Perjalanan terasa panjang. Dua setengah jam terus-menerus di dalam mobil, membuat Adnan memutuskan berhenti di sebuah Rest Area. Luas dan fasilitasnya lengkap.
Orangtua Adnan beserta Om dan Tantenya ke kamar kecil dan beli cemilan. Sementara Adnan, sekalian Mengisi bahan bakar. Mobilnya agak rewel, jika bahan bakar tidak penuh, agak tersendat saat dibawa ngebut.
Sementara mobil Raave mulus saja. Tanpa kendala. Tentu saja, sopir dan Staffnya yang tak sedikit, tak akan membiarkan mobil milik sang Tuan bermasalah. Walau hanya sekedar ban kempis.
Raave pamit pada Aira ke kamar kecil, saat Adnan mengisi bahan bakar. Aira tetap di mobil, Lagipula tak ada alasan untuknya keluar. Semua yang dibutuhkannya sudah disediakan Raave, lengkap. Cemilan, air dingin. Permen.
Ia hubungi Zii,
"Hai Neng..!"sapa Aira.
"Hai, dear. Aku baru bangun, kamu di dalam mobil saja, Hm? Tak ingin cuci muka atau buang air kecil?" Zii menjawab, sambil menguap. Membuka pintu mobil. Berjalan ke arah mobil Raave.
Call end.
Aira menurunkan kaca jendela. Membuka pintu juga. Tersenyum pada Zii.
"Heemmmm.. Pantas ga keluar, suasana nyaman gini. Betah deh!"komentar Zii, menatap takjub suasana di dalam mobil Raave. Aira duduk nyaman di jok mobil yang tampak empuk, ditemani bantal kecil. Selembar selimut tebal. Minuman dingin di sisinya. Cemilan. Dan... Luaass.
Aira ikut keluar juga akhirnya. Lagipula Luke dan Oscar juga ke toilet.
Ia dan Zii ke toilet bersama. Sedikit melirik mobil Prue yang tampak adem ayem saja. "Bossmu betah juga di dalam mobilnya!"celetuk Aira. Menyenggol lengan Zii.
"Hm, ya. Aku ga pikirin banget banget. Terserah dia. Yang mau ikut dia sendiri juga, Ai!"jawab Zii cuek.
Mereka masuk ke toilet, lalu keluar beberapa menit kemudian dengan wajah yang segar.
Zii berbelok ke minimarket. Ingin membeli cemilan. Tapi Aira menahannya. "Aku kasih punyaku aja tadi, kamu ga usah beli! Banyak banget, sumpah!!"bisik Aira.
"Hei, itu yang beli Raave kan??"
"Ga apa!!" Aira menarik Zii, ke mobil Raave. Memasukkan beberapa keripik dan minuman ringan ke dalam kantong, lalu menyerahkannya pada Zii.
"Thanks, darling. Emmuuaacchh!!" Zii mencium jauh sahabatnya. Lalu kembali ke mobil.
Aira terkekeh geli. Gadis itu menutup pintu mobil. Bersandar lagi. Para lelaki di mobilnya belum kembali. Ia pakai earset, memutar playlist lewat ponsel. Sedikit bergoyang, kala lagu up beat mengalun.
Oscar dan Luke kembali.
"Hai, Nona Aira. Saya Oscar." Oscar mengulurkan tangan pada Aira.
"Hai juga, Tuan Oscar."jawab Aira sopan, menjabat tangan si Staff.
"Nona, jangan panggil saya Tuan. Saya hanya Staff Mr Raave." Oscar nampak sungkan.
Aira tersenyum. Memelankan volume playlistnya.
"Nona Aira memang begitu, Osc. Dia menghormati orang lain, tak peduli apa profesi mereka"timpal Luke. Menoleh, tersenyum pada sang gadis. Kemudian memandang lurus ke depan lagi, dan seketika ekspresinya berubah.
Aira meneruskan obrolan ringan dengan Oscar.
Luke menoleh lagi menatap Aira. 'Tak mungkin Nona Aira tak melihat! Tapi dia kelihatan biasa saja!!'batinnya.
Prue menggelayut di lengan Raave. Entah darimana mereka. Sang lelaki tampak selalu melepaskan tangan sang perempuan, yang berusaha memegang tangannya.
Aira dan Oscar berhenti berbincang.
Gadis itu kembali bersandar santai, sambil mengencangkan lagi volume playlist.
Luke menunjuk pemandangan di depannya, Oscar kaget. Menoleh pada Aira, yang malah asyik mendengarkan musik, sambil membaca Novel.
Raave masuk mobil. Menutup pintunya dengan suara keras. Wajahnya tegang. Sejurus kemudian, Adnan sudah melaju lagi. Meneruskan perjalanan.
Luke ikut melaju.
Raave menatap Aira yang masih membaca. Lalu membelai pipinya.
Aira tersentak. Ia simpan novel, mematikan playlist, kemudian mengulas senyum pada Raave. "Darimana? Kok lama?"tanyanya. Membuat Raave semakin tegang.
Pun kedua lelaki di depan.
"Aku diajak Prue makan sebentar tadi."jawab Raave, entah bohong atau tidak.
Aira hanya mengangguk. Lalu kembali bersandar,
"Maaf, Ai.. "
"Ga masalah. Yaaa.. Mau gimana lagi.."balas Aira. Enteng.
Kedua lelaki di depan saling pandang.
"Aku ga ada maksud bikin kamu cemburu. Ini... " kata-kata Raave terpotong.
"Iyaaa.. Udah ah ga usah dibahas lagi."tukas Aira. Dipejamkannya mata. Tidur. 'Daripada cemburu, mendingan tidoorr..!'gusarnya dalam hati.
"Aku tak tidur ya"ujarnya, tanpa menatap sang lelaki. Merem begitu saja.
Terdengar samar, Raave bicara pelan pada Oscar dan Luke.
Aira tak peduli. Ia tertidur pulas dalam sekejap. Mungkin karena habis minum obat.
Beberapa waktu kemudian, ketika terbangun. Ia berbaring di pangkuan Raave. Dengan tangan sang lelaki yang melingkar di tubuhnya. Sedangkan empunya memejamkan mata, bersandar.
Tapi anehnya, rahangnya tegang, tampak tak tenang, seperti berpura-pura tidur. Aira bangun, Benar saja, Raave ikut menegakkan tubuhnya.
"Kamu sudah bangun? Kita sudah di Semarang, Ai!"ujar Raave. Suaranya berat.
"Kamu baik saja?"tanya Aira. Membelai wajah lelaki itu yang memerah dan gelisah.
Raave mengangguk, tersenyum. Mengusap tangan sang gadis di wajahnya. Berusaha terlihat santai dan tenang. Tapi nyatanya, gadisnya tetap bisa membaca raut mukanya sejelas membaca Novel.
"Jangan bohong, Raave!"balas Aira. "Kamu sakit?" Ia raba leher dan kening si lelaki. Biasa saja, tak panas. Hanya keringatnya bercucuran.
Raave menyunggingkan senyum mautnya. Sambil melirik ke belakang mobil. Bernafas lega.
Aira mendengus, "Itu senjata andalanmu, agar aku diam? Hm?"sergahnya.
Raave tertawa kecil. Mengacak rambut Aira. Pelan.
"Jangan mengacak rambutku!!" ketus Aira, sebal. Menyingkirkan tangan sang lelaki dari kepalanya.
Raave kaget. "Maaf, Ai. Sungguh aku baik saja."
"Oke!" Ira masih dongkol. Gara-gara rambutnya diacak. Entah bagaimana moodnya jadi berantakan. Atau mungkin karena melihat lelaki itu bersama Prue tadi.
Ia buka ponselnya. Zii mengirim chat di aplikasi.
'Neng, bentar lagi sampe rumahku!'tulis Zii, singkat.
'Iya Boss!'balas Aira. Tersenyum. Ia melongok ke jendela. Tertawa kecil.
'Hei, rumah ortuku udah kelewatan tadi tuh!'tulis Aira lagi.
'Hohoho.. Pokoknya temeni aku dulu, Neng manis!'balas Zii. Disertai rekaman audio, tertawa kecil.
'Iya.. Iyaaa..'balas Aira.
Chating berakhir, karena mobil Adnan sudah menepi, lalu berhenti.
Di depan sebuah rumah. Letaknya di jalan besar, tapi bukan jalan utama. Seperti jalan Perumahan pada umumnya. Adnan dan Zii keluar. Pun Keuarganya.
Rumah ini tak tampak dari luar, seperti apa. Karena gerbangnya tinggi.
Aira dan Raave keluar juga. Luke dan Oscar tetap di mobil. Makan cemilan.
Prue keluar dan menunggu Raave. Seolah Aira yang berjalan di sisi sang CEO tak dianggap. Dengan percaya diri, Prue menggandeng manja Raave.
"Lepaskan tanganku!! Aku tak takut padamu Prue, sama sekali! kau ingat itu!!"geram Raave. Emosi.
Ia tarik Aira untuk segera masuk.
Begitu melewati gerbang, Aira bisa melihat secara keseluruhan, bentuk rumah. Bercat warna pastel dengan jendela jendela yang panjang.
Berlantai dua. Taman kecil di samping rumah. Garasi kecil, dan meja kursi teras. Lampu lampu bulat model zaman dulu, bergelantungan di dalam sebuah sarang dari rotan. Seperti kerajinan tangan buatan sendiri.
Zii memeluk sang Mama dan Papa, juga seorang Adik perempuannya. Ada seorang wanita paruh baya seusia Bu Wina, membawakan bawaan sang Nona rumah.
Keluarga Adnan beramah tamah dengan kedua Orangtua Zii.
Aira masuk terakhir. Bersama Raave.
Mama Zii mengenali betul sahabat dekat putrinya. "Aira, sayang!! Kamu apa kabar? Sehat kan?"sapa Nyonya Wijaya, Ibu Zii, senang. Membelai wajah Aira. Kemudian beralih ke lelaki di sampingnya.
"Sayang, ini.. Kekasihmu??"tanya Ibunda Zii itu. Merengkuh Aira, tersenyum.
"Ya, Nyonya Wijaya. Saya Raave." Raave menjabat tangan sang Nyonya rumah. Juga pada Ayah Zii.
"Kekasihmu, tampan sekali!"bisik Ibu Zii pada Aira. Yang dibalas senyum malu oleh sang gadis.
Zii menatap Aira senang. "Oh Mam, dan Ini Miss Prue, CEO tempatku bekerja di Surabaya." Zii mengenalkan Prue.
Sementara Aira dan Raave masuk, dan duduk di ruang keluarga. Adnan dan Keluarganya duduk di ruang tamu.
"Prudence. Salam kenal, Tante. Panggil saja Prue!" Prue menjabat tangan Tuan dan Nyonya Wijaya.
"Terima kasih. Nona Prue, sudah mau meluangkan waktu ke sini. Rumah Zii!" Nyonya Pranaja mempersilahkan Prue bergabung, duduk bersama Aira di ruang keluarga.
Beberapa makanan dan minuman nan lezat terhidang di meja.
"Nak Adnan, saya ga nyangka, kamu menjadikan Zii kekasihmu." Tuan Wijaya mengawali pembicaraan.
"Iya, kalian ini kan sahabatan, sama Aira juga. Kok ujung-ujungnya salah satu pacaran." Nyonya Wijaya menambahi.
"Iya, namanya cinta, kita ga tahu, kan Pak Wijaya. Hehe.. Saya juga ga percaya awalnya." Tuan Permana, Ayah Adnan, menjawab. Terkekeh.
Keluarga Adnan dan Zii berbincang sebentar. Dan menikmati hidangan, sebelum ahirnya mereka menuju ke sebuah rumah lain, yang disewa khusus oleh Orangtua Zii, sebagai tempat istirahat Keluarga Adnan.
Sebuah Rumah Singgah sederhana namun nyaman. Lengkap dengan kedai di lantai bawah.
Perjalanan 4jam tentunya sangat melelahkan. Rencananya, Tuan dan Nyonya Permana akan memulai acara pembicaraan khusus meminta Zii menjadi istri Adnan, Sore harinya. Istirhat sebentar, cukup untuk memulihkan tenaga.
Adnan kembali ke rumah Zii, usai mengantar dan memastikan Keluarganya istirahat di kamar, yang disediakan di Rumah Singgah.
Adnan, Zii berbincang dengan Prue, Aira juga Raave. Terasa kikuk dan canggung. Mungkin karena ada Prue, yang tak pernah melepaskan pandangan pada Raave.
Sementara lelaki itu santai saja. Tubuhnya selalu menempel pada gadisnya.
"Terima kasih Miss, sudah mau main ke rumah saya yang sederhana ini!" Zii berucap tulus. Sedikit menundukkan kepala.
"Sama-sama Zii. Thanks juga sudah bolehin saya ikut di acaramu ini."jawab Prue.
"Anda ingin istirahat dulu? Bisa pakai kamar tamu di sebelah ini" Zii menawarkan Bossnya agar istirahat sejenak.
Prue mengangguk. Kemudian mengikuti Zii menuju kamar yang dimaksud.
"Maaf tidak seluas dan semewah kamar anda di rumah, Miss." Zii merendah.
"Kamu ini, Zii. Tak apa. Yang penting bisa untuk istirahat."celetuk Prue. Menepuk pundak Managernya itu.
Zii menutup pintu, lalu bernafas lega. Kembali bergabung dengan sahabatnya.
"Ai, kamu mau istirahat dulu? Ayo ke kamarku!"
"Makan dulu yuk!!" teriak Nyonya Wijaya dari ruang makan. "Ada Bandeng presto kesukaanmu nih, Zii. Sambelnya puedes pol!"
Mereka semua saling tatap. Zii memang mengurangi makanan pedas karena berbadan dua. Tapi bukankah Ibunya tak tahu.
"Bentar Ma. Agak nanti aja!"jawab Zii.
Aira menatap Raave yang berdiri di luar. Sambil terus bicara lewat handsfree. Daritadi. Sejak Prue masuk ke kamar tamu.
"Ai, Raave sibuk ya?" Adnan kepo.
"Iya kayaknya. Apa aku minta dia pulang aja. Aku sungkan kalo dia sibuk gitu, Nan!"jawab Aira.
Wajah Raave terlihat serius. Lelaki itu mondar-mandir di teras rumah Zii. Sesekali duduk di kursi. Dan ketika Ia menatap Aira, sang gadis juga memandangnya. Dalam.
To be continued.