Setelah beberapa minggu melatih skill masing-masing, menggunakan fasilitas ruang studio milik sekolah.**
"Gimana nih!? " Bimo mematikan peralatan untuk memulai percakapan.
"Gue sih hayuk aja!" ku menoleh kepada Ari dan Yudi, Mereka pun mengangguk setuju.
"Oke deh kalo begitu nanti bel pulang langsung ke lokasi, semua udah bawa baju ganti, kan!?" tegas Bimo,mungkin audisi berlangsung hingga malam.
Setelah mematikan serta merapikan peralatan, kembali ke kelas masing-masing menunggu waktu hingga jam pulang.
***
Suasana Cafe semakin malam semakin benderang, pengunjung terlihat menikmati makanan ditemani "live perform" salah satu band pendatang.
Manager Cafe tersebut yang bernama Mas Angga, kami memanggilnya. Adalah alumnus sekolah yang kini tengah kuliah dan bekerja di sini, datang menghampiri.
"Waah, hebat adik kelas gue yang sekarang!"
"Boss puas tuh, liat skill sama penampilan kalian," ucapnya senang. Lalu menyerahkan kertas kontrak untuk tampil rutin dengan beberapa syarat dan catatan. Kami pun telah membacanya serta menyetujui klausul yang ditawarkan, semuanya ter-akomodasikan.
Jadwal penampilan setiap sabtu atau akhir pekan, durasi tampil hanya satu jam. Yang terpenting tidak mengganggu pelajaran, kami pun mendapat penghasilan.
Tiba saatnya kami berpamitan. Mas Angga mempersiapkan, serta memberikan tips saat kami audisi langsung dalam pertunjukan.
"Bagi rata ya?
Pesan mas Angga lalu memberikan empat lembar, " Ini sekedar tambahan, anggap aja ganti ongkos sama makan," sambil mengantar kami hingga pelataran parkir.
Sudah jam sebelas malam, Bimo melirik jam di tangannya.
"Sen, jadi kan ikut gw nginep," ucap bimo.
Memang, yang terjauh rumahnya hanya aku, Ari dan Yudi pun hanya lima menit waktu yang di tempuh untuk pulang.
Setelah saling berpamitan, mengikuti Bimo dari belakang kendaraan.
Berbelok memasuki sebuah Apartemen yang sepertinya sering kupandangi setiap hari saat pulang.
Memasuki lobby serta menaiki lift menuju lantai tiga. Bimo mengetuk lalu membuka pintu yang bertuliskan 510 yang artinya Unit lantai lima nomer sepuluh.
Masuk bergantian dan...,
"Hai Senja?!" sapa seseorang dari belakang
"Jingga?" ucapku
"Siapa lagi, emang?" sambil tersenyum.
"Dia emang tinggal disini, Sen!" Bimo menjelaskan lalu menerangan keluarganya tinggal di apartemen ini serta memiliki beberapa unit untuk disewakan. Salah satunya tempat ini.
"Bapak sama Ibu di mana Kak?" tanya Bimo kepada Jingga yang sedang membuka kulkas.
"Kan di lantai empat," jawabnya singkat.
"Sen, di tinggal sebentar ya?, gue mau beli makanan dulu, ga enak tidur kalo kurang kenyang nih perut." ucap Bimo sembari memberikan "master key" padaku.
Sesaat setelah Bimo menutup pintu, aku beranjak menghampiri Jingga yang sedang menonton serial, pada salah satu stasiun tivi.
Menanyakan fungsi dari benda di tanganku, "Kak Jingga, ini maksudnya seperti apa?" meminta keterangan darinya.
"Masih panggil Kak sih!?" goda Jingga lantas menjelaskan bahwa master key adalah kunci elektronik yang hanya dimiliki oleh pemilik Unit, yang dapat membuka beberapa pintu hanya dengan satu kartu.
Terdapat pula jumlah pintu berdasar kode tertentu seperti pada kartu yang di pegangnya tertera angka dua belas.
"penghuni unit yang ini, baru saja berakhir kontrak, rata-rata tidak dilanjutkan karena Visa kerja juga sudah hampir kadaluarsa dan kembali ke Negaranya," rupanya semua pengontraknya warga negara asing kini aku mulai paham.
Bimo masuk sambil tangannya menjinjing tas kertas, sebuah Burger tampaknya.
" Nih..., lumayan buat ganjel", menaruhnya di atas meja, mengambil satu lalu melahapnya.
"Gue nanti ajadeh..., mau bersih-bersih, ganti baju dulu," ucapku sambil beranjak menuju kamar mandi. Jingga tampak ikut bangkit dan mengambil makanan sambil berkata, "Kalo gitu sekalian deh, kembali ke unit dulu," sambil mengambil master key miliknya yang berkode 402",rupanya lantai yang berbeda," pikirku.
"Jingga memang sudah semester berapa Bim?" tanyaku sembari melahap burger,lantas mendengarkan keterangannya.
Bimo menerangkan, jika Jingga adalah anak pertama dari dua bersaudara yang jaraknya jauh dari segi usia, Jingga 18 tahun sedangkan adiknya masih 6 tahun. Kedua orang tuanya menyewakan serta mengelola setelah membeli beberapa unit semenjak Apartemen ini di bangun. Menjual rumah karena terkena proyek pengembangan kota yang ternyata hasilnya cukup untuk mendapatkan beberapa unit sebagai modal usaha penyewaan. Dua unit di lantai empat untuk mereka huni dan sisanya di lantai ini.
Tanpa sadar aku menguap, mungkin karena lelah atau habis makan jadi mengantuk.
"Eh, sen?"
"Ngga apa kan lo sendiri?
Gue di unit 504 yang ada streamingnya, nanti kan ada pertandingan bola, lonontonngga?" tanya Bimo sambil tangannya membuka laci berisi kartu elektronik.
"Ga taudeh, tergantung mata," balas ku kembali menguap dan membiarkan Bimo pergi meninggalkanku sendiri mempersiapkan kasur lipat di bawah televisi yang menyala dan rebahkan tubuh yang terasa lelah.
*****
Mataku terbuka saat kulihat televisi masih menyala," Baru pukul dua", Sesuatu yang aneh kurasa ini penyebab hingga aku terbangun, adalah rasa hangat di punggung.ku menoleh kaget mendapati Jingga tengah memelukku dari belakang sambil matanya tetap menonton televisi.
"Kata Bimo kamu suka nonton bola, tadi tanya dia," sambil tersenyum menyematkan dagu padaku. "Bimo malah udah pules tuh, ya sudah, aku langsung kesini aja nemenin kamu" tambahnya.
Ku bangkit untuk duduk serta berbalik arah menghadapnya.
Ku perhatikan Jingga rupanya telah mengganti pakaian yang tadi di kenakan dengan piyama. Lalu beralih menonton televisi yang sepertinya pertandingan sepak bola akan di mulai.
"memangnya kak Jingga ngga di cari nanti?" tanya ku kemudian.
"nggak! lagian juga, Di lantai bawah kan aku sudah terpisah tinggal di unitku sendiri" terang Jingga, lalu,
"Kan dah dibilang jangan pake Kak!", tiba-tiba !!!
Jingga memposisikan tubuhnya dengan sengaja, menghalangi pandangan untuk menonton pertandingan.
Dengan lembut menyongsongkan wajahnya lalu mencium bibirku secara perlahan. Hembusan nafas itu tertahan, berlanjut desahan berulang.
" Sen...?!" ucapnya lirih.
Aku tak bisa menjawab hanya mengingat perasaan serta gairah yang sama saat bersama Neno, seperti saat ini, ingin menikmatinya lagi, dan lagi.
Namun berbeda untuk kali ini, Jingga perlahan menuntunku, memanduku, bahkan membiarkan diriku melintasi puncak angkasa, membiarkan tanganku membelai awan putih, berguling diatasnya. Hingga saat sang awan melepaskan seluruh jubah nya, jubahku pun ikut terlepas.di selimutinya tubuh dengan awan beserta rangkulannya. Hangat terasa, semakin lama.
dan akhirnya ku Jejakkan tubuh ini lebih dalam, awan diam sesaat..... Mendesah,!
Berhenti sesaat....., memandangi sang awan merebahkan raga, hingga menit-menit berlalu tak terasa.... Kembali saat melintasi awan untuk memberi tempat bagi sang mentari untuk menyinari dengan kehangatan didalamnya.
"Tak mengapa, Sen... Aku siap," Jingga pun mengharap.... "
" Sensasi seperti yang pernah kurasakan sebelumnya, namun kini lebih hebat". hingga satu saat nafas serasa terhenti.Sang awan. Diterangi sinar mentari, hangat,dan semakin hangat hingga mengucur bulir-bulir peluh nikmat sinergi antara awan nan lembut bersama hangat sang mentari.
*****
"Terima kasih ya..., Sen!" ucap Jingga lalu tertidur sesaat sambil tersenyum bahagia dalam pelukanku.
Rupanya aku juga tertidur sesaat.
Volume televisi membuatku kembali terjaga. Ku buka kelopak mata, menatap Jingga masih dalam keadaan semula tanpa sehelai perca pada tubuh gemulainya. Menghampiri dan membisikan, "Sen....?" desahnya manja, tangannya meraih sesuatu yang sekejap membuat tubuh ini kembali hangat menggelora.
"Lanjut lagi!?" Jingga kembali meminta untuk sekali lagi bertamasya.
Kali ini dengan panorama yang berbeda, menyelami samudera dalam.birahi bersama menyelami serta menyusuri indahnya koral-koral karang di dasar lautan.
***''
"Sen, bangun!" terdengar sebuah suara dan guncangan pada tubuh.
Bimo membangunkan sambil membawa makanan lebih tepatnya mungkin makan siang, karena jam menunjukkan pukul sebelas.
"Lo makan burger sambil tidur yak!?", tanya Bimo sambil tangannya menunjuk burger yang menempel di paha, serta noda yang tertinggal di kasur lipat.
Dengan reflek aku terlonjak, kudapati diriku kini telah berpakaian lengkap, "Jingga", Kuperhatikan lebih teliti, bercak ini bukanlah noda seperti yang Bimo duga, aku dengan pasti dapat mengira ini sesuatu lainnya dan kurasa Jingga lah yang melakukan ini semua.
Saat makan masih terbayang dalam benakku, wajah dan senyum Jingga serta perlakuannya....
Bahkan hingga pulang berkendara masih merasa tak percaya apa yang kurasa...
Ah sudahlah !! Gawai bergetar, notifikasi pesan WhatUp dan kubaca,
"Senjaaaa.... Kamu lagi dimana?!" profil Neno tertera dengan beberapa tanya serta tanda emoticon murka.
(Jadi apa pendapat mu**)
Tiba di rumah, dan memasukkan si oren kembali ke garasi, keadaan seperti biasa, sunyi. Mba Sri terlihat berjalan sambil tangannya memegang kunci motor milik Widya.
" Mau kemana Mba Sri?" tanyaku.
"Ini, nganterin aksesori pengantin bu Sulo yang ketinggalan," jawab Mba Sri.
"Lho, bu Sulo emangnya ke sini?, ada apa?" tanyaku dengan rasa ingin tahu.
"Iya, berdua dengan Neno, dari tadi pagi sama Mama kamu ,rias pengantin," lalu menjelas keingintahuanku setelah itu bergegas pergi ke tempat perhelatan yang dimaksud.
"Emang ada Neno di sini Wid?" mengulang pertanyaan yang sama kepada Widya yang tengah makan mie instan di depanku.
"He..., ehm," jawabnya singkat.
"Sekarang dimana?" tanyaku lagi yang dibalas dengan isyarat mata menghadap ke atas.
"Hmm, diatas," gumamku.
Ku buka pintu kamar, ku dapati dirinya sedang asyik memainkan laptop, menonton streaming atau Drama Korea pada salah satu channelyutup, "pikirku".
Tampaknya dia belum menyadari kehadiran ku berdasar penglihatan ini pada telinga yang tertutup headset yang dikenakannya.
Ku tutup perlahan daun pintu lalu menghampiri dan bartanya, "Sudah lama ya?" Tanyaku sambil tersenyum.
Wajahnya menunjukkan sikap tak perduli dengan melipat bibirnya. Namun kemudian melepaskan headset dari laptop, juga yang berada di kedua telinganya.
"Kamu semalam kemana Senja?".
"Di hubungi ngga aktif,"
Tangannya langsung merangkul pinggang, meminta jawaban dengan pertanyaan manja. Ekspresi wajah yang begitu cepat berubah membuatku berkerut .
"Ini !"
ku tunjukkan sepotong copy surat kontrak dari mas Angga semalam. Neno langsung membacanya.
"Mau ganti baju nih!" kataku.
"Ya ganti aja, emangnya kenapa?"
"Malu?"
" Kan udah pernah liat semuanya !" matanya terlihat sedikit menggoda.
" Ga..., ah, biasa aja! " balasku santai.
Saat sedang berganti pakaian sengaja ku bertanya tentang kejadian tempo hari di tempat tantenya.
Sekedar melihat ekspresinya saja sewaktu berganti, di samping rasa ingin tahu diriku tentang hal tersebut dari sudut yang berbeda.
Kuperhatikan Neno terlihat biasa saja hingga saat dirinya memintaku untuk duduk di sisinya.
"Memangnya kenapa, sampai tanya-tanya yang itu?" Sambil kembali melingkarkan tangannya di tubuhku.
"Sekedar pengen tahu aja, apa kamu ngga takut?" tanyaku
"Kamu, takut ngga?" balik bertanya.
"Dasar perempuan!" pikirku, sulitkah untuk menjawab secara langsung sebuah pertanyaan mudah.
"Sedikit, kamu, " jawabku datar menunggu jawaban pertanyaan tadi.
"Hmmm.... He... Eh!" terlihat mendesah dan,
"Gimana ya...? biasa aja sih...,tapi ... " tidak melanjutkan.
"Tapi, apa? " keingintahuanku semakin bertambah melihat ekspresi Neno yang menganggap hal ini tidaklah terlalu merisaukan untuk dirinya.
"Senja,... begini," mulai menjelaskan dari sisi dirinya. Lalu mengakhirnya dengan kalimat , "Aku dapat memilih sesuai hasrat yang juga Aku sendiri yang memiliki, "Prinsip wanita sekarang, ya seperti ini," ucapnya mengakhiri.
Aku hanya terdiam, tak sepatah kata terucap dariku. Hanya memandangnya serta berfikir dalam tanya, "Apakah dasar yang membuat mereka mempunyai pola pikir seperti ini?"
hingga.!!
"Dah ah, kebanyakan tanya, nih biar diem!"
Kembali dilumatnya bibir ini, lalu menyudahi dan berkata, "Nanti aja, belum kepengen banget ! ",
"Aku ambilin makan ya?" sambil membuka pintu meninggalkan aku yang duduk termanggu..
*'****
"Senja, tahu nggak!?" sambil menyiodorkan sepiring mentung makanan dan meletakan botol minum di atas nakas.
"Enggak...,! Kok banyak banget nasinya?!" jawabku singkat, sambil protes karena piring yang terlampau penuh.
"Aah,..., Serius kenapa!" rajuk Neno manja,sementara tangannya malah mengambil sendok lalu menyuap untuk dirinya.
"Makannya Berdua!" setelah mengunyah dan menelannya.
"Ya sudah cerita..., apa?" giliranku menyuap sembari menunggu keterangannya.
"Ternyata Ibu sama Mama kamu itu dulunya satu sekolah" terangnya lagi. Neno menceritakan kejadian tadi pagi, mendengar keterangan dari Ibu mereka, bahwa mereka sudah berteman semenjak sekolah di Jogyakarta. Hingga menikah serta mempunyai anak,sampai akhirnya tinggal dalam perumahan yang sama,pada akhirnya Neno bertanya.
"Senja sudah berapa lama, tinggal disini ?" tangannya mengambil sendok beserta piring-piringnya, bergeser sedikit menjauh.
"Udah berapa hari ngga makan?" pura-pura heran.
"Jawab...,!? sambil menghunuskan sendoknya ke arahku.
Ku ambil botol air di sisiku meminum seteguk isinya lalu menyerahkan botol tersebut ke hadapannya," Kurang lebih dua tahun, begitu lulus es empe baru pindah kesini," coba menjelaskan bahwa sebenarnya kami sekeluarga telah memiliki rumah ini, semenjak perumahan ini dibangun, namun baru menempatinya dua tahun belakangan, mengingat usia kami yang masih terlalu kecil di tinggal orang tua bekerja.selain itu karena rumah yang lama belum laku terjual.
"Kalo Neno sendiri?" ujarku balik bertanya.
"Dari umur Kak Dewi satu tahun," Jawabnya singkat, sambil memberikan piring.
"Sekarang Kak Dewinya sudah nikah jadi ikut suami," lanjut Neno.
"Emang sama kakaknya beda berapa tahun?" tanyaku penasaran.
"Lima tahun..., sehabis lulus sekolah langsung nikah, baru juga beberapa bulan yang lalu," terang Neno. tangannya meraih piring yang telah kosong, membawanya ke dapur untuk di cucinya. Kembali ke kamar dengan membawakan dua cangkir coffee mix panas.
"Woow, mantab!" ujarku takjub.
"Terusin dong ceritanya yang tadi," pintaku.
"Ngga ah, udah ngga mood !"
"sekarang mau ngomongin surat itu!"
"Jadi, setiap sabtu atau akhir pekan Senja udah ada yang punya yah..., pacar bukan, saudara apalagi?!" keresahan Neno mulai di tampakkan padaku.
"Kan waktunya, bisa di atur," mencoba membela diri.
"Tapi kan, tetap aja jadi terbatasi," tetap enggan untuk mengalah.
"Cuma liveperform satu jam doang, apa ruginya siy?!" ku belai rambutnya mencoba meminta pengertian.
" Kalo mau ikut juga boleh," ku merajuk sambil mencium bibir untuk menggodanya.
"Serius...!?" ekspresinya langsung berubah.
"kalo ke sana keroyokan sama temen-temengimana? ..., hi, hi, hi, pasti seru nih!" tambahnya.
Woow !!!
Selamat datang Senja dalam dunia tanpa sekat, dimana logika bercampur dengan ilusi, menciptakan satu imajinasi dalam satu bahasa halusinasi, kokoh berdiri dalam satu sosok yang bernama" Wanita".
Cieee Shiro trending !
"Tring...., trijng..., triiing...!! "
Sebuah pesan aplikasi hijau berbunyi.
"Hmm...., siapa yah?" pikirku dalam hati sambil membuka isi pesan masuk tersebut.
"Senja..., bisa mampir ke tempat Oom sebentar? ada yang Oom mau bicarain!
Sudah pulang sekolah kan? jangan lupa!"
"Shiro...!, Shiro...!" begitu isi pesan dengan profil pengirim bergambar pengemudi vespa pelangi yang tak lain adalah Oom Dirga. Ku kantong kembali gawaiku, bersiap menuju pintu keluar parkir sekolah.
"Senja!" suara Bimo sambil mencegah laju kendaraan.
"Apa?!" jawabku singkat, mataku memandang gawai berisi pesan yang diperlihatkan Bimo.
"Bilangin Senja, Kakak nunggu di perempatan!" isi pesan tersebut.
Bimo memutar arah kendaraannya lalu pergi sambil tertawa.
Ku lanjutkan melanjutkan kendaraan melewati jalan utama seperti biasa. Ya, jarak antara sekolah dengan rumah yang berada di kawasan penyangga, terbilang cukup jauh untuk ditempuh. Apabila keadaan jalan sepi tanpa kendaraan mungkin hanya tertempuh 20 menit saja. Namun kondisi tersebut mungkin dapat terjadi untuk waktu tertentu saja, biasanya terjadi hanya setahun sekali, yaitu saat libur panjang keagamaan. Padahal rute yang ku tempuh hanya jalan lurus satu arah. Dapat dibayangkan apabila tak ada jalan seperti ini, berapa lama waktu yang harus di tempuh untuk mencapai tujuan?
Ku arahkan si oren untuk menepi, menghampiri Jingga yang tengah menunggu di halte depan kampusnya.
"Emang mau kemana siy?" sesampainya di halte sesaat Jingga datang menghampiri, dan memposisikan diri duduk dibelakangku
"Ga kemana-mana..., mau ikut Senja aja".
"Dah...., ah, jalan!" perintahnya kemudian.
"Hadeeh..., tambah satu lagi, ngga jelas!" ucapku dalam hati. Terpaksa aku tetap melanjutkan menuju tempat Oom Dirga.
**'**' '
Dari kejauhan. terlihat Oondirga sedang melakukan "shoot cam" menggunakan gawai, kupercepat laju si oren. Berhenti tepat disebelahnya.
"Hei senja...., ada berita bagus nih!" sesaat ku lakukan standar ganda pada kendaraan.
"Berita apa Om....? oh iya kenalin ini...!"
"Hai Jingga..., pa kabar?" potong Om Dirga, yang ternyata telah saling mengenal karena dari kampus yang sama.
"Lho..., Om sama Jingga udah saling kenal!"mencoba meyakinkan.
" Ya...., kenal lah, anak teknik plus yutuper !"
" Sampe instagramgue belum di follback sangking tenarnya ! " komplain Jingga di balas dengan cengiran Oom Dirga," Sorry deh Jingga, blom sempet buka "sambil merapikan rambut panjangnya.
" Yuk ke Workshop," lalu mempersilahkan.
Ku lihat motor Widya bersandar diantara beberapa motor yang berjejer.
"Widya ada dimanaOom?" tanyaku.
"Ada...., lagi main ke sebelah" jawabnya lalu membuka laptopnya sambil mempersiapkan pengeditan untuk pengambilan gambar yang baru saja di lakukannya. Lalu,
"Nih baca aja sendiri" Sambil memperlihatkan beberapa email masuk, serta penawaran lainnya.dilanjutkan dengan membuka foto hasil editan sebelumnya namun membuatku sedikit terkejut.
"Oom...., ini kan Widya sama Neno?" tanyaku heran, "Kapan nih Oom?" lanjutku.
"Dirga....! Tamu ngga di suguhin nih?!" ujar Jingga merasa terabaikan.
"Eeeh...! sorry, sorry..., lalu bergegas ke dapur.
" Dasar cowok! " balas Jingga cekikikan.
Aku masih memperhatikan layar, membuka beberapa foto hasil editan, tiba-tiba!"
"Eh, mas Senja udah sampai sini juga," suara Widya membuat ku menoleh, namun terlihat di belakang, sosok Neno masuk mengikuti.
"Duh, kacau nih!" pikirku.
Keduanya menghampiri kami, dengan sedikit canggung akhirnya ku memperkenalkan Jingga kepada mereka berdua. juga menerangkan bahwa Jingga satu kampus dengan Oom Dirga.
Suasana kembali cair dengan datangnya beberapa minuman kaleng, serta cemilan yang di bawa oleh Oom Dirga, membuat ku sedikit lega.
Sesuatu yang tak terduga dan ku khawatirkan akhirnya terjadi juga. Entah sengaja atau tidak. Neno melihat Jingga menggandeng tanganku dengan pandangan mesra. Tak kuasa menahan, lalu beranjak berjalan keluar dengan raut masam serta wajah menahan isak tangis.
Tak dihiraukannya Widya yang mengajaknya untuk mendinginkan suasana.
"Mas Senja ini kenapa sih?!" tanya Widya sedikit kecewa lalu ,"Sudah..., kejar sana," perintahnya lagi.
Setengah bingung, ku melemparkan pandangan kepada Jingga.
"Sudah...., kejar sana!" Jingga merespon sebaliknya dan menganjurkan diriku untuk menyusulnya sambil menampakkan wajah tersenyum.
Ku nyalakan motor dan berusaha mengejar diriya, "semoga saja belum jauh," Pikirku sambil mataku terus memandang beberapa ojek online yang ku lewati. Hingga, "pak, pak...., berhenti!" pintaku sambil menyetop ojek online yang ditumpangi Neno, membayarnya serta mempersilahkan nya untuk pergi.
"Naik!"
perintahku kemudian, karena posisi yang berada tepat ditengah keramaian.
Menuruti perintahku, namun masih dengan sikap bungkam hingga ku tepikan kendaraan, persis dekat sebuah taman.
"Kamu kenapa, Neno?" tanyaku lembut.
"Oke !" sedikit ketus Neno berkata.
"Jingga itu siapa kamu !, Sudah berapa lama dekat sama kamu !, kenapa sikapnya begitu ke kamu ! lantas aku ini apa !? Jelasih coba... Jujur ! ga ada yang boleh di tutupin !"
"Weeew.... Ajiib, sedep... !" begini toh, rasanya kalo ter-intimidasi secara mental skala nasional.
Jantung yang sedari awal berdetak normal berubah signifikan menjadi naik skala 6'5 ah..., tidak !, mungkin sudah mencapai 8'0 skala richter.
"Ok.. Baik!" kuceritakan semuanya secara detail walau dengan sedikit paksaan.pun aku terdiam menunggu Neno mengeluarkan tanggapan. Hening sesaat, dan...,
"Ya sudah..., sekarang anterin pulang!" perintahnya dengan tenang, seolah kejadian yang baru saja terjadi bukanlah sesuatu hal untuk di perpanjang.
"What....!" segitu doang...!!
Hadeeeh...?!!
Sesaat setelah mengantarkan dan berpamitan untuk pulang, Neno menghampiri dan berkata, "Senja...., terima kasih atas semua keterangan dan kejujuran, Neno..., akan tetap bertahan," Ucapan yang membuat aku kembali berfikir selama perjalan pulang, tapi...,?
"Waduh?!!"
"Jingga....!!!
Widya datang menghampiri, sesaat ku menutup serta mengunci pintu gerbang.
" Emang itu pesen ngga nyampe? makanya jangan cuma di kantongin dong," goda Widya.
"Sampe mana dianterin?" tanyaku sambil masuk, terlihat sepertinya Mama, dan
Papa serta mba Sri sudah terlelap. Jam menunjukkan pukul sembilan malam.
"Pulang sendiri, ngga lama mas Senja pergi menyusul Neno tadi"
oh iya mas Senja, lumayan tuh sewa Shiro plus Endorsan!? " Ujar Widya lagi.
" Bukannya kamu juga dapet? " balasku. Lalu," dah ah, mau bersih-bersih tidur.
"Mas, Jingga itu yang tadi ketemu di workshop Oom Dirga, siapa?" tanya Widya dengan wajah penasaran.
"Sudah ah, besok-besok aja ceritanya!" seraya berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, namun sekembalinya,
"Widya ?, ngapaindisini, bukannya pergi tidur !" terlihat sedang memainkan gawai sambil merebahkan diri di kasurku.
"Mau tidur disini sambil denger ceritanya?!" jawabnya sambil beringsut menggeser posisi memberikan tempat untukku.
"Dasar perempuan," jawabku. Lalu aku menceritakan segala tentang Jingga, namun belum usai ku bercerita, dengan pulasnya Widya tertidur, "Hmm, kurasa dirinya mungkin lelah menunggu untuk membukakan aku pintu," kataku dalam hati.
Begitu pun aku merasakan kantuk tak tertahankan, setelah melalui bianglala isi hati wanita yang tak akan pernah di mengerti.