***
BRAK!
"Woy gila!" marahku saat Rifka menggebrak meja di depanku.
Hampir sprint jantung ini menyaingi kecepatan cheetah. Si Rifka ini pula suka sekali mengagetkanku. Apa dia tak punya hobby lain yang lebih berfaedah?
"Ali, aku sudah memanggilmu berkalikali dari tadi. Kau melamun sampai tak ingat sekeliling kenapa? Pikiranmu sedang traveling duduk di pelaminan dengan Rafa? Sudah tak sabar jadi Mrs.Rafa?"
Itu pertanyaan atau bakso depan kampus? Beranak. Aku harus jawab yang mana satu itu dah. Rifka kalau kepo mengalahi keingintahuan tetangga komplek.
Sebenarnya tadi aku sedang melamunkan Keefa. Masih tak percaya kalau pria itu calon suamiku. Aku sedang mengingat perlakuannya kemarin. Meski selama perjalanan pulang dia tak mengatakan apaapa, tapi perlakuannya jelas sangat baik. Dia membukakan pintu mobil, membantu menurunkan barang belanjaan, lalu ....
"Woy! Nah kan melamun lagi," ucap Rifka.
"Aku melamun bukan sembarang melamun. Aku sedang melamunkan masa depanku. Kau tahu tidak ka...."
"Tak!" potong Rifka cepat.
"Ish bisa gak kau biarkan aku selesai bicara dan tak memotong seperti itu?"
"Okayokay. Kau mau bicara apa hah?"
"Ternyata calon suamiku bukan Rafa, tapi Abangnya."
"What?" terlihat muka Rifka terkejut. Entah terkejut beneran atau dibuatbuat. Tapi tak lama kemudian anak itu tersenyum. Lah waras kah?
"Aku sudah tahu dah!" kata Rifka sambil menjelir lidah.
"Bagaimana kau tahu?" kali ini aku yang terkejut.
"Kan aku hadir saat pertunanganmu. Dengan jelas aku dengar orangtua si Rafa itu meminangmu untuk Abangnya."
"Kenapa kau tak bilang padaku?" kataku kesal sambil memukul pahanya.
"Kenapa aku harus bilang padamu? Yang bertunangan kan dirimu. Kau salah paham atau tidak tentang tunanganmu itu di luar kuasaku. Salahkan dirimu sendiri karena tak ambil peduli."
Aku menjelingnya tajam, "Aku curiga janganjangan kau itu sahabat tiriku. Kenapa kau jahat sekali padaku hah?"
"Edrea, Rifka!"
Tibatiba Dosen memanggil kami. Hah Dosen? Sejak kapan dia ada di depan kelas?
"Belum puas berbincang? Jika belum kalian boleh paparkan kembali teori yang minggu lalu kita bahas di depan teman kalian."
"Sudah puas Pak!" ucapku dan Rifka serentak sambil menganggukangguk kepala dengan cepat. Jangan sampai diblacklist dah, mana dosennya ingat nama kita pula.
***
Hari ini hanya ada satu mata kuliah saja. Jadi setelah kuliah pagi selesai aku sudah bisa pulang sebenarnya. Tapi aku yang berniat pulang dan rebahan di rumah ini tibatiba dicegat oleh seseorang.
"Lea, antar aku cepat!" ucap Vania tergesa.
"Antar kemana?"
"Club memanah kita mengundang tamu dari luar negeri. Kita harus menjemputnya ke Bandara. Aku gugup dan takut salah bicara nanti. Kau ikut aku boleh?" ucapnya.
"Memang anggota club yang lain kemana? Lagipula aku sudah lama keluar dari club juga."
Sebenarnya aku juga dulu tak mau keluar dari club. Hanya saja aku sempat sakit lama dan berbulanbulan tak pernah ikut kegiatan club. Jadi otomatis keluar lah aku.
"Itulah masalahnya! Mereka semua sibuk. Partner yang harusnya pergi denganku mendadak sakit perut."
Hadeuh mendadak diare pula.
"Ish yasudah lah okay. Naik mobilmu kan?" tanyaku. Bukan aku pelit tak mau meminjamkan mobilku. Hanya saja aku memang tak pernah membawa mobil pun ke kampus. Hahah!
"Uhh makasih Lea sayang!"
Vania memelukku erat sekali.
"Woy aku bukan balon kuning kelabu merahmuda atau biru yang bisa seenaknya kau pegang eraterat," keluhku.
"Iyaiya tahu. Kau balon hijau dah. Sering meledakledak."
"Sekali lagi kau mengataiku, kuurungkan niatku untuk mengantarmu," ancamku.
"Okayokay sorry! Ayo berangkat!"
Vania menggandengku menuju parkiran.
***
Wajahku benarbenar menghijau sekarang. Vania menyebalkan. Waktu tiba orang itu adalah sekitar pukul dua sore, dan dia malah mengajakku kesini awal sekali. Baru jam sebelas, masih ada tiga jam lagi. Apa yang harus kita lakukan? Menunggu? Buangbuang waktu saja.
"Ayo kita ke ruang tunggu dulu okay?" bujuk Vania yang tahu aku kesal.
"Kau duluan saja. Aku mau cari camilan. Gila aja tiga jam tanpa makanan," kataku lalu pergi menuju minimarket bandara.
Sambil berjalan aku melihat sekeliling, kanan kiri. Suasana bandara tak terlalu ramai, mungkin karena bukan musim liburan. Baguslah setidaknya telingaku yang cantik ini akan sedikit terhindar dari polusi suara. Terlalu banyak orang sangat bising, membuat telingaku berdengung.
Letak minimarket tak terlalu jauh. Tujuanku langsung ke tempat makanan. Aku kalap sih kalau sudah melihat snack berjejer. Mereka seperti merayuku untuk membeli semuanya. 'Lea beli aku! Makan aku!' Arghhh suara rayuan snack itu benarbenar membuatku lupa diri. Tanpa terasa keranjang belanjaanku dengan cepat penuh. Isinya ciki semua.
Saat akan membayar, Mas kasir sudah tersenyum padaku mungkin karena melihat belanjaanku yang banyak dan semuanya ciki saja. Wait, dia tak akan mengira aku punya anak kan karena membeli begitu banyak? Ah percaya diri sekali Lea. Sudah jelas dia tersenyum karena memang kerjanya harus terlihat ramah. Dia tersenyum bukan padamu saja oyy Lea.
"Masukkan ini juga!"
Botol minum muncul di meja kasir, saat aku menoleh ke belakang aku membelalakan mata. Abang calon suami! Kenapa dia ada di sini?
"Jadi berapa semuanya?" tanyanya pada mas kasir.
Dia membayar belanjaanku lalu keluar dari minimarket. Aku tentu saja mengikutinya karena belanjaanku dia bawa bersama.
"Kau membeli banyak makanan tak sehat begini tapi lupa membeli minum," ucapnya setelah kami di luar minimarket. Dia juga memberikan tas kresek berisi belanjaan tadi padaku.
"Sorry. Beneran lupa. Btw, makasih banyak."
"Hmm!" jawabnya singkat.
"Oh iya Abang sedang apa di sini?"
"Saya mau pergi ke Singapura, ada urusan pekerjaan," jawabnya.
"Oh!" aku tibatiba blur. "Berapa lama?" tanyaku lagi. Aisshhh dia tak akan menganggapku kepo kan?
"Belum tahu. Paling lama mungkin seminggu."
"Oh!"
Aku hanya bisa ohohoh saja dari tadi. Bingung juga harus bagaimana menanggapi si abang calon suami ini.
"Kamu bisa menyuruh saya membelikan apa yang kamu inginkan di sana. Saya akan membawakannya ketika pulang nanti," ucapnya.
"Hah?"
Aku tak paham. Maksudnya dia ingin membelikanku oleholeh? Kenapa belibet sekali ucapannya.
"Ada yang kamu inginkan?" tanyanya lagi.
"Tak usah repotrepot lah, Bang. Abang pulang dengan selamat saja aku sudah senang."
Dia tersenyum mendengar ucapanku. Eh apa yang kuucapkan barusan? Aisshhh kenapa aku bicara begitu? Arrghhh malu!
"Saya sudah harus berangkat. Saya pergi dulu," katanya lagi.
Kenapa dia terlihat aneh sekali? Eh telinganya merah. Apa dia malu juga? Hahah!
"Oh yasudah hatihati ya Abang!" kataku.
Dia mengangguk.
"Assalaamu'alaikum!"
"Wa'alaikumussalaam!" jawabku sambil melambaikan tangan.
Aku tersenyum sendiri melihat camilan di tangan. Nafkah pertama dari calon suami. Aiisshhh!
***
Bersambung.