Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 74 - "APA ITU SEPADAN..?"

Chapter 74 - "APA ITU SEPADAN..?"

Raave menunduk sekilas sambil tertawa kecil. "Aira yang memilihnya, Om. Saya hanya menemani."ujarnya, bohong. Tersipu.

"Hm. Benarkah?? Kamu menemani dan juga membayar ini semua. Benar begitu, kan, Nak Raave? Nak, Om dan Tante sungkan, jika bingkisan saja sebanyak ini."balas Tuan Harsena. Wajahnya tampak tak enak hati.

Raave maju sedikit. Mencondongkan tubuh ke arah Tuan Harsena, yang duduk berhadapan dengannya. Meraih tangan pria seusia Ayahnya itu, "Kali ini, tolong diterima Om. Jangan dikembalikan! Please!"bisiknya, memohon. Tatapannya dalam.

Sang Papa tersenyum penuh arti, mengusap tangan Raave juga. Mengangguk. Tanpa bicara apa-apa.

"Terima kasih Om, Tante."ujar Raave tulus.

Tuan dan Nyonya Harsena tersenyum senang. "Oh, Nak, kamu ini, asli dari Surabaya?"tanya Ibunda Aira.

"Iya, Tante. Mama asli Surabaya. Kalau Papa campuran. Surabaya Semarang."jawab Raave.

Orangtua Aira mengangguk mengerti.

"Baiklah Om, Tante. Maaf, saya pamit. Saya juga ada beberapa meeting sebentar lagi." Raave berdiri. Diikuti kedua suami istri itu.

"Iya, Nak Raave. Nanti biar Om yang video call Aira." Tuan Harsena menepuk pundak Raave. Memeluknya sekilas.

"Terima kasih banyak untuk semua ini, Nak Raave!" Nyonya Harsena tersenyum tulus.

"Sama-sama Tante. Saya pergi." pamit Raave. Melangkah perlahan keluar dari rumah itu.

Tuan dan Nyonya Harsena mengantarnya hingga ke gerbang. Kemudian membalas lambaian Raave, yang tersenyum sopan.

Kedua orang terkasih Aira itu saling pandang kemudian. Tuan Harsena mengerling. "Mam, kamu mau punya mantu seperti dia?"

"Husssshhh.. Dia hanya dekat dengan Aira, Pap. Jangan aneh-aneh!"tukas istrinya. Merengut, tapi lalu tersenyum.

"Aneh dimananya. Yang namanya dekat itu nanti pasti lama lama saling jatuh cinta, lalu menjadi sepasang kekasih." Pria itu menggandeng istrinya masuk rumah, kemudian menutup pintu. Melanjutkan candaan, khayalan jika saja Raave dan Aira menikah.

**

Beberapa Hari Kemudian.

Prudence Construction

"Zii, bisa ke ruanganku?" Prue memanggil Zii. Melalui saluran internal kantor.

"Baik, Miss!" jawab Zii, bergegas membawa beberapa berkas yang Siap Ia laporkan, juga sebuah amplop putih panjang.

Ia berjalan mantap ke ruangan sang pimpinan.

Tok.. Tok..

"Ya!"

Zii mendorong pintu pelan. Tersenyum sopan pada sang Boss.

Prue meminta Zii duduk. Wajahnya tampak datar, tapi tegang. Ia berdiri, bersandar di meja kerjanya, melipat tangan di dada. Memperhatikan Zii yang duduk di sofa.

"Kamu tentu tahu, Pranaja Tech berhenti mendanai project kita, dan membatalkan semua kerjasama!" Prue bicara dengan nada sedikit ketus.

Zii mengangguk, ia mendongak menatap perempuan itu. "Ya,.."

"Semua karena aku mendorong sahabatmu jatuh waktu itu! Apakah itu sepadan Zii, menurutmu?"tanya Prue. Tatapannya tajam pada Zii.

Zii menunduk sekilas. Kemudian mendongak lagi. Menjawab dengan penuh keyakinan, "Saya tak akan bilang itu sepadan atau tidak, Miss Prue. Karena pertama, Perusahaan ini tempat saya bekerja. Kedua, Aira adalah sahabat saya. Jadi ya, itu jawaban saya. Maaf jika mungkin mengecewakan Anda."

Prue berjalan pelan, "Hm. Baiklah Zii. Ya. Raave memang mencintai Aira, sahabatmu, kurasa. Hingga begitu hebat dampaknya."

Ia menatap Zii lagi, kali ini datar. "Aku tak bisa , Zii. Berhadapan dengan seseorang yang dekat dengan rivalku."

Zii mengangguk. "Saya paham, Miss."

"Bagus, jika kau paham. Jadi, kau bisa meningalkan kantor ini mulai sekarang." Prue kembali ke mejanya, duduk tegak. Dadanya membusung. Ekspresinya tak tertebak.

Zii berdiri. "Ini berkas terbaru, Miss. Dan ini saya buat kemarin, sebelum Anda bicara pada saya, pagi ini. Terima kasih atas semuanya."pamit Zii. menundukkan kepala perlahan. Meninggalkan map warna hijau dan merah dengan amplop putih panjang di atasnya. Amplop bertuliskan 'Surat Pengunduran Diri'

Ia melangkah pelan keluar. Setengah berlari ke ruangannya. Memberesi semua barang. Dan pamit pada beberapa Staff yang terlihat sedih, Ia pergi.

Berjalan anggun keluar dari kantor yang hampir 10tahun menaunginya. Tapi tak ada sedikitpun ekspresi sedih di wajahnya. Ia santai. Justru tersenyum, seolah bebas.

Perempuan itu masuk mobil, Usai menata barangnya di bagasi. Ia pakai earsetnya. Menghubungi sang calon suami. Adnan.

"Hai, dear.."sapa lelaki itu.

"Hai juga, Nan. Aku out dari Prudence."balasnya, langsung pada topik.

"Hm. Oke. Nanti aku pasti bantu cari posisi di Perusahaan lain. Tenang saja. Semangaaattt..!!!" Adnan menyemangati Zii.

Zii tertawa kecil. "Thanks Babe!"

"Sama-sama. Udah maem?"

"Kan belum jam makan siang ini!"

"Eh lupa! Setelah ini ke?"

"Ehmm.. Aira di rumah ga ya?"

"Ga. Dia di BookShop. Aku habis hubungi dia tadi."

"Oh gitu. Sayang sekali. Padahal aku pengin ke rumah dia."

"Nanti sore aja. Kalo dia pulang. Kamu istirahat aja mungkin. Santai di rumah"saran Adnan.

"Ya udah deh ,Nan. Kamu jaga kesehatan ya. Met kerja Daddy...!"tutup Zii, sedikit menggoda Adnan.

Terdengar Adnan tergelak pelan, namun membalas perempuannya. "Iya. Kamu juga ya, Mommy!"

Call end.

Ia simpan ponsel. Mulai melaju kencang. Pulang.

Sore harinya...

Zii benar-benar ke rumah sahabatnya. Sejak pulang dari Semarang, Ia hanya menengok Aira sekali di rumahnya. Itupun hanya sebentar, karena saat itu sudah harus ngantor.

Mereka bertemu di halaman. Aira baru saja keluar dari SUV hitamnya. Terlihat lelah.

"Aii..!!"panggil Zii semangat. Dibawanya sebuah paperbag dari kedai burger.

Aira menoleh, tersenyum lebar.. Merentangkan tangan. "Hai, dear..!!"

Mereka berpelukan sekilas. Aira mengajak Zii masuk. Aroma masakan langsung tercium. Bu Wina entah sedang mengolah apa.

Zii duduk di depan TV, membongkar paperbagnya. Sementara Aira segera naik ke kamar. Membersihkan diri, sekalian. Biasanya, jika sahabatnya itu ke rumahnya, Ia pasti malas mandi.

Zii menyalakan Tv. Memilih channel film barat yang kebetulan ditayangkan. Film lama.

Aira turun, 20menit kemudian. Bergabung dengan Zii duduk di atas karpet. "Hm.. Burger keju, Zii??"matanya berbinar cerah. Mengendus aroma yang menguar.

"Yeah. For you. Let's enjoy it!! Filmnya bagus Ai!"jawab Zii, matanya tak beralih. Mulut sibuk mengunyah makanan. Sesekali meneguk sebotol soda jeruk yang Ia beli.

Aira mengambil Burgernya. Menggigitnya perlahan, sambil bersandar di sofa. Menyamankan diri. Ini hari pertamanya, ke BookShop lagi. Sesungguhnya tadi, saat akan pulang, Aira berencana akan langsung tidur, usai makan dan minum obat.

Tapi apa daya?? Zii datang mampir. Membawa Burger yang lezat. Sebotol teh apel. Aira kurang suka minum soda. Lebih baik ia minum teh atau kopi. Cappuccino maksudnya.

Hening. Diam. Tak ada satupun yang bicara. Atau membuka obrolan lebih dulu.

Bu Wina berteriak dari dapur. "Mba..!! Saya bikin bakso goreng tapi ga pedes! Mauu??"

"Mauuuu..!!"jawab Aira dan Zii bersamaan. Mereka saling tatap. Terkekeh geli.

"Kamu kenapa, Zii? Ada masalah apa?"tanya Aira, mengorek isi hati sahabatnya.

Zii menatap Aira dalam. Setelah menyuapkan potongan burger terakhirnya. Mendesah panjang. "Aku resign dan sekaligus dipecat dari Prudence, Ai.."jawabnya.

Aira ternganga. Botol minum di tangannya hampir lepas. Ia benar benar kaget. "Apaaa..???!!"

Zii tersenyum. Membelai pipi Aira.

"Zii, kenapa??? Coba cerita deh!!" Aira gusar. Ia jejalkan si burger ke mulut. Mengunyahnya cepat, mendorongnya dengan minuman.

"Ya, sebenarnya aku udah buat surat pengunduran diri, Ai. Kemarin. Maksudku hari ini, aku mau kasih itu. Eh.. Ga tahunya, aku diundang ke kantor Prue. Dia emosi saat Raave menghentikan semua kerjasama dan pendanaan Project. Aku ditanya pendapat, apa sepadan, gara-gara mendorongmu jatuh. Pranaja Tech berbuat begitu."

"Terus??!"

"Aku bilang, yaaa.. Kamu sahabatku Ai. Prudence tempatku kerja. Aku ga bilang sepadan atau ga. Biar dia nilai sendiri jawabanku."cerita Zii. Ia teguk lagi sodanya hingga habis.

Aira muram. "Zii, apa gara-gara aku. Kamu kehilangan pekerjaan??"

"Ga Ai. Aku udah buat surat itu dulu kan, bahkan sebelum Prue memecatku. Dan aku ga menyesal sama sekali. Justru aku lega dan bebas sekarang. Aku bisa membelamu, karena kamu sahabatku." Zii peluk sahabatnya erat.

Aira meringis. Punggungnya masih sedikit nyeri. "Pelan Zii..! Punggungku masih lumayan sakit"

"Sorry, sayang!" Zii melepaskan Aira. Kembali duduk normal.

"Kamu ga usah pikiran, Ai. Adnan akan cariin aku kerja lagi kok. Tenang dan santai aja. Aku kan juga sambil cari sendiri" Zii mengusap-usap lengan Aira yang tetap saja tampak muram.

Bu Wina meletakkan bakso goreng di depan kedua perempuan itu. Juga seteko air kelapa dingin dengan potongan jeruk nipis. Segaarr..!

Aira segera menuangnya ke gelas. Meneguknya. Bernafas lega. "Aku juga akan bantu cari Zii."gumam Aira. Memandang sendu Zii.

"Thanks banget, dear..!" perempuan itu tersenyum penuh makna.

"Hm, gimana kondisimu? Masih pada nyeri, Ai?"tanya Zii, khawatir. Ia ambil beberapa butir bakso. Yang tanpa waktu lama masuk ke mulut, langsung ke perut.

Airapun tak kalah. Mencomot bakso, sambil mengamati film yang sedang tayang. "Ya, masih nyeri, kalo aku buat aktifitas berat. Banget. Udah dikasih obat juga kok. Untungnya sakitku ga kambuh, Zii. Bisa berapa lama aku di Rumah sakit??"

"Iya. Oh berarti kan kamu ga jadi ke rumah MamaPapa. Terus??"

"Raave yang kesana ngantar bingkisan. Ya, terpaksa bohong. Pas Papa video call aku aja, ga aku angkat. Tak suruh telepon biasa aja"

"Lhooo.. Kenapa?"

"Aku masih pakai penyangga leher. Baru kemarin kulepas. Padahal udah dari kemarin kemarin ga sakit, leherku"cerita Aira.

Zii mendengarkan cerita sahabatnya dengan penuh perhatian. "Maaf ya Ai, aku jarang nengok kamu,"gumamnya.

"Ga masalah, kamu juga sibuk ngantor lagi kan."

Zii mengangguk. "Raave sungguh sayang dan cinta padamu, Ai!"bisiknya.

Aira tersenyum penuh arti. 'Apa itu benar,Zii? Jikalau itu benar, aku akan sangat bahagia sekali. Tapi, Raave tak pernah sekalipun mengungkapkan isi hatinya. Aku sengaja tak cerita padamu, sahabatku. Karena kamu pasti akan khawatir lagi, sedih.' batin Aira. Mereka melanjutkan acara nonton dan makan bakso goreng nikmat buatan tangan Bu Wina.

Menjelang gelap. Adnan datang. Membawa makanan lagi. Seblak tak pedas untuk Zii, dan Pempek untuk Aira. "Makasih, Adnan..!" ujar Aira dan Zii. Bersamaan lagi.

Membuat mereka berdua terbahak hingga sakit perut. Daritadi barengan terus.

Adnan ijin memakai toilet, ingin cuci muka dan tangan. Setelah bersih, Ia duduk di sisi calon istrinya. Membelai pipi dan kepala. "Wajahmu ga nampak sedih sedikitpun."

"Aku ga sedih. Malah lega. Plong gitu" Zii merentangkan tangan.

Aira pura-pura memencet hidung. Menatap tak senang pada sahabatnya.

"Hei, Ai. Aku udah mandi, wooiii..!!"teriaknya sambil tertawa.

"Hahahahahh.. Becandaaa...!!serius amat!"

Aira tergelak. Ia minum sisa air di gelasnya.

"Kalian makan malam di sini ya."ajak Aira.

Zii dan Adnan saling pandang. "Sorry, Ai. Aku mau ngajak dia beli sayuran." Adnan menyesal.

"Malam gini?"

"Iya, di pasar deket rumah ada. Mau ngajak dia jalan juga. Kamu juga harus banyak rehat kan?" Adnan kembali beralasan.

Aira mengangguk. Entah itu benar atau tidak, Ia tak akan ambil pusing.

*