Derap langkah kaki iring-iringan pasukan berkuda itu mulai melambat. Kerikil dan batu-batu kecil terlihat mulai memenuhi jalan mereka. Apalagi angin berhembus semakin kencang siang ini, bagian belakang pasukan yang mengangkut persediaan bahan makan kesulitan mengikuti laju pasukan yang berada di depan.
Sejak dini hari, setelah 300 orang pasukan gokturk bertolak dari jenggala pinus itu, matahari sama sekali belum menampakan sinarnya. Hal yang dikhawatirkan mereka berempat akan terjadi. Badai es sudah pasti akan menghantam wilayah ini lebih cepat dari yang diperhitungkan.
Meskipun dalam kepayahan dibawah hembusan angin dingin yang kejam, mau tidak mau pasukan ini harus menambah laju kecepatan gerak agar dapat sampai ke wilayah yang bernama Dataran Kuma.
Dari perjalanan mereka kali ini, untuk dapat mencapai wilayah itu pasukan ini harus terus bergerak arah selatan, melalui jalan terjal yang ditunjukan oleh peta tanah buatan Ustanak kemarin. Jika sudah sampai, mereka dapat dengan aman berlindung di kampung yang bukan merupakan wilayah kekuasaan kerajaan lain.
Kemudahan sumber makanan, menjadi alasan lain mengapa Ustanak menyarankan mereka bergerak ke Dataran Kuma. Wilayah itu dialiri oleh Sungai Terek yang tidak sepenuhnya beku selama musim dingin dan beragam binatang yang bisa mereka buru.
Ustanak bersama 20 pengikutnya dari Magyar berada paling depan terpisah dari pasukan yang berada di depan, sebagai pemandu jalan. Heshana berada di posisi tengah untuk menstabilkan laju iring-iringan pasukan agar tetap kompak.
Iltas berada di belakang, mengatur kereta kuda yang mengangkut persediaan makanan dan tenda mereka. Sedangkan Irbis berada di barisan paling belakang, mencari jejak keberadaan musuh yang seperti tak kasat mata bagaikan hantu.
Sepanjang perjalanan Irbis tidak menemukan petunjuk apapun dimana jejak keberadaan musuh, justru saat ini ia merasa seperti dipermainkan oleh Ernak. Deburan salju-salju kecil mulai turun dari langit, Irbis dari kejauhan melihat Iltas sedang membantu menarik beberapa kereta kuda yang kesulitan untuk naik melewati tanjakan.
Iltas telah tertinggal jauh dari pasukan Heshana yang berada di depan. "Pasukan! cepat bantu kapten Iltas" teriak Irbis langsung turun dari kudanya membantu temannya itu.
"Ayo tarik sebentar lagi waktunya makan siang! tidak ada makanan bagi mereka yang pemalas!" teriak Iltas menyemangati pasukannya.
Pasukan yang berada di depan harus berhenti agar yang berada di belakang dapat menyusul. Ketika pasukan di bagian belakang mulai terlihat, di bebatuan itu Heshana menyuruh seluruh pasukan berhenti untuk makan siang sejenak.
Pasukan belakang dengan sigap mengeluarkan tungku api yang disebut qazan dari kereta kuda sebagai alat memasak sup gandum.
Di waktu makan siang, beberapa orang prajurit dengan sigap menggiling gandum untuk dijadikan tepung sebagai bahan pembuatan roti kering. Berbeda dari sup gandum yang biasa dimakan hampir setiap hari, roti hanya dimakan ketika dalam keadaan genting saja.
Bukan hanya pasukan saja yang diberi makan pada siang itu, kuda mereka juga diberi pakanan berupa rerumputan kering.
Kuda-kuda itu juga diistirahatkan di dekat perapian dan diberi minum air yang dihangatkan. Guna menjaga kesehatan binatang yang dianggap sebagai 'kawan yang setia' dalam budaya turki.
Irbis bersama Iltas juga ikut membantu pasukan memasak makanan di bagian belakang, aroma sedap dapat tercium dari tungku perapian itu.
Hawa panas membumbung tinggi mengepul dari panci keramik itu. Asap yang keluar menghangatkan udara di sekitarnya yang seketika membuat cacing-cacing di dalam perut Iltas semakin meronta-ronta.
Sup gandum yang ditaburi oleh sayur mayur itu telah siap untuk dihidangkan dengan yoghurt yang ia panaskan.
"Wah cacing di perutku mengamuk minta dikasih makan" ucap Iltas seraya mengusap perutnya.
"Iltas saat makan jangan seperti itu tidak baik dilihat anak buah" sahut Irbis.
"Baiklah dengan menyebut nama tuhanku, satu-satunya tuhan yang patut untuk disembah, tolong suatu saat nanti berikan aku petunjukmu" ucap Iltas sembari menunggu sup gandum itu hingga hangat.
"Oh religius sekali kau kapten berdoa pada Tengri sebelum makan" balas Prajuritnya sambil menikmati sup gandum itu panas-panas.
"Aku bukan berdoa pada tengri, tapi aku berdoa pada tuhan yang sebenarnya" tegas Iltas.
"Sebentar... kalau bukan Tengri ya siapa lagi kapten?" tanya Prajurit itu masih keheranan.
"Aku belum menemukan kebenaran itu meskipun aku sudah berkeliling ke banyak tempat untuk mencarinya, tapi aku yakin dia selalu memberikan kita kekuatan untuk menjalani hidup." jawab Iltas hanya memandangi sup yang telah berkurang panasnya itu.
"Begitu ya sekarang aku mulai paham sekarang, pantas saja kapten dijuluki sebagai 'Perindu Kebenaran'. Oh ya Kapten boleh aku minta garam sedikit, rasa sup ini masih terlalu hambar"
"Ini, kalau aku pribadi tidak terlalu suka rasa asin. Rasa masam lebih cocok di lidahku" ujarnya sambil mengambil beberapa sendok garam dan menaburinya langsung ke mangkuk bawahannya itu.
"Sup ini terlalu asin! sial dari kemarin sampai siang ini telik sandiku belum menemukan tanda keberadaan mereka," - Ujar Irbis berbicara sendiri mengungkapkan kekesalan yang ia pendam.
"Jangan diambil hati Irbis, kau itu terlalu serius itu kebiasaan burukmu. Disaat seperti ini tidak ada yang salah kalau ingin berbagi cerita. Kau mau yoghurt punyaku, barusan kupanaskan" balas Iltas sembari memberikan kendi yoghurt miliknya dan mulai memakan sup gandum yang mulai dingin di sampingnya.
"Ah tidak usah, aku lebih senang khamr daripada minuman anak kecil. Lagipula susu tidak bisa untuk menghangatkan badan, aku harus terus mencari keberadaan musuh di sekitar sini. Berbeda darimu prioritasku bukanlah menghabiskan waktu luang dengan mencari kebenaran tidak jelas seperti dirimu,"
"Ya aku paham Irbis justru karena itu susu adalah minuman terbaik!" ujar Iltas sembari meminum yoghurt itu perlahan.
"Begitu ya haha baru pertama kali aku bertemu prajurit yang menyukai susu masam sepertimu. Sesuai dengan julukanmu 'Perindu Kebenaran', lain daripada yang lain. Menurutku filsafatmu ada benarnya, jujur aku pernah berfikir, kenapa manusia yang merupakan anak hasil percampuran antara langit dan bumi begitu lemah?" balas Irbis.
"Kubilang juga apa Irbis. Fuh! yoghurt oghuz ini memang yang terbaik!" sahut Iltas.
"Menurutku itu karena perlahan-lahan kekuatan besar seperti itu menghilang. Anak turun tidak mewarisi lagi kekuatan dari nenek moyang"
"Kalau itu aku meragukannya Irbis. Coba pikir kalau memang benar cerita itu seharusnya kita dapat mengeluarkan petir dari dalam tubuh kita atau membuat gempa bumi. Lagipula di semua tempat, anak mewarisi sifat orang tua" spontan balas Iltas.
"Ah sudahlah kita bahas lain kali kebenaranmu itu Perindu Kebenaran. Iltas jujur aku ingin tahu pendapatmu tentang Heshana?"
Seketika, suasana cair diantara mereka berdua sejak makan bersama sebelum percakapan ini menjadi tegang. Kalau Irbis mencurigai Heshana sebagai pengkhianat pasti dirinya juga dicurigai olehnya.
"Berani sekali kau mengatakan aku ini pengkhianat, di depan wajahku! kau berkirim surat ya dengan Avar!" bentak Iltas.
"Dengar Iltas, aku sama sekali tidak mencurigaimu. Mungkin sulit bagimu untuk percaya karena Heshana tapi saat ini diantara kita berlima hanya gerak-geriknya yang paling mencurigakan. Kata-kata Nushibi memang ada benarnya. Mengapa tentara avar dapat merencanakan penyerangan dengan sempurna. Setahuku Negeri Avar tidak pernah melatih tentaranya sekeras kita."
"Jadi hanya karena pasukan mereka mirip dengan pasukan dibawah pimpinan Heshana begitu? jelas pasukan musuh dapat berperang Irbis. Sekarang engkau telah melakukan kesalahan besar di mataku. Apa maksudmu menuduh tanpa bukti? Yang aku perlukan bukti bukan spekulasi kosong bahwa Heshana pengkhianatnya. Justru Uldin dan Nushibi yang berkhianat, aku yakin saat ini mereka justru bertemu dengan musuh!"
Irbis hanya bungkam, tidak berkutik ketika Iltas menanyakan bukti yang ia punya bahwa Heshana adalah pengkhianatnya. Iltas segera pergi bergegas menuju kudanya, meninggalkan Irbis yang menuduh sahabatnya sejak masih muda sebagai seorang pengkhianat.
Tidak lama setelah waktu makan siang selesai, iring-iringan pasukan itu kembali bergerak. Kali ini mereka mengambil sebuah rute yang melewati celah tebing yang sempit sebagai jalan pintas.
Dari kejauhan, Ustanak melihat longsoran tanah dan batu-batu besar telah menghalangi jalan yang diketahui olehnya itu.
"Tuan Heshana, menurut saran dari bawahanku, kita harus berputar haluan keluar dari tebing melewati rawa di sebelah kiri," ujar Ustanak segera turun dari kudanya.
"Apa tidak ada rute lain? kalau melewati rawa sekarang jelas tidak mungkin apalagi hari semakin larut. Bagaimana kalau lewat tanjakan di sekitar sini yang lebih curam lagi?"
"Sebentar Kapten... aku tahu jalan di rawa itu yang tidak digenangi oleh air"
"Kali ini giliranku yang membuat keputusan. Aku tidak ingin mengambil resiko, mungkin saja saranmu itu yang diinginkan oleh musuh yang mengikuti kita diam-diam" balas Heshana.
Heshana lebih memilih jalan yang terjal itu sekalipun dalam diam Ustanak tidak setuju dengan keputusan yang diambil. Iltas dan Irbis yang berada di belakang, tidak habis pikir Heshana akan mengambil jalur tanjakan yang terjal itu.
Bahkan saat ini Iltas mulai meragukan Heshana, akan tetapi prasangka buruk itu ia tepis jauh-jauh karena ia harus fokus untuk memimpin kereta kuda mereka melewati tanjakan itu. Justru bagi Irbis, pilihannya memilih jalur terjal ini menguatkan dugaannya bahwa Heshana adalah pengkhianat yang sebenarnya.
Heshana telah menyuruh setengah prajuritnya untuk membantu bagian belakang, akan tetapi tetap saja laju mereka melambat bahkan lebih lambat daripada siang tadi. Angin sore menjelang malam segera berhembus, mereka tidak bisa membuat kemah untuk bermalam ditempat menanjak dan berbatu seperti itu.
Brak!
Tiga kereta kuda tergelincir ke bawah diikuti oleh pengendaranya. Terlihat dari atas, semua kuda yang mengangkut kereta barang itu langsung mati seketika dengan mulut yang mengeluarkan darah.
Pletak!
"Tunggu Kapten!"
Iltas melihat hal itu terjadi depan matanya, segera bertindak. Anak buahnya yang lain juga mengikuti langkahnya. Iring-iringan dereta pasukan itu mulai terhenti, menyaksikan kapten itu turun berusaha menyelamatkan anak nuah dan barang bawaan.
"Iltas ayo naik! biarkan saja! mereka pasti sudah mati!" teriak Irbis.
"Bergerak kalian! jangan membuang-buang waktu di sini! tidak usah khawatir aku akan menyusul nanti!" - balas Iltas.
Tidak ada pilihan lain bagi Heshana, kecuali mempercayakan sahabatnya itu dan terus bergerak meninggalkan Iltas dan anak buahnya dibelakang. Malam ini, salju turun lebih besar daripada siang tadi. Dari mulut mereka keluar embun ketika mengeluarkan nafas.