Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 82 - WINE..

Chapter 82 - WINE..

Dihempaskannya tubuh di sofa depan Tv. Masih mengenakan Skinny Jeans dan blusnya, tas pun belum beralih tempat. Matanya tertutup.

Aira menyamankan diri. Kepalanya berputar. Sepulang dari makan makan dengan sahabatnya, Zii dan Adnan, dikedai favorit mereka, gadis itu berhenti di sebuah bar. Membeli sebotol wine, sama dengan yang biasa diminum Raave. Flashback on,

Sang bartender segera mengenalinya. Barangkali menyangka, Aira diminta sang CEO untuk membelikan. "Hanya Mr Raave yang suka dengan wine ini. Wine termahal! Just him. You are..?" si Peracik minuman menatap Aira dalam.

"I'm his friend. Dimintai tolong membelikan ini untuknya."jawab Aira, mantap. Tersenyum misterius. Membuat si Bartender nampaknya agak linglung.

Usai mendapatkan Wine nya. Aira segera pergi dari sana.

Dalam perjalanan, Ia membatin kagum. 'Jangan-jangan semua Bartender di Surabaya ini mengenal Raave dengan baik. Benar-benar orang penting!'

Gadis itu berhenti di sebuah taman, masih di dalam mobil, Ia raih botol wine, membuka sumbatnya. Menyesap aromanya. Kemudian mulai merasakan minuman beralkohol itu membasahi mulut, lidah, turun ke tenggorokan.

Aira meringis. Namun lalu tersenyum. "Kata Raave kalau minum ini bisa tenang dan nyaman gitu."gumamnya. Meneruskan tegukan tegukan yang membuatnya semakin ingin memejamkan mata.

Ia tersadar, ditutupnya lagi sumbat botol wine, Ia masukkan tas, lalu bergegas pulang, sebelum terlalu 'mabuk'. Flashback off.

Aira bernafas dalam. Ponselnya yang berdering tak dihiraukan sama sekali. Gadis itu tersenyum. "Benar juga kata Raave, minuman ini bikin tenang...."gumamnya. Sambil mengangkat tangan tinggi tinggi. Ia terbatuk pelan, bangun. Meletakkan tasnya di meja, lalu menuju dapur. Minum sebotol air. Kembai lagi ke depan Tv.

Wine yang tersisa tiga perempat botol, ditaruhnya begitu saja di meja samping Tv. Ia naik dengan sempoyongan. Berganti baju, mencuci muka. Turun lagi. Melanjutkan acara Tv.

Menyandarkan kepala. Gadis itu tak sanggup lagi, pada akhirnya. Menyerah. Jadi, Ia matikan Tv, lampu-lampu, lalu naik. Masih seperti daun tertiup angin. Melambai-lambai.

Wine nya Ia bawa ke kamar.

Ia berbaring nyaman. Menutup mata rapat. Lelap begitu saja. Sebelum akhirnya, usapan usapan lembut itu datang. Mendarat mulus di kepala, pipi dan bibirnya. Juga usapan penuh kasih di lengan.

"Ai.. Bibirmu bau wine! Kamu minum??!"bisik seorang lelaki. Suaranya merdu, kala pertama kali datang. Tapi saat membisikkan itu, suaranya parau, seolah tertahan di kerongkongan. Tak percaya, shock.

Tentu saja, si lelaki ini sangat bisa membaui dan mengenali. Walau Aira sudah minum air sebotol penuh. Karena sang lelaki juga peminum, Ia paham betul aroma wine.

Aira masih terbuai, ia terlalu lemas membuka mata. Kepalanya terasa sangat berat. Tapi kenapa ia masih bisa dengar suara Raave? Ah peduli amat!pikirnya.

Ia lanjutkan mimpinya yang sempat terpotong. Entah mimpi tentang apa. Hanya ada dirinya, Zii, Adnan. Mungkin karena baru saja menghabiskan waktu bersama mereka. Jadi terbawa mimpi. Ia tersenyum tanpa sadar.

Lalu berganti, ketika ia meneguk wine, merasakan sensasinya. Menyenangkan juga. Dalam mimpi, Ia habiskan sebotol wine itu seorang diri, namun lalu, ketika bangun Ia sudah ada di sebuah kamar inap Rumah Sakit. Raave di sampingnya. Memandanginya sedih, bercucuran airmata.

Dokter yang datang memeriksanya dengan serius, berkata, bahwa leukimianya sudah sampai di stadium akhir.

Aira tersentak. Kaget. Ia bangun. Mengerjapkan mata berulang kali. Sinar matahari pagi yang hangat, lembut menyapanya. Baru saja, Ia akan berbaring lagi, Raave menangkup wajahnya.

"Kamu minum semalam, Hm??"tanya lelaki itu, wajahnya suram.

Aira mengangguk pelan. Menatap datar si lelaki. "katamu jika minum wine, bisa bikin tenang!"balasnya.

"Kamu sakit Ai, lalu pikirmu, kamu boleh sembarangan meminumnya??"geram Raave.

"Oh jadi itu untuk yang sehat saja, dan untuk para lelaki, begitu??"

Raave menunduk. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal, "Ai, kamu beli wine yang sama dengan yang biasa kuminum kan? Apa kamu tahu, alkoholnya sangat kuat Ai. Bagaimana jika sakitmu...." kalimat lelaki itu terhenti. Ekspresinya sedih, marah, entah apa lagi.

"Aku tak ingin terjadi apa-apa denganmu!"lanjut Raave. Ia belai pipi Aira disertai tatapan dalam.

"Nyatanya aku ga gimana gimana kan sekarang?" jawab Aira lagi. Ia bangkit, melangkah ke kamar mandi. Mencuci tangan dan muka.

"Kamu ga ke kantor? Jam berapa ini?"tanya gadis itu, mengelap tangan dengan handuk kecil di atas meja nakas.

Raave mendekat padanya. Merengkuhnya erat. Membelai kedua pipi gadisnya. "Aku terlalu khawatir padamu, tadi malam, saat kucium bibirmu dan kutemukan aroma wine itu, rasanya aku ingin pingsan Ai!"bisiknya.

"Kenapa?"

"Aku juga tak tahu. Aku terlalu shock!"

"Lalu apa kamu pernah memikirkan perasaanku, saat aku tahu kissmark di lehermu itu?" Aira menjauh perlahan. Ingat lagi, kissmark, Ghina dan Raave yang berciuman. Alasan kenapa ia ingin menenangkan diri dengan meneguk wine.

Jika menelan vitamin tidur, ia tak lagi punya stok, minta Dokter Alan, pasti tak mungkin diberi. Jadi... Winelah satu satunya pilihan. Beruntungnya, diurungkannya niat untuk kabur ke Semarang. Menghilang sementara dari Raave.

"Aku minta maaf , Ai. Aku tak bisa jelaskan sekarang, tapi aku janji padamu, kamu pasti akan mengerti nanti. Just trust me!" Raave memohon.

"Ehm.. Siapa yang menemanimu minum kopi kemarin itu?" Raave kepo.

"Hanya kenalan dari kedai kopi. Ada lagi, yang ingin kamu tahu??"tanya Aira, mendelik.

Raave menghampirinya lagi. Namun gadis itu menjaga jarak. "Please.. Sebelum kamu beri aku penjelasan, jangan mendekat!" Aira berkata agak ketus.

"Pergilah, Raave. Biarkan aku sendiri!"lanjutnya. Memalingkan muka.

Raave sudah mengulurkan tangan, ingin merengkuh gadisnya. Namun hanya bisa tertahan di udara. Aira keburu melangkah, keluar dari kamarnya. Sudah jam 9, Ia akan di rumah saja.

Sang lelaki mengikutinya dengan kepala sedikit tertunduk.

"Baiklah aku pergi, Aira... Nanti kuhubungi, jika mungkin kamu butuh se... "

"Tak perlu,.. Terima kasih, Raave." Aira menatap Tv dengan memeluk lutut, tak menoleh sedikitpun, pada lelaki yang mengusap kepalanya.

Terdengar langkah kaki sang lelaki yang semakin lama semakin samar. Kemudian tak ada suaranya sama sekali.

Aira mengusap airmatanya. Sambil menonaktifkan ponsel. Sebelumnya, Ia beritahu Mr Suri lewat sebuah pesan singkat, jika ingin menghubungi, lewat email saja. Ia beralasan ponselnya eror. Juga Zii dan Adnan.

"Apa aku ke rumah PapaMama aja ya?"gumamnya lirih. "Sendirian?" Ia melotot kemudian. Merasa malas, Bu Wina di desa. Tak ada yang menemaninya mengobrol. Ia takut pingsan di jalan.

Gadis itu berjalan ke dapur. Membuat sarapan sebisanya. Ia goreng telur dan sepotong ayam. Ia tak masak nasi, jadi hanya dilahapnya dengan roti tawar. Susu.

"Hm, lumayan kenyang. Sip buat sarapan nih!"bisiknya, senang. Beruntungnya, wine tadi malam tak begitu berpengaruh padanya pagi ini.

Akan tetapi Aira heran. Karena tak menemukan botol winenya dimanapun. "Pasti dibawa Raave!"gerutunya. Ia lanjutkan TV nya sambil mengudap sisa ayam, dan susu.

"Permisiii...!!" suara seorang lelaki mengetuk pintunya.

Aira segera bangkit, melihat siapa yang datang. "Flynn..?"

"Hai, Ai. Eh kukira di BookShop. Cuma ingin ngantarin ini." lelaki itu tersenyum, tangannya terulur, menyerahkan sebuah plastik.

Aira menerimanya. "Iya, aku istirahat di rumah. Apa ini?"tanyanya.

"Buat kamu sarapan, Ai. Kebetulan kalo gitu, kamu di rumah, bisa langsung kamu makan. Oke, aku harus balik ke kedai, Ai. Take care ya!" Flynn pamit. Senyumnya belum hilang, malah semakin mengembang.

"Makasih banget lho, Flyn. Ngrepotin kamu, jadinya!"

"Ga kok, Ai. Oke. Aku pergi!" sang lelaki sudah mengendarai sepedanya. Kencang.

Aira menatap pemuda itu, kemudian bergegas masuk. Menengok lagi isi bawaan Flynn. Caramel machiato , Roti isi keju dan scrambled egg. Gadis itu tersenyum. Ia bawa ke depan Tv. Dilahapnya dengan senang hati.

"Thanks banget, Flynn!"bisiknya lirih sekali.

Pranaja Tech

"Hm, bicaralah!" Raave menjawab panggilan Lei, Staff khususnya.

"Pemuda itu datang lagi, membawakan sesuatu untuk Nona Aira. Sarapan barangkali."lapor Lei, yakin.

Raave mendesah panjang. Tangannya tanpa sengaja terkepal dan hampir memecahkan cangkir kopi di genggamannya. Wajahnya tegang. Memerah. Dipejamkannya mata sejenak.

"Sir..??!" Lei menanti jawaban.

"Hm. Teruskan saja. Thanks, Lei!" sahut Raave. Setengah menggeram.

"Siap, Sir!!"

Call end.

"Siapa, Mr Raave?"tanya Gio. Heran melihat Tuannya mematung, di depan jendela, memegang cangkir kopi, dan baru beberapa detik yang lalu, melemparkan ponsel ke meja kerjanya. Entah sudah berapa kali, lelaki paling diprioritaskan di Pranaja Tech itu ganti ponsel baru. Dilempar memang hanya retak, namun jika berulang kali, pastilah patah juga.

Sang Presdir masih membeku. Cangkir kopi sudah berpindah ke meja. Tak diminum sama sekali.

"Sir..??!" Gio memanggil lagi. Sangat hati-hati. Takut membuat mood sang Tuan makin seperti lebah yang diganggu sarangnya. Kacau.

Raave berbalik. Mengendorkan dasi, melepasnya kasar. Lalu membuka dua kancing kemeja. Ia duduk di kursinya. Bersandar. Menatap sang Sekretaris yang juga menunggu jawaban darinya.

"Aira bersama lelaki itu lagi!!"jawab Raave emosi.

"Lelaki yang mana, Sir?"tanya Gio kepo.

"Yang di kedai bersamanya, menemaninya minum kopi."

"Lalu??"

"Lalu katamu?! Apa maksudmu, G??" Ia tatap Sekretarisnya tak percaya. Bingung. Bercampur emosi.

"Itu temannya kan, Anda ini kenapa? Cemburu? Lalu Anda pikir, apa yang dia rasakan, saat melihat Anda memiliki bekas kemerahan itu, lalu tak menemuinya selama berhari-hari. Tiba-tiba saja Anda cemburu??" Gio protes. Untuk pertama kalinya selama ia bekerja pada Raave. Baru kali ini ia berani mengkritik habis Tuan mudanya.

"Maaf Sir. Saya hanya kadang tak tahan memendam ini sendiri. Anda juga tak cerita apa-apa pada saya! Walau hanya Sepatah kata saja!" Gio gemas.

"Saat Anda ke luar kota waktu itu, kelanjutannya juga tak sampai di telinga saya, Mr Raave. Anda kemana sebenarnya, bersama siapa, kenapa sejauh itu, dan satu lagi Tuanku... Anda mengganti nomor ponsel!!"lanjutnya. Semakin mengungkapkan kegalauan. Lalu menghembuskan nafas sangat panjang.

Memasang muka memohon pada Raave agar lelaki itu mau bercerita sedikit, setidaknya. Siapa tahu, Ia bisa membantu. Pikir Gio.

Raave beralih duduk di sofa. Menutup muka dan mengacak rambut. Memandang Gio sendu. "G.."

"Ya, Sir..." Gio menjawab dengan sama sendunya.

"Jika aku cerita padamu, apa kau mau berjanji, untuk tak mengatakannya pada siapapun??"

"Tentu, Mr Raave! Anda tak perlu meragukan saya!"

"Dan satu lagi..."

"Yes?"

"Biarkan saja aku. Jangan kau coba hentikan atau halangi.." Raave menunduk.

Gio semakin dibuat penasaran. 'Ada apa sebenarnya?? Hingga Mr Raave seperti ini??'galaunya dalam hati.

Raave mendesah panjang dan dalam. "Kau masih ingat Mrs Shane..?"

"Hm. Ya, tamu dari NY." Gio tak perlu waktu lama mengingatnya.

"Aku tidur dengannya, G... "

To be continued...