Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 73 - OLEH - OLEH

Chapter 73 - OLEH - OLEH

Resto sederhana tapi banyak pengunjungnya. Terkenal dengan menunya yang otentik. Yang tak ditemui di Resto lain di kota Atlas.

Zii dan Adnanlah yang mengatur. Ide Adnan yang mau tidak mau didukung oleh Zii.

"Jadi, Pak Wijaya, kedatangan kami ke Semarang, untuk meminta Nak Ziianita, putri Bapak dan Ibu Wijaya, untuk menjadi istri dari Keponakan tersayang kami, Adnan Putra. Saya selaku adik dari Bapak Permana, menyampaikan maksud dan niat yang baik pada keluarga Pak Wijaya." Om Putra, adik Papa Adnan, to the point.

Tuan dan Nyonya Wijaya tersenyum sopan. Menganggukan kepala. Memang sudah tahu maksud dan tujuan, keluarga kekasih putrinya itu datang.

"Baik, kami menerima niat dan maksud baik Keluarga Bapak Permana. Nampaknya saya tak perlu lagi bertanya pada Putri saya, apakah dia mau atau tidak. Karena sudah pasti mau!"jawab Tuan Wijaya. Menatap putrinya.

Semua tergelak.

"Jadi, untuk selanjutnya rencana peresmiannya, kita diskusikan bersama di sini?"

"Mereka ini anak muda berjiwa bebas, Tuan Wijaya. Jadi menurut rencana, mereka sendiri yang akan mengatur. Hanya acara sederhana saja."lanjut Tuan Permana.

Makanan datang. Tuan Wijaya dan sang istri mempersilahkan para tamu untuk menikmati hidangan.

Dua keluarga yang mulai akrab itu, menyantap makan malam, sambil sesekali berbincang ringan.

Orangtua Zii , masih mempercayai tradisi mencari hari baik sebelum menikah.

Sementara Orangtua Adnan hanya ikut saja. Mereka juga sempat tinggal lama di Semarang, sebelum kemudian pindah Dinas ke Surabaya.

Adnan tinggal terpisah, karena mencari tempat yang dekat dengan kantor. Apalagi kesibukannya sebagai Head Manager, menuntutnya untuk selalu on time dan serba cepat.

Kedua keluarga yang sebentar lagi akan menjadi satu itu, makan malam dengan menyenangkan. Sedikit hiburan khusus Resto di Sabtu malam. Live Musik, membuat suasana semakin hangat.

Ditambah dengan hidangan penutup yang lezat dan menyegarkan. Membuat mood jadi lebih baik.

Zii dan Adnan tersenyum bahagia.

*

Rumah Sakit

"Kamu tak hubungi PapaMama?"tanya Raave sendu. Ia genggam tangan Aira. Menatapnya dalam.

Aira menggeleng. "Berapa lama lagi leherku harus menggunakan penyangga, Raave?"

"Biar Dokter periksa. Apa sudah bisa dilepas? Nanti Beliau kesini, cek"jawab Raave.

Minggu sore yang cerah. "Raave, apa kita langsung pulang saja, ke Surabaya?"tanya Aira.

Raave kaget, memandangi gadis itu heran. "Kamu tak ingin bertemu PapaMama? Tak rindu mereka??"

"Rindu, tapi jika kondisiku seperti ini... "

"Tenanglah Ai. Penyangga lehermu mungkin sudah bisa dilepas sebentar lagi. Sabar. " Raave berusaha menenangkan Aira. Sambil menekan tombol Nurse Call.

beberapa saat kemudian seorang perawat datang. Tersenyum ramah pada Aira dan Raave. "Sus, kapan penyangga leher ini bisa dilepas?"tanya Aira. Mengerutkan alis.

"Jika kondisi Mba Aira sudah memungkinkan. Biar Dokter yang memeriksa dulu setelah ini, lalu bisa memutuskan" jawab Si perawat, tersenyum manis, tangannya sibuk mengganti infus Aira yang habis.

Gadis itu mendengus. Bibirnya maju beberapa senti ke depan.

Raave tertawa kecil, pun sang Perawat. "Sabar ya, Mba Aira. Kalau cederanya sudah pulih, pasti dilepas. Penyangga ini menjaga agar tidak terasa nyeri."

"Sudah ga nyeri kok, Sus. Boleh dibuka sekarang??" Aira ngotot.

"Tunggu Dokter ya, sebentar lagi beliau datang."balas Perawat lagi, sabar.

Raave hanya memperhatikan, sambil melipat tangan di dada. Sesekali memijat pangkal hidungnya. Terkikik geli.

"Kamu menertawakanku, Raave??!" Aira mendelik menatap Raave. Sepertinya tahu jika lelaki itu tertawa geli.

Sang Lelaki mendekat. "Siapa yang menertawakan seorang gadis, yang harus menggunakan penyangga leher, karena jatuh oleh seorang perempuan nekat? Hm?" Ia cubit dagu Aira.

"Aku hanya geli dengan ekspresimu. Harus memakai penyangga itu." aku Raave.

Perawat undur diri. Usai memberesi infus kosong dan memastikan Aira stabil.

"Atau kuantarkan saja, oleh-oleh untuk MamaPapa?"Saran Raave. Tampak berpikir.

"Kamu tahu rumah PapaMama?"Aira menatap heran lelakinya.

"Hm, Aira. Aku adalah Raave Pranaja, pemilik sekaligus CEO perusahaan IT terbesar di negeri ini! Hanya alamat saja, itu sama dengan membalik telapak tangan, dear!" angkuhnya kumat lagi. Sang lelaki tersenyum miring. Kemudian mengutak atik ponsel. Selanjutnya menghubungi Gio.

Meminta sekretarisnya itu mencari rumah Orangtua gadisnya.

"Tapi jika nanti kamu ditanya, aku kemana? Kamu mau jawab apa, Raave?"tanya Aira lagi.

"Aku bisa bilang, kamu ada pertemuan atau apa, penting. Jadi hanya titip bingkisan. Tapi... Kamu harus ke sini lagi, jika kamu luang, Ai. Agar mereka tak kecewa." Ide Raave boleh juga.

Aira mengangguk sendu. "Maaf jika harus selalu merepotkanmu, saat aku sakit begini, Raave." suaranya gemetar. Bulir beningnya luruh dari sudut mata.

Sang lelaki merengkuhnya erat dalam dekapan. Membenamkannya di dada. "Jangan bilang begitu, Ai. Kamu berulang kali terluka juga karena aku kan? Jadi..."

"Kamu merasa bertanggung jawab menjagaku hingga sembuh?"

"Kamu terlalu overthinking padaku. Bisakah tidak begitu lagi?" Raave mengusap kepala Aira.

"Aku hanya merasa.... Tak pantas untukmu..."

Raave mendesah panjang. Melepas pelukannya. Menangkup wajah Aira dengan kedua tangan. "Dengar, aku tak pernah ada perasaan bersalah atau apapun itu."

"Terima kasih, Raave."balas Aira, mengusap matanya.

Raave mengangguk. Dibelainya pipi gadis itu, lalu Ia kecup lembut bibirnya. "Aku ke rumah PapaMama sekarang aja ya. Kamu ga apa-apa kan sendiri, bentar?"

"Ya. Terima kasih sekali lagi, Raave." Aira menggenggam tangan lelakinya. Erat, Tersenyum.

Raave memandangi gadis itu, lalu memperhatikan tangannya. Mereka saling pandang akhirnya.

"Ada apa Raave? Katanya mau berangkat sekarang?" Aira bingung. Melihat lelaki itu diam saja, malah cengengesan sendiri.

"Aku boleh berangkat sekarang?"tanya Raave. Suaranya seolah menahan tawa.

"Tentu saja!" Aira linglung.

"Bagaimana aku bisa berangkat, jika tanganku, kamu genggam begitu erat??" Raave memijat pelan hidung Aira.

Seketika, sang gadis melepaskan tangan lelaki itu. Terkekeh geli. Menutup mulut. "Maaafff...heheh..!"

"Oke, aku pergi ya, kamu tidurlah."pamit Raave. Mencium kening Aira. Melangkah keluar kamar.

Ia perintahkan beberapa Staffnya menjaga gadis itu di luar kamar. Ya, Raave sempat menghubungi Staff khusus, ketika Ia diancam Prue yang akan mencelakai Aira.

Tapi nyatanya, Aira tetap terluka. Kejadian yang sama sekali tak diduganya.

Raave masuk mobil. "Luke, buka pesan dari Gio. Ikuti rutenya, Biar cepat. Aku meninggalkan Aira sendirian."perintahnya, tegas.

"Oke, Sir!!" Luke mulai membuka ponsel, memproses pesan dari Gio Sementara Oscar mengemudi.

Hitungan detik, Oscar melaju sesuai rute di ponsel pintar Luke. Jalur tercepat.

Suara dengkuran halus membuat Luke dan Oscar menoleh.

Kedua lelaki itu geleng-geleng kepala, menyaksikan Tuan muda mereka terlelap, dengan masih berkacamata hitam.

Beberapa saat berlalu, "Sir,..??"panggil Luke kencang.

Raave membuka mata. Ia lepas kacamatanya. "Kita sampai??"

"Iya, Sir. Rumah itu. Gerbang kayu ukir."jawab Luke menunjuk sebuah rumah yang didominasi warna kayu, di depan mereka.

"Hm. Oke. Aduh sial. Apakah aku tampak seperti bangun tidur?"tanya Raave pada Staffnya.

Kedua Staffnya menatap Raave, setelah saling pandang heran. Menggeleng bersama. "Tidak, Tuan. Anda menawan seperti biasanya."

Raave tersenyum puas. "Hm. Sudah kuduga!" Ia segera keluar dari mobil. Membuat Luke dan Oscar mendelik lucu.

Ia berjalan, menuju rumah gerbang kayu. Membukanya pelan. Masuk ke halaman. Sejenak terpana, halaman yang sangat hijau, dengan kolam ikan. Suara gemericik air dari water fountain.

Lelaki itu melangkah ke pintu. Sebelumnya Ia celingak-celinguk, seperti maling saja. Ia kode Oscar untuk parkir di depan gerbang.

Ia ketuk pintunya. Menunggu. Ketuk lagi dua menit kemudian. Terdengar langkah seseorang, lalu...

Klleekkkk...

Pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya tersenyum ramah. "Ya, ada yang bisa dibantu? Cari siapa Mas?"

"Ehemm. Tuan dan Nyonya Harsena ada?" Raave membalas sapaan sang wanita.

Si wanita mengangguk. Membuka pintu lebih lebar, "Ada, mari silahkan masuk dan duduk dulu. Saya panggilkan." Ia mempersilahkan Raave duduk di sofa panjang.

Lelaki itu melihat-lihat suasana rumah gadisnya. Duduk santai. Kagum dengan nuansa adat jawa yang masih kental. Aneka ukiran dan hiasan wayang, gamelan mini.

Juga Tersenyum, kala Ia jumpai foto Aira jaman sekolah, terpampang di dinding. "Kamu memang manis, Ai!"lirihnya tanpa sadar.

Seorang wanita dan pria seusia Orangtuanya, tebak Raave, Keluar. Tersenyum sopan kepadanya. Sedikit sungkan.

"Selamat sore, Tuan dan Nyonya Harsena.." sapa Raave dengan suara yang dimanis-maniskan. Ia terkikik geli sendiri di dalam hati. Jika Aira melihat ini, apa jadinya?

"Selamat sore.. Maaf, dengan siapa saya bicara?" Tuan Harsena menjawab sapaan Raave. Nampaknya kagum dengan parasnya yang menawan.

Raave ulurkan tangannya. "Saya Raave, Tuan Harsena. Salam kenal."

Tuan Harsena menyambut uluran tangan Raave. Terkejut bukan main. Pun sang istri.

"Nak Raave? Teman dekat Aira?? Yang pernah..." Nyonya Harsena terbata.

"Betul"

Sepasang suami istri itu menatap takjub pada Raave. "Duduk, Nak Raave! Kamu sangat tampan sekali. Sumpah! Kami kaget!" Papa Aira duduk dan masih sedikit gemetar kelihatannya.

Raave duduk dan tersenyum. "Maaf jika saya mengagetkan Anda berdua."ujarnya, grogi juga rasanya. Jantungnya berdebar kencang. Kenapa baru sekarang?

"Apa kabarmu Nak Raave. Baik saja, kan?"tanya Ibunda Aira.

"Ya, saya baik"

"Jadi, kenapa Kamu datang sendiri kesini? Lalu dimana Aira? Dia tak ikut?" Tuan Harsena menatap Raave. Berharap.

"Iya, Tuan saya... "

"Kenapa panggil Tuan?panggil saja, Om dan Tante, begitu Nak Raave"potong Ayahanda Aira lagi.

"Baiklah. Om. Jadi saya hanya ingin memberikan sesuatu.. "

Raave memasang handsfree. "Luke, turunkan semua bingkisan di mobil!!"perintahnya.

"Baik, Sir!"

Raave kembali fokus pada orangtua Aira. "Aira berpesan pada saya, minta maaf, karena dia masih ada pertemuan sangat penting dengan klien dan relasi. Jadi tak bisa mampir. Namun saat luang, pasti dia akan kesini, Om, Tante!"

Kedua orangtua Aira saling tatap heran."Tapi kenapa Aira tak menghubungi kami, Nak?"

"Awalnya, dia ingin buat kejutan untuk Om dan Tante dengan datang mendadak, begitu. Tapi ternyata, kliennya memintanya menyelesaikan urusan mereka dulu."jelas Raave panjang lebar.

Tuan Harsena mengangguk paham.

Luke muncul di ambang pintu, membawa sekeranjang buah dan tiga paperbag kecil.

Oscar menyusul kemudian, membawa sebuah paperbag besar dan beberapa kotak cake.

Tuan dan Nyonya Harsena sedikit kaget.

Sejurus kemudian, Papa Aira itu tersenyum, "Nak Raave...?"

"Ya, Om?"

Luke dan Oscar meletakkan kotak di meja, sedangkan Mama Aira meletakkan keranjang buah, di meja kecil. Semua Paperbag ditaruh juga di meja. Mereka berdua pamit undur diri.

"Ini semua bukan Aira. Tapi dari Nak Raave kan??" Tuan Harsena menatap lekat Raave. Dalam. Sang istri juga menatap teman dekat putrinya ini, lekat. Masih juga terpana dengan tampannya sang lelaki.

To be continued...