Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 78 - An INVITATION

Chapter 78 - An INVITATION

Sebulan Kemudian...

Aira sendirian di rumah. Bu Wina sudah tiga hari belum pulang. 'Mungkin nanti sore, kemarin katanya cuma tiga hari'batinnya. Gadis itu turun, menuju dapur, lalu membuka kulkas. Makanan yang disiapkan oleh Bu Wina tak disentuhnya sama sekali, ia hanya makan Roti, tak memasak. Tubuhnya tak bisa diajak kompromi.

Aira mengeluarkan ayam ungkep, membiarkannya sebentar, sementara ia menyiapkan penggorengan. Setelah suhu biasa, Ia masukkan ayam dalam minyak panas. Dan mengatur api, meninggalkannya, duduk di ruang Tv.

Beberapa menit, ayam siap. Ia makan dengan nasi yang juga ia masak sendiri. Sambil menonton tv. Sebotol besar air oksigen lumayan dingin, menemani Aira. Juga Beberapa obatnya.

Aira sudah selesai dengan nasi dan ayamnya, ia mencuci piring. Membersihkan peralatan yang tadi ia gunakan, lalu berniat ke kamarnya lagi. Di tengah jalan, kepalanya kembali berputar. Gadis itu berpegangan erat pada tangga. Tak jadi naik, menghempaskan diri di sofa.

Ia hembuskan nafas panjang. "Hhhh.. Aduh..!" rintihnya lemas. Matanya refleks terpejam, namun ia tahan sekuat tenaga. Tapi....

Gelap. Aira pingsan. Terbaring di sofa.

"Mba!! Mba Aira!!!"suara wanita. Mengusap lengannya. Bu Wina, menatapnya khawatir. "Mba pingsan?"

"Ya barangkali, saya tak langsung ke atas. Bu Wina istirahat ya." Aira segera lari ke atas, takut pingsan lagi. Entah berapa lama tadi, Ia pingsan. Tak sadar obatnya Ketinggalan di bawah.

Bu Wina mengantarkannya bersama sebotol besar air. Ia taruh di meja nakas. Sang gadis sudah pulas dan terlihat kelelahan. Jadi tak ia bangunkan.

Aira begitu lelap. Nyenyak.

Paginya, Ia bangun dengan kepala agak berat dan tubuh terasa nyeri. Ada obatnya dan sebotol air di meja nakas. Ia segera meminumnya, setelah melahap roti yang ia simpan di laci.

Lumayan membuatnya segar dan baik-baik saja. Gadis itu menggeliat pelan, meregangkan tubuh. Ia raih ponselnya. Kaget. Beberapa kali Raave menelepon. Ada Ben juga, Adnan. Aira tersenyum.

"Ada keperluan sebenarnya, mereka semua ini. Pagi-pagi begini sudah mengganggu orang!"lirihnya, heran. Ia letakkan ponsel di atas bantal, lalu melangkah ke kamar mandi, 'Berendam di pagi hari, barangkali menyenangkan'batin Aira.

Aira hampir pingsan lagi di bathtub. Entah bagaimana. Suara lantang Bu Wina di depan pintu kamar mandi, membuatnya sadar dan segera menyelesaikan acara menyenangkannya itu. Berpakaian.

"Ketiduran? Saya panggil kenceng kok ga nyaut Mba. Bikin orang khawatir!"tukas Bu Wina. Mengamati wajah sang Nona yang agak pucat.

"Saya pingsan lagi Bu. Ga tahu nih."keluh Aira. Berjalan pelan keluar dari kamar mandi.

"Sudah minum obat?"

Gadis itu mengangguk. Memegangi kepala. Duduk di tepi ranjang. "Bu, minta tolong buatin minuman panas!"pintanya.

Bu Wina mengangguk dan segera pergi. Aira berdiri dan berjalan menuju cermin meja rias. Ada memar biru di leher samping. Dan saat sedikit menaikkan kaos oblong, di punggungnya juga ada. Ia bernafas sangat dalam.

Aira menyesap teh herbal cukup panas dan kue kering keju. Bawaan Bu Wina. Enak sekali.

Raave calling..

"Halo,Raave. Maaf tadi... "

"Kamu baik saja kan? Aira. Kamu mimisan lagi? Udah minum obat? Aku ada meeting Online, jadi... "

"Hei, I'm okay. Don't worry. Ya udah katanya meeting. Sukses ya!"

Terdengar suara hembusan nafas dalam. "Maaf tak bisa kesana. Aku Meeting penting terus dari kemarin. Ada tamu juga dari NY, Ai."

"Ga masalah."

"Ya, istirahatlah. "tutup Raave. Call end.

Gadis itu menyesap lagi tehnya, sengaja duduk di sebelah jendela, menyerap sinar matahari pagi. Hangat dan nyaman.

Nyeri itu berdenyut lagi. Membuatnya tersentak kaget. Aira menegang. Punggungnya seperti dialiri listrik. Ngilu, nyeri. Ia menekuk tubuh. Beranjak dan mencoba berbaring. Tak hilang, semakin berdenyut tak karuan. "Ssshhh.. Hhhh, aduuhh"rintihnya.

Ia bergulung di bed, berusaha meringankan nyerinya. Hingga bercucuran keringat, masih saja tak mau hilang. Gadis itu meraih obat, menenggaknya. Bernafas dalam.

Beberapa saat kemudian, nyeri di punggungnya sedikit mereda. Tapi tak benar-benar hilang.

"Ai.. !" suara seorang laki-laki. Ia menoleh. Adnan berdiri di depan pintu kamarnya yang terbuka, bersama Zii.

"Lho, Kalian...? Pada ga ngantor??"

"Hei, ini Minggu, kaliiii...!!"jawab Zii lugas.

'Minggu juga meeting, Raave?'batin Aira muram. Segera ia tutupi dengan senyum yang terulas manis di depan sahabatnya. Sudah beberapa hari, sang lelaki tak menemuinya. Hanya by phone. Sibuk dengan pekerjaan.

Adnan duduk di sofa. Zii menyamankan diri, di tepi bed, mengamati wajah sang sahabat yang pucat. "Kamu kambuh?"tanyanya dengan nada takut.

Aira menggeleng. "Punggungku nyeri."

"Punggungmu? Apakah saat jatuh di balkonku kemarin itu, Ai?"

"Ga tahu juga. Kan ga sekali dua kali punggungku cedera, Zii. Pas diculik dulu, terus ngalangin Raave dari pukulan orang juga.."cerita Aira. MAsih sedikit meringis.

"Udah minum obat Ai?"sela Adnan. Memandangi kedua perempuan di atas bed.

"Udah, barusan. Oh kalian ini mau kemana?"tanya Aira, kepo. Nyerinya berkurang sedikit demi sedikit. Ia bernafas lega. Menegakkan tubuh.

"Mau ngajak kamu jalan aslinya, sama mau nyerahin ini..." Zii menyahut dengan senyum tipis. Inginnya dengan senyum lebar, tapi kondisi sahabatnya yang tak baik-baik saja, membuatnya tak sanggup tersenyum.

Ia serahkan sebuah amplop berwarna navy dan silver. Sederhana namun tampak elegan.

Tulisan 'The Wedding of Adnan & Zii' tercetak dengan lumayan besar, berwarna silver berkilau.

Aira tersenyum lebar. Memeluk Zii sedemikian rupa. "Ga kerasa ya, akhirnya terjadi juga."gumamnya.

"Iya, Ai. Memang harus terjadi kan?" Adnan menimpali. Ikut mengulas senyum senang.

"Kamu harus istirahat, kalo gitu, kita pa..." Adnan berdiri.

"Heii.. Katanya mau ngajak jalan? Lupa??" Aira protes.

"Kamu harus banyak istirahat, dear!" Zii membelai pipi sahabatnya. Menatapnya khawatir.

"Bilang aja, pengin kencan berdua. Biar ga ada yang ganggu! Gitu kan?"tukas Aira, dengan muka tak ramah.

Zii dan Adnan tergelak. "Pikiranmu udah kemana-mana sih, Ai.! Beneran kamu butuh bedrest, sayangku!" Zii membujuk.

"Aku bosen bedrest terus, Zii."keluh gadis itu.

"Takutnya kalo kamu kita ajak jalan, malah kamu tambah ambruk gitu lohh..!" Adnan menengahi.

"Ah paling juga demam ini, mimisan. Udah biasa kan?!" Aira ngotot.

Zii dan Adnan saling tatap. Kemudian mengangguk pasrah.

"Tapi ga lama Ya, Ai. Kita makan aja, terus kami anter kamu pulang." Zii menghampiri sang sahabat, menangkup wajahnya dengan kedua tangan.

Aira menganggukkan kepala, patuh. Senyumnya terulas lebar. Segera ia bangkit, menuju kamar mandi, untuk ganti baju.

"Jadi, kita sarapan dimana nih? Biasanya Adnan punya recomended place yang oke punya!" Aira terlihat semangat. Sudah siap dengan celana pendek dan kaos ditutup cardigan Oversize. Style yang selalu membuatnya nyaman.

Tak jauh beda dengan Zii, yang hanya kaos oblong dan celana jeans selutut. Santai. Karena hari Minggu, dan hanya akan jalan cari sarapan, bukan ke Mall.

Ketiga sahabat keluar dari kamar. Turun, pamit pada Bu Wina, segera masuk mobil. Melaju dengan santai.

Aira membuka jendela, agar angin pagi masuk ke mobil. Segar dan sejuk. Menyehatkan paru-paru, katanya. Udara di pagi hari.

Zii dan Adnan asyik mengobrol di depan.

Aira menikmati angin. Ponselnya bergetar.

New Messages, Raave, melalui aplikasi chat,

'Kamu mau kemana, Ai? Pagi-pagi?' tulisnya, disertai emoji Wajah datar.

'Cari sarapan sama Zii dan Adnan' balas Aira, cepat.

Dalam hati, membatin, 'Darimana dia tahu aku pergi?'

'Hm. Oke!' balas Raave lagi.

Aira tak membalasnya. Ia masukkan ponsel ke tas. Mendengus pelan.

"Kenapa, Ai?"tegur Adnan, tahu wajah Aira yang seolah sebal.

"Gak apa, Nan. Jadi ini masih lama perjalanan kita?" Ia alihkan pembicaraan.

Zii menoleh. "Raave..?"bisiknya lirih, menebak, penyebab Aira berwajah suram.

Aira mengangguk. "Forget it!"lirihnya.

Adnan membelokkan kemudi ke sebuah taman nan luas. Bukan disebut taman, sebenarnya. Namun Sentra Kuliner lebih tepatnya. Dijadikan satu lokasi agar rapi, tak membuat macet seperti jika para pedagang berjualan di trotoar.

Adnan berhenti di sebuah tempat kosong, baru saja ditempati mobil juga. Menyerahkan uang pada juru parkir. Lalu mengajak kedua perempuan yang sama-sama disayanginya itu, menyibak kerumunan.

Sangat ramai di hari Minggu. Karena memang khusus. Ini merupakan rencana lama Pemerintah Daerah yang baru bisa terealisasi. Lokasinya kebetulan dekat dengan rumah Orangtua Adnan. Jadi nanti akan mampir sebentar.

Adnan berhenti dan masuk ke sebuah tenda lumayan besar, dengan tikar -tikar yang terhampar dan beberapa meja panjang.

"Pagi, Mas Adnan!"sapa seirang wanita paruh baya. Tersenyum ramah. Menghampiri pelanggan setianya.

Adnan tersenyum sopan, "Pagi, Bu. Saya pesan Biasanya ya. Zii, Ai, kalian apa?" Ia lirik kedua perempuan itu.

"Apa sih menunya?" Zii bertanya lirih pada Adnan.

"Nasi Liwet, Nasi Gudeg, Nasi Ayam, Nasi Pecel ya Ada. Ini Mba Zii, atau yang satunya itu?" Bu Harto, Pemilik Kedai menjawab pertanyaan Zii. Membuat gadis itu tersipu.

"Saya Zii Bu. Kok tahu?" Zii heran.

"Saya pasti dateng nanti, ke nikahannya Mas Adnan dan Mba Zii yang cantik." Bu Harto ini seolah menggoda. Rupanya Adnan juga membagi satu Undangan nikah mereka, pada seorang Wanita ramah Pemilik Kedai Gudeg.

Aira cekikikan sendiri. Menutup mulut menahan geli.

"Nah, kalo Mba manis satunya mau apa, sayang?" Bu Harto menatap Aira.

"Saya Nasi Gudeg komplit ya Bu. Minumnya jeruk anget. Ada perkedel Bu atau sate apa gitu?" Aira nyerocos. Ia berbinar. Masih bisa menemukan kuliner khas daerah Selatan Jawa ini di kota Pahlawan.

Dan nampaknya Bu Harto sendiri berlogat khas Jogja, barangkali. Aira menilai.

"Iya maaf, saya baru buka. Nanti saya keluarkan perlengkapannya, Mba manis. Jadi Mba Zii cantik pesan apa?" Bu Harto kembali pada Zii.

"Sama kayak Adnan, Bu!"jawab Zii.

"Oke, siapp!!" Sang wanita Pemilik kedai berlalu, menuju ke tempat pengolahan. Memproses pesanan Adnan dan teman-teman.

Zii menatap Aira. "Kamu oke, kan? Ga rasain yang aneh-aneh apa gitu, kan?"

"Ga! Kenapa sih?" Aira menjawab dengan bingung.

"Kami cuma takut kamu ambruk, sayang."

"Kan mau sarapan Nasi Gudeg, dijamin Zii, aku fine fine aja kok!" Aira mengerling. Mengusap lengan Zii. Menunjukkan juga beberapa tablet yang Ia bawa, di satu plastik obat khusus.

Adnan ikut tersenyum lebar. "Jangan terlalu parno gitu, Zii!" Ia mengingatkan Zii. Mengacak rambut calon istrinya itu lembut.

Karyawan kedai mulai menata perlengkapan makan di meja. Sendok, garpu, aneka sate yang menggugah selera Aira. Ingin rasanya Ia lahap semua yang ada di nampan besar itu.

Juga Perkedel favoritnya. Aneka kerupuk tertata rapi di toplesnya.

Aira segera mengambil perkedel, melahapnya dengan riang. Lalu sate Ati Ampela Ayam. Habis dua tusuk. Ia benar-benar senang, Diajak Adnan ke tempat ini.

Zii dan Adnan melongo. "Zii yang hamil, kamu yang banyak makan, Ai" Adnan berkomentar. Terkekeh.

To be continued....