dan kulihat pria dalam mobil tadi keluar.
Sepertinya dia menunggu seseorang juga karena dia tak masuk ke dalam kampus.
Dia duduk di belakang mobil sambil memasukkan tangan ke saku. Kenapa keren sekali? Gusti! Aku tunangan orang.
Pria itu menatapku terus. Aku jadi tak sabar menunggu Rafa datang. Untuk pertama kalinya dalam hidup aku berharap Rafa segera muncul di hadapanku.
Pria itu kenapa tak mengalihkan pandangan? Tertarik padaku kah? Aku paling lemah kalau dilihat pria tampan seperti itu.
Please Abang, jangan melihatku lagi!
Aku melirik sedikit. Pria itu masih menatap ke arahku.
Tibatiba dia menyeringai kecil lalu bangun dan berjalan ke arahku. Yaa Tuhan! Ke arahku? Serius?
"Edrea Aileen, ayo masuk mobil!" ucapnya lalu berbalik berjalan kembali ke mobil setelah mengatakan itu.
Wait! Dia bilang apa tadi? Dia tahu namaku? Apa dia suruhan emak mertuaku?
Setelah pulih dari linglung aku pun berjalan masuk ke mobilnya. Lagipula memang benar ini mobil yang selalu Rafa pakai. Dan pasti orang ini suruhan keluarganya Rafa.
"Kenapa tadi keluar lagi?" tanyanya setelah aku di dalam mobil.
Lah kalau dia tahu aku harusnya dia melarangku keluar kan? Kenapa pula setelah itu dia malah diam memandangiku sambil duduk di atas mobil tadi?
"Abang siapa?" tanyaku blur.
"Keefa!" jawabnya.
Keefa? Siapa Keefa?
"Mama menyuruh saya menjemput kamu," ucapnya lagi setelah melihatku terdiam.
"Mama?"
"Calon mertua kamu!" tegasnya lalu mulai menyalakan mobil.
"Abang ini Abangnya Rafa kah?" tanyaku lagi.
Dia mengangguk.
Hoalah pantes!
"Kenapa Rafa tak jadi menjemputku?" tanyaku lagi.
Entah Keefa tak dengar atau malas menjawab, pertanyaanku itu malah dibalas sepi.
***
Aku dan Keefa sudah sampai di mall. Kami akan membeli barang hantaran. Karena Mamanya belum datang, jadi aku dan Keefa disuruh membeli barang duluan.
Kami sedang di toko sepatu sekarang. Aku sengaja mau pilih barang yang mahal. Rasakan Rafa! Kukuras habis uangmu.
"Abang tak keberatan kan aku menguras habis isi dompet adikmu itu? Tahu gak, selama ini Rafa selalu saja membullyku. Aku mau balas dendam dengan membeli barang hantaran yang mahal. Gak kebayang terkejutnya dia nanti. Hahah!" kataku sambil menyerahkan belanjaan biar dipegang Abangnya Rafa. Selain calon istri durhaka, aku juga jadi adik ipar durhaka sekarang. Ah bodo amat!
"Beli saja apa yang ingin kamu beli," ucapnya.
Oh iya, selain beli barangku kami juga sekalian beli barang buat Rafa.
"Rafa suka warna hitam atau biru?" tanyaku saat sedang memilih sepatu.
"Biru!"
"Baiklah kita beli yang hitam saja kalau begitu. Hahah!" Aku sangat senang hari ini.
Cukup lama juga kami berkeliling dan Mama belum datang juga.
Rafa tak suka ini, Rafa tak suka itu. Dari tadi Abangnya Rafa ini supporting sekali. Dia tahu aku akan membeli barang yang tak disukai Rafa. Sebelum aku bertanya dia dengan baik hati akan memberitahu.
"Btw, cincin kamu mana?" tanya Keefa. Saat ini kami sedang istirahat di kafe.
Aku melirik jariku. Aku memang sengaja melepas cincin pertunangan kemarin.
"Aku pakai di sini!" jawabku sambil memperlihatkan kalung berisi cincin pertunangan.
"Kenapa pakai di leher?" tanyanya lagi. "Masih tak menerima sudah menjadi tunangan orang?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Cincinnya kesempitan lah! Memang tak bisa diandalkan sekali calon suamiku itu. Memilih cincin pun salah," kataku geram.
Keefa tersenyum lalu berdiri dan menundukkan kepala ke arahku. Wajahnya dekat sekali dengan wajahku. Dia kenapa?
"Lain kali saya akan memilih dengan benar!" ucapnya sambil tersenyum.
Aku mematung. Apa yang baru dia katakan? Lain kali? Memilih dengan benar? Apa dia yang membeli cincin pertunanganku? Tapi kenapa dia?
Tanpa diduga Keefa menarik lembut kalungku. Dia memegang cincin di kalung itu dan menunjukkannya padaku.
Apa maksudnya?
Aku memperhatikan cincin itu. Di dalamnya ada nama ... "Oh Gusti!" Aku menekup mulut.
"Itu saya!" ucapnya sambil mengelus kepalaku yang dilapik kerudung. "Ayo pulang!" ajaknya lalu membereskan belanjaan dan keluar dari kafe.
Aku ditinggalkan dalam keadaan terkejut. Calon suamiku Keefa? Bukan Rafa? Bundaaaaaaa!
***
Bersambung.