Raave mengatakannya dengan suara yang tenggelam.
Gio terbelalak, shock. "Mr Raave... Anda...?!" Suaranya parau, tatapannya tajam ke arah Tuannya.
Raave mendekati Gio, mencengkeram lengan Sekretaris pribadinya itu dengan kedua tangan. "Listen to me, dude. There's a problem between them. Its just.. a game. You understand me?!?"
"Okay, Sir. And what kind of game that required you, to slept with the other game member, Hm??!"tanya Gio lagi, linglung. Tapi juga emosi.
"I can't tell you anymore, G! Its big... " Raave menghela nafas panjang. Dalam. Ia pandangi Gio dengan mata berkaca-kaca.
"Big whatt., Sir??!!" desak Gio.
Raave menggeleng. "Please...don't forced me!!!"pekik Raave frustasi.
"Just write it , Sir!"bisik Gio. Lelaki itu sudah sedikit paham, kenapa Tuannya tak mau bicara.
Raave menyambar kertas apa saja di dekatnya. "Aku dipaksa mereka. Mereka disuruh oeh seseorang. Bos besar. Yang mendalangi ini semua!"tulis Raave.
"Kenapa tidak dilawan?"tulis Gio.
"Mereka mengancam. Dan ancamannya mengerikan!!"
"Apa itu? Kenapa Anda tidak bisa bicara langsung, Anda disadap?"balas Gio.
"Ya, ada alat khusus di tubuhku, yang akan segera bisa tahu jika aku bicara."
"Apa ancamannya?"
Belum sampai Raave menulis lagi, ia tersentak, lalu meringis. Kesakitan. Mencengkeram dadanya. Bernafas cepat, menutup mata. Menahan nyeri, yang mendadak menghantam dada kiri.
"Sir.. Anda kenapa??" Gio panik.
Raave mengangkat tangan, "I'm okay. Just wait for few minutes."bisiknya. Ia masih memegangi dada.
Beberapa menit, Raave berbaring di sofa. Menepuk pelan dada. Mengatur nafas. Berusaha tak pingsan. Keringatnya membanjir hingga kemejanya basah. Wajahnya tegang. Nyeri berangsur hilang dengan sendirinya.
Sepuluh menit, ia kembali bangun. Sudah tak lagi pucat dan tampak seperti sebelumnya. Normal.
"Ini salah satu efek alat itu?"tulis Gio lagi.
Raave mengangguk. "Ini buatan Pranaja Tech. Mereka mencuri desainnya, dan membuatnya ulang dengan nama mereka sendiri!"balas Raave.
"Juga alat penyadap itu?"
"Tidak, sudah jadi satu alat ditubuhku ini. Penyadap. Yang bisa membuat jantungmu berhenti berdetak seketika, jika kau menekan tombol yang tepat!"tulis Raave.
Gio menutup mulut, kaget dan shock.
"Kapan mereka menanamnya, Sir??" Gio bertanya-tanya. Raave selalu bersamanya sepanjang waktu.
"Saat kau mengikutiku..."balas Raave.
"Namun itu hanya fungsi yang bisa dijalankan, jika aku berada cukup dekat dengan tombol. Jika tidak, ya seperti ini, nyeri luar biasa!"lanjut Raave.
"Tak bisa dibiarkan, Sir!!" Gio menggeram marah. Hampir menggebrak meja.
"Tenang saja, aku hanya perlu ikut permainan mereka. Aku tak tahu, apa Yang mereka incar sebenarnya.."tulis Raave.
"Baiklah, saya di belakang anda!"
"Thanks!" Raave berdiri, sedikit meregangkan tubuh, lalu Menekan panel di sudut ruangan. Sebuah pintu terbuka. Ia masuk, "Aku tidur sebentar"pamitnya, kemudian menghilang di balik pintu, yang ditutup dari dalam.
Gio menatapnya sendu. Mengangguk. Ponselnya bergetar.
New message, Raave...
'Apa kau tahu, G. Saat aku tidur dengan Mrs Shane. Milikku sama sekali tak bereaksi. Tak bisa diajak kompromi. Akhirnya aku minum sesuatu yang bisa... Yaaa.. kau tahu.' tulis Raave. Gio tersenyum haru.
'Anda menikmatinya??'balas Gio. Agak terkekeh.
'Kau gila???! Tidak sama sekali!! aku tidak mau. Dia yang bekerja. Memuaskan dirinya sendiri. Dipikirnya aku masih seperti dulu.'
'I see. Kenapa bisa begitu, Sir??"
"Karena aku tak ada perasaan apa-apa untuknya. Entahlah.. Ini... Ah sudahlah, G!"balas Raave.
"Ya, saya percaya. Anda istirahatlah dulu, Sir!"
"Hm, thanks G"
Gio menunduk. Berpikir keras. Bagaimana ia bisa membantu Raave memecahkan masalah ini. "Hei, apa ancaman mengerikan tadi? Dia belum mengatakannya!"gumam Gio.
Ia tak mau mengganggu istirahat Raave. Jadi ia simpan pertanyaan itu untuk nanti. Semoga tidak lupa.
*
Aira berbaring di kamar. Ingin pingsan rasanya, kala Ia coba bangun dan beranjak. Akhirnya ia merebahkan diri lagi. "Aduuhh.. Bu Wina belum balik!"gerutunya bingung. Dikuat kuatkannya, bangun, berdiri, melangkah pelan keluar kamar. Turun dengan mencengkeram erat pegangan tangga.
Sampai di bawah, gadis itu bernafas lega. Ia menuju dapur. Membuka kulkas. Mengeluarkan susu, lalu membawanya ke meja makan. Membiarkannya hingga tak terlalu dingin. Ia ambil juga roti dan mentega, keju. Meraciknya sedemikian rupa, dengan nafas yang tak teratur.
Ia makan rotinya, lalu meneguk susu langsung dari kotak. Lumayan, tapi tak benar benar hilang. Gadis itu merebahkan kepala di atas meja makan, masih sambil mengunyah roti.
Berpikir. 'Apa minta tolong Raave saja ya, toh asistennya banyak. Pinjam satu untuk merawatku disini.' batin Aira. Ia menggeleng kemudian. 'Tapi aku lemes banget! Hhhhh...' Gadis itu merem. Kaget, melek lagi.
'Zii..?? Ah dia bekerja!' batin Aira lagi.
Kliiikkkk... Pintu terbuka.
"Aii..!!" suara merdu itu, memaksanya menegakkan kepala. Menoleh ke arah si empunya suara.
Raave menatapnya khawatir, berlari menghampirinya. Wajahnya sendu. Padahal sudah rapi, rambutnya klimis seperti biasanya.
Aira tersenyum. Entah kekuatan darimana, ia langsung berdiri, menghambur memeluk sang lelaki, yang sudah merentangkan tangan. Didekapnya lelaki itu erat.
"Kamu demam, Ai..!!" Raave membelai pipinya. Kedua alisnya bertaut muram.
Aira tersenyum. "Maaf, Raave. Bisakah aku pinjam satu asistenmu untuk menemaniku di sini? Bu Wina pulang desa. Aku... "ujarnya, akhirnya. Sangat terpaksa. Ia usap hidungnya. Basah.
Raave semakin muram. "Ai.. AIRAA..!!"teriaknya panik. Ia tepuk perlahan pipi gadis itu. Mengusap hidungnya dengan punggung tangannya.
Lelaki itu mengangkat sang gadis, berniat membawanya ke Rumah sakit. Tapi...
"Aku di rumah aja, Raave. Please..!!"gumamnya lirih. Parau. Aira memandang dalam lelakinya, memohon.
"Kamu mimisan, demam. Apa kamu sadar itu, Hm?" Raave sedikit menggeram.
"Aku tahu!!"
"Baiklah akan kubawa ke rumahku saja, kalau begitu! Biar banyak asisten yang bisa merawatmu dengan baik."ujar sang lelaki. Lebih mirip perintah. Ia gendong dengan hati-hati gadisnya menuju mobil.
Usai mengunci pintu rumah Aira, Raave kembali masuk mobil. Menemani sang gadis di kursi belakang.
Luke segera tancap gas.
Aira memejamkan mata. Bersandar nyaman di pundak lelakinya.
Raave merengkuhnya erat. Mengusap-usap kepalanya, dengan ekspresi yang tak berubah. Sedih, khawatir. Gelap.
Ia hubungi Gio, "G, aku sedikit terlambat. Atur saja semuanya!"
"Baik, Sir!"
"Hm"
Satu jam kurang 5menit, Raave sampai. Agak macet dan Luke kesulitan mencari jalan pintas.
Lelaki itu mengangkat Aira, naik ke lantai tiga menggunakan lift khusus. Para Asisten kaget, "Tuan, Anda sudah kembali?"sapanya.
"Tidak. Jaga dan rawat Aira. Sebaik baiknya! Oh Sera..! Panggilkan Sera dan yang lainnya!"perintah Raave. Suaranya menggema.
Ia sampai di depan sebuah pintu, ia dorong hingga terbuka, lalu Ia baringkan Aira di ranjang dengan hati-hati. Sebuah kamar tepat di samping kamarnya. Dengan luas dan penataan yang sama. Dulu, saat rumah ini dibangun, entah apa tujuannya dibuat kamar ini. Ternyata untuk ini.
Beberapa asisten datang. Menunduk hormat pada Raave. Termasuk Sera, asisten yang pernah membantu Aira. "Sera kuserahkan tanggung jawab padamu, jaga dan Rawat Aira. Dia sakit. Obatnya biar diantar Lei sebentar lagi!" Ia menginstruksikan para asisten untuk menjaga gadisnya.
"Baik, Tuan. Tenang saja. Nona Aira akan baik saja!"jawab Sera, takzim.
"Hm" hanya dibalas deheman. Disertai tangan yang meminta mereka keluar sebentar.
Raave menyelimuti sang gadis, Aira entah pingsan atau tidur. Wajahnya masih pucat. "Aku ke kantor ya. Kamu akan baik baik saja, Ai!"pamitnya lirih. Ia kecup bibir Aira, dalam. Lalu keningnya. Kemudian beranjak. Namun rasanya beraaat sekali, berulang kali ia menengok ke belakang. Memastikan sang gadis masih merem.
Akhirnya, Ia keluar dari kamar. Mengusap muka, meminta Sera dan yang lainnya ke kamar. Menemani sang gadis.
Melangkah turun, kembali masuk mobil. "Jalan, Luke!"perintahnya. Ia utak-atik ponsel. Mengaktifkan sistem keamanan penuh di kamar sebelahnya. CCTV, kunci pintu. Selain Sera dan dirinya, tak akan ada yang bisa masuk kamar itu. Sudah diaturnya sedemikian rupa.
Beres, Disimpannya lagi ponsel di saku jas. Menatap jalanan, lewat jendela samping. Kedua alisnya masih saja belum longgar. Bertaut semakin dalam.
Luke melirik dari spion. "Sir, you okay?"tanyanya, khawatir.
"Hm"balas Raave singkat. Ia menopang dagu. Bertahan memandangi mobil, motor,bus yang lalu lalang di sampingnya.
Sampai di kantor, Raave semakin horor. Tak ada senyum sedikitpun. Hanya wajah serius dan muram.
Gio yang menyambutnya di ruangan, segera tahu. "Nona Aira?"
Raave mengangguk samar. Melemparkan tubuhnya di kursi kerja. Segera membuka ponsel. Mengecek kondisi gadisnya.
Aira masih menutup mata. Sera menemani dengan duduk merebahkan kepala di sisi ranjang. Bersama seorang asisten lain yang duduk di sofa. Asisten yang lainnya terlihat bersih bersih di sekitaran kamar Aira.
Ia zoom di bagian Aira yang berbaring di ranjang. Mengusap bagian kepala Aira. Tersenyum haru.
Gio menatap Tuannya sendu. "Sir..? Ada yang bisa saya bantu,mungkin? Maaf, hanya mengingatkan saja, setengah jam lagi meeting dengan Bagian Keuangan." Ia menyela.
Sang Tuan masih asyik dengan ponselnya sendiri. Sama sekali tak peduli ucapan Sekretarisnya.
Gio mendesah panjang. Bingung harus bagaimana. Ia duduk sofa. Membasahi tenggorokan dengan sebotol air dingin.
Raave tersenyum. Ternyata Aira bangun. Sera segera melayaninya. Menyuapinya bubur ayam dan teh lemon, sesuai request sang gadis. Ia usap-usap screen ponsel seperti orang linglung. "Hm, makanlah yang banyak!"bisiknya lirih.
"Tuan Raave sudah kekantor, Nona. Anda mau makan apa lagi?"tawar Sera. Sabar. Senyumnya terulas sangat dalam. Ia elus punggung Aira. Sekilas pembicaraan mereka, bisa lelaki itu dengar.
"Sudah, terima kasih, Nona Sera."balas Aira. Berbaring lagi. Sera memberesi bekas makan. Membawanya keluar, kemudian kembali dalam hitungan detik. Dengan nampan berisi buah segar. "Semua makanan dan obat ini tak berarti, jika Tuanmu tak ada disini!"lirihnya.
Tapi bisa di dengar sangat jelas oleh Raave. Membuatnya menahan nafas. Jantungnya berlomba. Penasaran, Ia putar lagi, mengulangi. Siapa tahu salah dengar. Ia keraskan volumenya. Lelaki itu sampai mendekatkan telinga di speaker ponsel.
Gio menekuri notebook, menyelesaikan tugas. Daripada jadi gila, menyaksikan kelakuan Tuannya.
"Semua makanan dan obat ini tak berarti, jika Tuanmu tak ada di sini.." Ia tak salah dengar.
Raave menunduk. Ponselnya tergeletak di meja. Memutar kalimat sang gadis, berulang-ulang, hingga membuat Gio teralihkan. "Ai.."lirihnya pelan. Ia usap kedua mata yang basah.
Bahunya terguncang. Raave meletakkan kepala di atas lipatan tangan.
Gio tersentak. Ia dekati Tuannya, "Sir. Anda kenapa??"tanyanya, dengan nada panik. Bagaimana tak panik, tadi masih senyum senyum senang, sekarang kelihatannya menangis dalam diam.
Ia ikut bersimpuh di sisi Raave. Airmata Tuannya deras. Ia serahkan tissue, yang langsung diusapkan kasar di muka oleh sang CEO.
"Anda kenapa, Mr Raave...?"tanya Gio lagi, sedih kali ini.
To be continued...