Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Putra Pembunuh Bayaran

🇮🇩NESCPL
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.6k
Views
Synopsis
"Aku ingin berhenti menjadi seorang pembunuh." "Kamu kira bisa lari dari takdir mu. Ingat, di dalam tubuhmu mengalir darah seorang pembunuh." Mendengar ucapan dari ayah membuatku marah. Memang kenapa kalau aku adalah putra pembunuh bayaran. Jalan hidup merupakan keputusan bukan pilihan. Aku hanya ingin menjadi murid SMA biasa. Menjalani hidup normal seperti yang lain. Kini aku putuskan untuk memutuskan ikatan darah ini dengan pergi dari rumah.
VIEW MORE

Chapter 1 - Kemana Harus Pergi

Terlihat darah di tanganku. Warnanya merah, kental, dan jika dibiarkan lebih lama akan sulit untuk dibersihkan, terutama bagian sela kuku. Oleh sebab itu, membunuh tanpa sarung tangan lateks yang dipakai hingga tiga lapis adalah hal yang konyol.

Saat itu sepertinya jadi saat pertamaku. Saat yang paling berkesan karena penuh dengan emosi dan air mata. Aku lupa apakah waktu itu manusia yang kuincar nyawanya mati atau sekarat, karena ketika berusaha mengingat, seorang pengurus kuda menepuk pundakku dan membuyarkan semua lamunan yang telah berlangsung selama tiga puluh menit.

"Kudamu sudah siap, Devon," ujarnya yang memindahkan tali kekang ke tanganku.

Aku tersenyum melihat betapa kuda berwarna putih dengan rambut ekor yang panjang dan terawat ini begitu gagah. Dia kubeli setelah lima puluh kali berkeliling stable. Matanya bulat dan terus memandangku seakan dia memintamu untuk jatuh cinta, dan ya, aku jatuh cinta.

Kutunggangi dia tanpa memaksanya untuk melaju kencang walau aku mau. Aku harus tahu dulu bagaimana rasanya duduk di pelana yang terkait di tubuhnya. Ini sama seperti menaklukkan wanita yang pertama kali ditemui. Tidak baik memaksa dan memainkan alur dengan lembut adalah kuncinya.

"Stamina kuda ini bagus, Evan. Kau merawatnya dengan baik."

Evan yang dimaksud adalah seorang pengurus kuda di Stable ini. Dia adalah pria tua dengan botak hanya di bagian kepala atas dan punya hobi membersihkan revolver antik yang ia bariskan di depan sebuah kotak kayu.

Deretan gigi Evan terlihat saat ia tersenyum. "Kau mau kopi, Devon?"

"Tidak. Terima kasih." Aku sudah minum kopi tiga gelas pagi tadi, dan menambah jumlah kafein di tubuh hanya akan membuat tanganku bergetar. "Senjata baru lagi?" Aku duduk di sebelah Evan yang masih sok sibuk.

"Kau lihat ukiran di bagian pelatuk? Ini desain khusus untuk Abraham Lincoln. Aku mendapatkannya dengan mengeluarkan semua Paun Sterling yang aku punya."

Pengurus kuda itu memamerkan bagaimana dia menaklukkan seorang karyawan perusahaan pemotong berlian di pelelangan barang antik. Evan tahu betul bagaimana memainkan taktiknya di meja pelelangan dan membuat lawannya mau menjual kembali barang yang ia beli dengan berbagai alasan yang hanya Evan yang bisa pengarangnya.

Saat Evan terus mengoceh, mataku justru tertuju pada seorang anak muda yang usianya mungkin sama denganku. Rambut pirang dan mata biru yang ia punya menjadi nilai utama kedudukannya di Stable ini. Belum lagi baju joki berbahan mahal itu. Siapapun akan membungkuk walau tak tahu namanya.

"Jangan berpikiran untuk menantangnya, Devon." Suara Evan membuatku tersenyum. "Tantang semua orang di Stable ini, tapi bukan dia."

"Dan kenapa aku harus menurutimu?"

Evan melirik sekilas wajah sumringahku dan mendesah. "Dia anak pengusaha tambang terbesar di Asia. Harga dirinya sangat tinggi untuk diusik, dan membuatnya sakit hati hanya akan menjadikanmu bahan bullynya. Dan jika itu terjadi, melarikan diri hingga ujung dunia pun tak akan membuatmu bisa keluar dari bullyan itu."

Tapi Evan gagal membujukku. Saat ia selesai bicara, aku sudah menggeret kuda putih cantik ku di sebelah kudanya.

"Mau berlomba?" Pertanyaan ini kulakukan begitu saja. "Sebelumnya, namaku Devon."

Pria pirang itu melirik dan tersenyum. Aku tahu senyum itu hanya cara baginya untuk menunjukkan bahwa dia bukan kalangan biasa.

"Apa aku harus menanggapi sikap tak tahu tata kramamu itu, Devon." Dan aku tahu kalau dia tak akan mudah didekati.

"Kudaku jenis Thoroughbred. Dia yang paling cepat di Stable ini."

"Lalu?"

"Aku akan memberikannya padamu kalau kau bisa mengalahkanku dalam pacuan kuda."

Pria pirang itu menarik nafas dan memakai topi jokinya yang mahal. "Bagaimana kalau peraturannya dirubah. Bagi siapapun yang kalah, dia harus melucuti bajunya dan berjalan hingga pintu gerbang.

"Deal."

Sepertinya aku baru membuat masalah baru. Tapi masalah baru ini membuatku sangat bersemangat. Belum apa-apa jantungku sudah berdebar luar biasa. Dan saat kudaku sampai di garis finish, aku tahu bahwa masalah baru yang kubuat benar-benar lahir dalam raut marah Si anak orang kaya itu.

"Bagaimana? Kau siap untuk telanjang?" Senyumku pasti sangat menyebalkan. Aku ingin sekali mengolok-oloknya dan tahu-tahu pemuda itu sudah melayangkan pukulan yang membuat kami terlibat pada adu jotos serius.

Seharusnya aku tak sesembrono itu.

***

Ada sekumpulan kelompok yang berkata, bahwa murka orang tua adalah murka Tuhan. Aku tak mengamini, karena yang aku tahu, aku lebih takut pada murka Ayahku ketimbang Tuhan itu sendiri.

Ayah yang kutakuti itu kini melempar lembaran print berita ke wajahku. Di atas kertas itu tercetak foto seorang pemuda pirang kaya raya dengan sejumlah patah tulang di tubuhnya. Aku yang menciptakan patah tulang itu, dan mata Ayahku kini menelanjangi setiap senti diriku yang hanya bisa berdiri diam tanpa merespon kecuali dengan nafas yang kuatur agar tak terdengar gusar.

"Kau berencana jadi terkenal, Devon?" Pertanyaan itu keluar bersama dengan seluruh emosi di dalamnya.

Ruangan berwarna merah dan berkesan misterius tempat kami berada jadi sangat menakutkan. Setiap senti ruangan ini cukup luas untuk kami, tapi atmosfernya mencekik dan lebih sesak dari toilet.

"Apa tugasmu, Devon?"

"Aku bisa menjelaskan."

"Aku memintamu menjelaskan apa tugasmu?" Setiap kata yang Ayah keluarkan penuh dengan penekanan.

Kuangkat wajahku dan menatap lurus ke mata tua Ayah. "Tugasku untuk mata-matai pemilik Stable sebelum melakukan pembunuhan."

Ya. Ayah kandungku memerintahkan ku untuk membunuh.

Sebelumnya biar ku perkenalkan diriku. Perkenalan yang telat, tapi telat lebih baik dari pada tidak sama sekali.

Namaku Devon Van Descroub. Kadang nama belakang ku berubah jadi Van Houten, Georgio, atau sesuatu yang menunjukkan bahwa aku sudah berulang kali berganti nama. Manusia yang ada di depanku ini disebut Hades. Dia bukan dewa dunia bawah seperti mitologi Yunani, tapi dia lebih kejam dari seluruh mahluk yang ada di dunia bawah.

Pria yang merupakan ayahku ini memiliki pekerjaan tetap sebagai penghubung bagi agen-agen pembunuh bayaran sepertiku.

Terkejut?

Aku sudah dilatih sejak kecil untuk tahu bagaimana caranya mengeluarkan darah tanpa banyak terkena cipratan, aku tahu semua jenis racun terbaik yang tak berasa dan tak beraroma, dan aku tahu bahwa neraka ini tak akan bisa dikesampingkan bagaimanapun aku berusaha menghindar.

Lalu sebuah tamparan menyadarkanku dari lamunan.

"Apa kau sudah membuka matamu? Aku tak percaya kalau kau melamun saat kita bicara."

Rasanya pipiku ngilu, dan aku menerka apakah mesin pembuat es di dapur sudah diganti? Aku butuh banyak es agar wajahku tak lebam.

Ayah meraih selembar amplop dengan segel lilin berwarna merah yang sudah dibuka. Ada lambang keluarga kami di amplop itu, dan tak banyak orang yang punya jenis amplop itu untuk bertukar pesan.

"Hari ini, selesaikan misimu dengan rapih. Ingat, jangan melakukan apapun yang kau anggap baik. Lakukan saja tugasmu dengan cepat dan bersih." Hades menepuk pundakku dan berkata sebelum benar-benar pergi. "Devon, aku bahkan tak peduli jika kau anakku. Gagal berarti mati, dan keluarga kita tak pernah gagal sesulit apapun misinya. Kau pasti tak mau terkena air garam lagi, kan?"

***

Malam ini waktu sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi Hendery tidak bisa membiarkan semua pekerjaan yang sudah ia jadwalkan untuk selesai tepat waktu terbengkalai begitu saja. Pria itu berada di lantai paling atas sebuah kastil yang ia sebut rumah. Saat itu jarinya begitu sibuk dengan serangkaian surat elektronik sembari menjawab berbagai telepon yang masuk.

"Tidak, tidak, kuda dari Stable itu kumuh dan berpenyakit. Bawakan aku satu dari tempat lain." Dia terus mengoceh dan segera mendapat telepon baru setelah satu panggilan terputus. "Aku tak bisa menunggu sampai besok. Bawakan aku seluruh anak buahmu malam ini juga." Dia mengurut keningnya, dan tampak gusar. "Seseorang merusak cctvku dua hari lalu. Anjingku juga mati pagi ini. Kau sebut itu kebetulan? Jangan ucapkan harga padaku. Bawa saja anak buahmu dan aku akan memberikan cash sebanyak yang kau mau." Lalu panggilan itu berhenti.

"Apa anda baik-baik saja, Tuan?"

Hendery melirik ke arah Butlernya yang berwajah tenang.

"Berikan saja kopi untukku dan jangan banyak bertanya."

"Baik, Tuan."

Seorang Butler tak sebaiknya banyak bicara. Dia harus setenang aliran air pada kopi yang ia buat, dan bertindak lebih anggun dari pada seorang balerina.

Bahkan saat dia berjalan untuk menutup pintu ruang kerja majikannya, dia tak perlu membuat suara derit yang bisa mengalahkan erangan kesakitan Hendery yang saat itu mulutnya penuh liur tak terkontrol dan mulai meregang nyawa.

Butler Hendery itu mengucapkan selamat malam pada tuannya yang sudah tak bernyawa, berjalan seperti tak menapak, dan mengendurkan dasi di lehernya yang terasa sesak.

Butler itu aku. Devon dengan nama belakang yang terus berubah. Aku sudah membajak cctv seluruh kastil ini dan memperkirakan penemuan mayat Hendery sejak sebelum surat tugasku datang.

Mayat Hendery akan ditemukan saat matahari terbit, atau paling cepat tiga jam lagi jika polisi yang kesal pada orang kaya itu menuruti keinginannya untuk berjaga. Tapi kurasa kehadiran polisi tak terlalu memiliki arti. Kastil milik Hendery sudah kosong semenjak petang. Para pembantu dan karyawan yang ada mendapat surat pemecatan mendadak sebelum mereka sempat berangkat kerja, dan aku tahu kejahatan ku sempurna.

Jika mayat itu sudah ditemukan, racun yang masuk ke dalam tubuh Hendery akan terurai dengan cepat dan tak akan ada yang tahu pasti kapan dan siapa yang menyebabkannya mati.

Aku berhenti di sebuah jalanan yang lebih jauh dari tempat tinggal Hendery. Mobilku kutenggelamkan dalam danau dan baju samaranku kujejalkan dalam tas seorang gelandangan yang sepertinya terlalu lelah untuk bicara.

Aku sendiri memeluk lutut dengan balutan baju super bau yang ku dapat dari tong sampah dan bertanya-tanya kapan pagi datang?

Rasa sesak di dadaku membuat sebuah lintasan tanya tentang mengapa aku harus hidup di dunia ini? Pertanyaan melankolik seperti jika hidupku adalah hal yang buruk. Tapi bukankah hidupku memang buruk? Aku benci pekerjaan ku, aku benci membunuh, dan lebih benci lagi dengan ayahku. Rasanya aku ingin pergi saja dari tempat ini dan memulai hidup baru.

Tapi ke mana? Apakah ada tempat di mana Ayah tak tahu keberadaanku? Apakah ada tempat setenang itu? Dan satu lagi, apa aku bisa selamat setelah kabur dari cengkeraman Ayah?

Wajahku tengadah menatap langit. Warnanya hitam dan tanpa bulan, bahkan suasana ini lebih cocok untuk seorang yang mau bunuh diri.

Apa aku mati saja?

Hanya sebuah pikiran acaj yang begitu cepat terhapus saat sebuah pamflet paket wisata menempel di wajahku. pamflet itu berhias gambar torii yang sangat kental nuansa Jepang. Keningku mengerut karena rasa tertarik pada setiap kata ajakan dari iklan itu.

Takdir?

Apakah ini suatu jalan keluar untuk masalahku?

Aku tak sadar jika senyum di wajahku terkembang. Sepertinya aku mulai tahu ke mana harus pergi.