"Aku berharap kita bisa reuni lebih baik." Robert bersiap.
"Tapi aku juga ingin kau lenyap selamanya, Kak," ucapku dengan mata membara.
Tanpa banyak bicara lagi, aku melompat. Senjata di tanganku merupakan knuckle dengan duri tajam. Sosok bernama Robert itu harus dihancurkan wajahnya sebelum dibunuh. Kemunculannya berarti ketidak amananku di sekolah ini.
Dia kakak kandungku. Dia yang memberiku knuckel ini saat aku berulang tahun. Kusimpan dengan baik karena aku suka ukiran namaku di sisinya. Tak kusangka jika senjata ini akan berbalik menyerang pemberinya. Tapi aku juga tak punya waktu untuk ragu. Aku harus segera membunuhnya.
Knuckel itu bergerak cepat dengan hujaman tinju ke wajah Robert. Untuk sekedar informasi, aku tahu dia suka pertarungan jarak dekat, jadi anggap saja pertarungan ini sebagai bentuk penghormatan atas kedatangan dia yang tak perlu.
"Ah!" Aku menjerit saat tulang keringku ditendang. Lupa kalau Robert paham betul langkah kakiku yang berjarak panjang saat mencoba mendaratkan tinju.
"Kelemahanmu tak berubah. Aku jadi ragu apa benar kau putra kesayangan Ayah?"
Aku menyeringai dan knuckleku menggores lehernya. "Kau iri? Tenang saja, ayah akan menangis setelah kau dimakamkan."
Seringai seram muncul di wajah Robert. Dia menikmati seluruh perkelahian ini dan meremehkanku dengan tak menyerang secara serius.
"Serang aku, bangsat!"
"Hey! Kau mencium ibu dengan mulut kotor itu?" Robert bergerak meninju wajahku, aku harap tak ada bekas tinjauan, karena rasa panas dan kebas menjalari wajah sampai Robert membuatku ambruk dengan serangan tinju beruntun di perut.
Mual dan tak enak badan. Aku muntah dan jatuh terduduk. Devon menendang kepalaku sebagai serangan akhir sebelum akhirnya aku benar-benar tumbang.
"Apa kau benar putra Ayah?" Robert bergerak mendekatiku dan menjulurkan tangan. Wajahnya sangat menyebalkan, dan yang kulakukan pada kakakku ini adalah menarik tangannya, menekan perutnya dengan kakiku, dan menindihnya sebelum menggunakan puluhan tinju di wajahnya tanpa jeda.
"Aku putra seorang pembunuh, dan kenapa aku harus bangga?"
Rasanya dadaku meledak. Rasanya aku tak lagi bisa menahan diri. Pertarungan ini membuatku sesak, dan yang bisa menyadarkanku adalah kenyataan bahwa kemanapun aku berlari, akan ada anggota keluargaku yang bisa menemukan ku.
Lelah lahir dan batin. Tubuhku bergerak untuk rebah di sebelah Robert. Moodku buruk semenjak pria ini menunjukkan dirinya.
"Aku selalu suka caramu menghabisi musuh-musuh. Kau benar-benar sama dengan Ayah."
"Tutup mulutmu, Kak."
Robert tertawa kecil. "Jadi kau masih mengakui ku sebagai kakak?"
Tak ada jawaban. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing, dan mungkin kebahagiaan sesaatku di tempat ini harus ku hapus dengan cepat sembari mencari cara agar Robert tak lagi di sisiku.
Robert duduk, membuka telapak tanganku dan meletakkan smartphonenya.
"Buka vidio di galeri. Ada hal khusus yang harus kau tahu."
Aku menurut, menggerakkan jariku untuk mencari galeri vidio dan memutar vidio di posisi paling atas.
"Ah, ah, ah, terus, Robert. Ah. Percepat gerakanmu, Robert sayang ... "
"Bukan yang itu." Robert merebut kembali gawainya dan mencari vidio khusus yang ia maksud sebelum memberikannya lagi ke padaku.
Sebuah musik berbunyi dari vidio itu. Musik gaya lama yang kental dengan dominasi organ dan juga seriosa bernada rendah.
Wanita dalam vidio itu berwajah ramah. Rambutnya putih, dan dipotong dengan panjang tak simetris kiri dan kanannya.
"Hai, anakku Devon." Aku meneguk ludah. Ibu masih memanggil ku anaknya walau aku kabur dari keluarga tempatnya bernaung. "Kalau kau melihat vidio ini, artinya kau dalam keadaan sehat. Aku merindukanmu, Nak." Drama seorang ibu muncul saat wanita itu mengusap air matanya dengan tisu, walau aku melihat tak ada air matanya yang tampak. "Aku mengkhawatirkan kondisimu setengah mati hingga memerintahkan Robert agar mencarimu. Dia akan menjagamu selama kau ada di tempat itu. Ajak dia kemanapun dan kapanpun kau perlukan. Kakakmu dengan senang hati menjadi tameng hidupmu."
Lalu vidio itu seperti rusak, dan lenyap begitu saja. Sedang Roebert menatapku seperti mencari tahu apa yang kupikirkan.
"Ibu bilang aku tak boleh pulang kalau kau juga tak pulang." Pria itu tersenyum dingin untuk melengkapi kalimatnya
Seringai menghias wajahku.
"Itu sebabnya kau menyerangku malam tadi?"
"Apa?" Robert tampak terkejut.
"Kau mendatangi kamarku demi memperlihatkan kalau kau ada di sini, kan? Seharusnya aku sadar jika itu kau. Cih!"
Robert mengernyit. "Maaf saja, saudaraku. Pesawatku baru datang tengah malam. Belum lagi perjalanan kereta yang membuatku tua. Dan untuk apa aku mengendap ke kamarmu tanpa membuatmu jadi mayat?" Aku menatap Robert seperti tak percaya. "Cek saja penerbangan internasional Tokyo malam tadi. Apa aku harus membiarkanmu menggunakan laptop ku untuk meretasnya vidio keamanan Bandara?"
"Jadi itu bukan kau?"
"Ya bukan, lah."
Lalu siapa?
***
Sebuah ruangan berdesain kental dengan nuansa Jepang menjadi tempat bagi sebuah klan Yakuza untuk berkumpul. Pemimpinnya duduk di posisi dimana dia bisa mempertontonkan Tato di tubuhnya tanpa takut jika anak buahnya meremehkan.
Dengan telaten dia mengelap katana kuno warisan bos Yakuza sebelumnya dan berharap untuk menggunakannya pada tubuh si anak buah yang duduk menunduk di depannya.
"Maafkan aku. Aku gagal menjalankan perintahmu." Anggota itu tahu kalau dia gagal, tapi nadanya tak terdengar gentar. Dia paham betul, menjadi Yakuza adalah jalan sulit yang pria sepertinya banggakan. Mati bukanlah suatu hal hina, tapi prestasi berharga karena membela klannya.
Desing pedang di tangan sang pemimpin Yakuza terdengar. Pedang itu berkilat dan membuat pemegangnya kagum. Ia memasukkan pedang berharga itu pada tempatnya dan beralih pada sebuah pisau bermata tajam yang ia lemparkan ke hadapan anak buahnya.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang?"
Sang anak buah terdiam sebentar sebelum menjawab dengan nada tegar. "Aku tahu."
Anak buah Yakuza itu mengambil pisau yang tergeletak, meletakkan telapak tangannya pada sebuah sapu tangan putih sebelum memotong kelingkingnya dalam sekali tekan. Manusia itu mengernyit sejenak, membungkus kelingkingnya yang sudah terlepas dengan rapih, dan memberikan bungkusan itu pada ketuanya seperti sebuah persembahan.
Sang Ketua Yakuza tak menyentuh bungkus itu. Ia hanya mengamati seluruh anak buahnya yang duduk atau berdiri berjajar. Seorang wanita cantik berkimono menuang sake ke gelasnya dan diperintahkan untuk menjauh agar dia bisa mengatakan apa yang ia simpan setelah tahu jika usaha anak buahnya gagal.
"Sejak aku kecil, aku selalu membenci klan kecil seperti Klan Endo. Terlebih ketika Ketua Klan itu dengan sombongnya menolak bergabung dengan kita." Ia tersenyum dan ada api membara di matanya. "Klan kecil dengan penerus bodoh yang berkaca mata tebal hanya membuat nama Yakuza jadi sangat buruk." Gelas sake di tangannya kandas, dan dengan suara tegas dia menjerit, "habisi anak itu! Aku akan sangat bahagia jika Klan Endo rubuh saat ini juga."