Chereads / THE CEO Is MY ROMEO / Chapter 70 - "PRUE IKUT, Ai..!"

Chapter 70 - "PRUE IKUT, Ai..!"

"Mba dicari mas Raave di bawah... !!"teriak Bu Wina, namun kalimatnya menggantung, karena kaget, sang lelaki sudah menyusulnya naik ke kamar Aira.

Aira tersenyum. "Makasih Bu"

Raave tampak begitu menawan. Kemeja polos warna burgundy gelap, celana panjang, kacamata hitam. Sneakers.

Aira tersenyum, semangat. "Ayoo". Ia segera bersiap. Membawa beberapa baju ganti dan air oksigennya. Sweater besarnya. Tas, obat, ponsel, dompet.

Melihat Aira memasukkan dompet, Raave ingat Black cardnya. Tak ada satupun tagihan masuk ke billnya atas nama Aira. Black card sudah ia atas namakan sang gadis. Namun sama sekali tak ada tagihan sepeserpun.

"Ai, gunakan Black cardmu. Kenapa tak satupun tagihan atas namamu di Billku?"ujar Raave.

"Kan udah, Raave. Kemarin waktu kita ke kedai sederhana. Lagipula, Aku punya kok, satu. Hehe..."

"Hanya waktu itu saja, kan? Itupun yang punyaku!"protes sang lelaki.

Aira hanya tersenyum manis.

Raave geleng-geleng kepala. Sebelum ia bersama Aira. Semua gadis yang berkencan dengannya, ia beri entah black atau silver card. Dan setiap bulan tagihannya membuatnya mengelus dada. Melebihi batas si kartu itu sendiri. Karena kesal, ia blokir si kartu.

Dan kini, Aira sama sekali tak menggunakannya.

Gadis itu siap. Manis dengan sweater besar dan Skinny Jeans yang nyaman.

Mereka pamit pada Bu Wina. Berjalan santai menuju mobil Raave. Ia bersama Luke.

"Oh Raave, bisa kita mampir sebentar ke toko? Aku ingin membeli... "

"Tenang. Sudah. Itu... "potong Raave. Menunjuk tumpukan kotak dari BakeShop favorit mereka, di kursi belakang.

"Kalau begitu, ke toko buah Raave, Papa su..."

"Itu..."potong lelaki itu lagi. Menunjuk bagasi luas kosong di belakang mereka. Sekeranjang buah segar. Terlihat lezat.

Aira menghela nafas. Raave tersenyum miring. "Oh Raave, Mama ingin kubelikan se..."

"Ssshhhh.. Tak usah dibahas, Ai. Sudah!" Raave melirik kursi belakang lagi. Beberapa paperbag brand Tas, sepatu lelaki dan ... Aira melongo.

"Raave apa isi kotak kecil itu, di sebelah buah?"tanya Aira curiga. Menatap Raave dalam. Ia sebenarnya tahu, hanya ingin memastikan.

Raave tersenyum penuh arti. "Hadiah buat Mama dan Papa."Bisiknya.

Aira mendengus, Raave tak menjawab pertanyaannya. Hanya merengkuhnya erat. Aroma sandalwood menguar pekat dari tubuh Raave. Menyatu dengan musk yang manis. Betapa menghanyutkan. Aira terkadang berpikir, seperti apa perasaan gadis cantik yang berkencan dengan Raave. Dengan aroma seperti ini, wajah tampan dan body goals bak model Pria profesional. Melayang mungkin, bahagia, seperti ada di surga??

Mungkin mereka akan rela menyerahkan semuanya untuk Raave. Aira terkekeh. Ia dibuat sesak nafas dengan aroma memabukkan seperti ini. Tak sengaja, matanya menangkap kemeja sang lelaki yang terbuka sedikit. Dua kancing teratasnya tidak mengait, mempertontonkan, betapa sempurna tubuh sang lelaki. Gadis itu segera mengalihkan pandangan.

"Oh Aira. Aku hampir saja lupa. Thanx for the watch, yang pernah kamu hadiahkan. Aku suka sekali." Raave melepas kacamata hitamnya, menatap sang gadis, membelai wajahnya lembut. Mengecup bibirnya sekilas.

"You're welcome."jawab Aira santai. "Maaf jika tak sesuai seleramu, tapi itu asli lho!"

Raave tertawa kecil. "Ya. Aku tak masalah, itu pemberian darimu. Aku sudah senang."balasnya, mengecup jam tangan yang ternyata sudah dikenakan.

"Kita menunggu Zii?"tanyanya.

"Iya"jawab Aira.

Raave Membawa MPV, namun bukan yang biasa Raave gunakan. Ini lebih besar.

"Ga pake mobil yang biasanya?"iseng, Aira bertanya.

"Kalau perjalanan jauh, nyaman pakai yang ini."jawab Raave.

Beberapa saat kemudian, mobil Adnan menepi. Berhenti tepat di samping Aira. Kaca jendela mobil turun perlahan. Adnan dan Zii tersenyum, melambai pada kedua sejoli yang menunggu mereka.

Aira tersenyum. Kemudian mulai masuk ke mobil Raave. Lelaki itu membukakan pintu, lalu dia sendiri masuk.

Luke mulai melaju, mengikuti mobil Adnan di depannya. Memulai perjalanan yang cukup melelahkan.

Ia ternyata membawa satu Staffnya. Bergantian menyetir, jika Ia kelelahan. Raave yang menyuruhnya. Sebenarnya Ia kuat membawa mobil sendiri. Namun Raave tak tega. Jadi menyuruhnya membawa seorang, yang juga bisa menggantikannya.

Raave mulai menyandarkan kepala, dengan tangan menggenggam erat tangan sang gadis.

Aira bersandar di bahu lelakinya. Menutup mata. Perjalanan jauh begini, enaknya ditinggal tidur. Raave mengusap kepalanya, mengecupnya sekilas.

Samar, Aira dengar, Staff Raave berbisik pada Luke. "Luke, Nona Aira ini, kekasih Mr Raave?"

"Sshhh, jangan keras-keras. Mau kepalamu ditempeleng Mr Raave, Hm?"balas Luke, gemas.

"Heii.. Aku sudah berbisik padamu, Bung!"lirih si Staff.

Luke mengangguk.

"Kulihat, dia sangat berbeda dengan gadis-gadis lain yang pernah jalan dengan Tuan muda kita. Menurutmu, Mr Raave mencintai Nona Aira??"si Staff masih saja kepo. Bicara pada Luke yang fokus menyetir.

Luke mendelik padanya. "Iya memang berbeda, kau ini, cerewet dan kepo ya!"jawab Luke. Menjewer telinga Sang Staff.

"Kemarin kata Tuan Gio, Mr Raave mengijinkan Nona Aira masuk ke kamarnya. Tidur di ranjangnya. Oh.. Nampaknya sekarang Tuan muda kita berubah jadi bucin, Luke!!"timpal si Staff lagi. Tak menyerah. Walau Luke sudah mengkodenya untuk diam.

"Oscar de La Vega, kau ini sungguh sangat cerewet sekali!" Luke mencubit lengan Oscar, si Staff.

"Luke, namaku bukan Oscar de La Vega!!"bantah Oscar, merengut.

Luke terbahak.

"Heii.. Kalian!!" suara menakutkan Raave bergema. Aira tersentak. Tapi tak lama, tidur lagi.

Luke dan Oscar diam seribu bahasa. Keringat bercucuran. Pandangan lurus ke depan.

Raave bergerak, tubuhnya condong pada kedua Staffnya di depan. "Bisa tidak, kalian ini fokus saja menyetir!! Hm?? Berisik sekali!!" Ia sentil si Oscar. "Terutama kau!! Gio nyinyir padamu??"

"Maaf, Sir!"balas Oscar takut. Mengangguk.

"Hm. Pantas saja, kau dipanggil Oscar de La vega!"goda Raave.

Luke memutar bola mata. Terkikik. "Hubungannya apa ya, Mr Raave?"

"Entahlah Luke. Aku juga hanya ikut-ikut saja, kan!"jawab Raave. Kembali bersandar nyaman di kursinya. Ia raih Aira, membaringkannya di pangkuan. Menutup mata lagi.

Luke berhenti, beberapa saat kemudian.

"Kenapa, Luke?"tanya Raave heran.

"Mobil di depan berhenti, Sir!"jawab Luke. Menunjuk mobil Adnan yang menepi.

Raave mengedarkan tatapan ke sekeliling, tempatnya berhenti. "Seperti tahu, tempat ini. Hei..!! Ini.."kalimatnya terpotong.

Sebuah mobil keluar dari rumah dimana mobil Adnan berhenti. Sedan merah menyala. Yang lalu berjalan di depan mobil Raave. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Sang lelaki menatap tak percaya. Ia tahu mobil ini. "Prue?? Ikut??"gumamnya. Pelan. Namun cukup membuat Aira membuka lebar matanya.

"Apa, Raave?"tanyanya. Menguap.

"Prue ikut Ai!"jawab lelaki itu. Muram.

Aira ikut merengut. "Ya, mungkin karena Prue kan Bossnya Zii, jadi barangkali mau silaturahmi ma ortunya juga."jawab Aira sekenanya. Sebenarnya Ia sudah tahu, tapi tak menyangka, perempuan itu akan benar-benar ikut.

Raave angkat bahu. "Maybe". balasnya singkat. Ia tatap Aira dalam. Membelai pipinya.

"Kamu kelihatan santai saja." Aira kepo.

"Lalu harus gimana memangnya? Bilang 'Woowww' gitu?" canda Raave.

Aira terbahak. Menutup mulut. Sedikit menepuk-nepuk lengan Raave, saking gelinya. Ekspresi lelaki di sampingnya, lucu. Mendelik aneh, dengan tangan diangkat sedikit.

"Ga. Kukira mungkin kamu marah atau gimana, senang mungkin?"jawab Aira, masih sedikit terkekeh.

"Oh kamu berharap aku senang, begitu, Prue ikut? Yakin ga cemburu??" goda Raave, iseng.

Aira menggeleng. Tersenyum lebar.

"Beneeerrr..??" Raave mencubit dagu Aira, gemas. Mendekatkan wajahnya.

Gadis itu mengangguk mantap. Ia mendekat. Berbisik pada lelakinya, "Cause you're mine. And I'm yours!"

Raave mengulas senyum lebar. "Absolutely Yes, Miss Aira!" didekapnya sang gadis. Rapat. Hingga suara debar kencang bisa terdengar oleh keduanya.

Luke dan Oscar menahan senyum. Melirik dari spion, bagaimana Raave terus memeluk gadisnya. Atau mengecupnya sekilas, sekedar mengusap kepala.

"Luke...!" Oscar kembali membuat ulah, nampaknya.

"Apaaa, Oscar..??" Luke gemas bukan kepalang. Bagus juga sebenarnya, mengajak Oscar ini bersamanya. Lelaki yang tak pernah kehabisan bahan obrolan. Membuatnya tetap fokus menyetir, alias anti ngantuk.

Tapi, bahan obrolannya ada di belakang mereka. Jadi Luke kewalahan juga menanggapi si Oscar ini.

"Mr Raave sayang sekali pada Nona Aira."komentar Oscar. Terkikik.

Luke tersenyum pahit. "Ya, sepertinya begitu, kita tak pernah tahu isi hati Tuan muda kita, Oscar."

Raave kembali mencondongkan tubuh ke depan. Berniat menguping diam-diam. Aira sudah menarik kemejanya, memintanya membiarkan mereka. Tapi Raave tetap melaksanakan niatnya.

Ia melipat tangan di atas jok Luke. Tersenyum memperhatikan Oscar yang mengoceh, memuji dirinya, namun juga mengomentari kemesraannya dengan Aira.

Luke tahu, sedang diperhatikan oleh Tuannya, Ia menendang kaki Oscar. Mengkode untuk diam. Sayangnya si Oscar tak paham. Jadi terus bicara tanpa titik koma.

Beberapa saat, setelah si pembicara diam, Raave buka suara. "Hm, dongengmu sudah selesai, Mr Oscar de La Vega?"

Aira menutup mulut, menahan tawa.

Oscar menoleh. Tersenyum samar dan masam pada Raave. Sedikit ketakutan. Jika kena marah dan tempeleng.

"Yaa... Mr Raave.."suaranya gemetaran.

"Bagus juga dongengmu, dongeng dari Negeri mana itu?"

"Dari Bukit Golf Citraland, Sir."jawab Oscar, tapi lalu menutup mulut.

Luke melotot padanya. Menendang kakinya lebih keras.

"Oh, dari sana. Siapa tokoh utamanya?"

"Anda, Sir."

Luke geleng-geleng kepala. Mendengus.

"Wooww.. Aku? Lalu bagaimana endingnya, Mr Oscar??" Raave menggoda sang Staff.

Oscar garuk-garuk kepala.

Luke terlihat tak peduli lagi padanya. Menatap lurus ke depan.

"Akhirnya sang tokoh utama bahagia bersama gadis yang dicintainya, Sir"

"Ok baiklah. Happy ending. By the way, siapa gadis itu?"

"Nona Aira, Mr Raave." Oscar tak lagi tampak ketakutan. Malah wajahnya berbinar terang. Antusias, menjawab pertanyaan yang Tuannya ajukan.

Aira tersenyum penuh arti. Tersipu malu. Tapi sejurus kemudian, muram. 'Apa kamu mencintaiku, Raave? Itupun aku tak pernah tahu. Lalu, Bagaimana bisa cerita berakhir dengan bahagia? Sungguh miris!'batinnya diam diam.

Raave yang awalnya gemas, dengan mulut Oscar yang tak bisa berhenti mengoceh, jadi sedikit terhibur. Bibirnya mengulas senyum. Menunduk sekilas.

Luke melirik dari spion, ingin tahu reaksi sang CEO. Bernafas lega kemudian.

Raave menepuk pundak Oscar. "Semoga dongeng yang kau ceritakan, menjadi kenyataan."lirih Raave.

Oscar tersenyum haru. Memandangi sang Tuan, yang kembali ke kursinya, sambil mengusap kasar mata yang tergenang. Entah kenapa.

"Mau kugantikan menyetir?"tanya Oscar. Menatap Luke.

Luke menoleh, tersenyum dan menggeleng. "Nanti saja, aku sudah cukup terhibur dengan dongengmu, jadi ga ngantuk. Masih kuat kok!"jawab Luke, menepuk lengan Oscar.

Raave memandang keluar jendela. Meresapi lagi kata-kata Oscar yang ternyata mengena juga untuknya. Ia lirik Aira sekilas.

Gadis itu menutup mata, bersandar nyaman di pundaknya lagi.

To be continued...