Seorang gadis kecil berambut panjang tengah berlari ke sana kemari di sebuah padang berumput yang ditumbuhi bunga dandelion. Satu persatu dipetiknya bunga indah itu, lalu ia meniupnya hingga serpihan-serpihan kecil beterbangan diterpa angin. Ia kembali berlari, mengejar serpihan bunga dandelion yang terbang entah kemana. Namun pada akhirnya, ia terjatuh karena terlalu bersemangat dalam mengejar bunga itu. Kini kakinya terluka dan ia mulai menangis karena kesakitan. Ibunya yang melihat sang anak terjatuh hanya tertawa kecil, namun ia tetap berdiam diri, tak menolong anaknya yang tengah kesakitan karena lututnya yang terluka dan mengeluarkan darah.
"Kau tak usah menangis, Dandelionku!" teriak sang ibu dari kejauhan.
"Okaa-san, kenapa kau tak menolongku? Kenapa kau terus diam di sana? Dan kenapa pula kau memanggilku dandelion? Dandelion itu bunga yang rapuh, aku tak suka jika kau memanggilku seperti itu!" protes anak itu sembari menatap ibunya.
Sembari menghampiri anaknya, wanita itu membalas, "Bukannya aku tak ingin menolongmu, hanya saja, kau harus seperti bunga dandelion itu. Walaupun fisiknya terlihat rapuh, namun percayalah, bunga dandelion adalah bunga yang kuat. Ia mampu menentang angin, ia mampu terbang tinggi ke angkasa jika ia mau. Begitupun denganmu, kau harus mengejar dan menggapai cita-citamu hingga setinggi angkasa. Jangan pedulikan rintangan-rintangan yang akan menghadang nanti."
Kini ia membantu sang anak untuk berdiri. Kemudian wanita itu berlutut, bermaksud menyamakan tinggi tubuhnya dengan tinggi tubuh sang anak. Tak lama, ia kembali melanjutkan ucapannya, "Jika kau terjatuh, kau tak usah menangis. Berdirilah sendiri dan yakinlah jika kau bisa menggapai apa yang kau inginkan."
Anak perempuan itu terdiam sembari menundukkan kepala, mencoba mencerna semua perkataan ibunya yang belum ia mengerti. Tak lama, ia mendongakkan kepala, lalu senyumnya mulai mengembang. Ia pun berkata jika dirinya akan menjadi seperti bunga dandelion. Ibunya hanya tersenyum manis, lalu mereka saling berpelukan erat dengan mata yang terpejam.
"Aku sangat menyayangimu, Okaa-san," ucap gadis itu. Namun tak ada balasan dari sang ibu, ia pun membuka mata dan betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah guling yang ia peluk.
"Okaa-san, Okaa-san dimana kau?" tanya gadis itu kebingungan. Ia mulai mencari-cari sosok wanita yang dipanggilnya.
Seorang anak yang umurnya lebih kecil keluar dari balik selimut. Sedari tadi ia berbaring di atas futon samping gadis itu. Ia bertanya, "Onee-chan, kau kenapa? Apa kau bermimpi bertemu Okaa-san lagi?"
"Apa tadi itu hanya mimpi?" tanya gadis itu tak percaya. Anak kecil di sampingnya menganggukkan kepala, lalu tanpa ragu memeluk gadis itu dengan erat.
"Aku tahu kau sangat terpukul dengan kepergian Okaa-san, tapi kau harus merelakan kepergiannya. Okaa-san tak akan tenang di alam sana jika kau terus seperti ini. Lagipula Okaa-san sudah lama meninggalkan kita, kau tak perlu memikirkannya. Biarkan Okaa-san tenang di alam sana," kata anak kecil itu menasehati.
"Kau tak usah menasehatiku, aku tahu apa yang harus aku lakukan!" balas sang gadis dengan ketus sembari melepaskan pelukan anak itu. Kemudian ia berdiri dan mulai keluar dari kamar dengan raut wajah kesal.
Mereka adalah sepasang adik dan kakak. Sang kakak sangat tak suka ketika adiknya menasihati dirinya karena ia merasa lebih tahu tentang apa yang harus ia lakukan. Tak perlu nasihat adik, pikirnya.
Sementara anak tadi terus memandang dengan sendu punggung sang kakak yang kini meninggalkannya. Ia tidak begitu mengerti dengan alasan kakaknya selalu bersikap seperti itu. Setiap kali mereka berbicara, kakaknya selalu menanggapi dengan nada suara yang terkesan tidak menyukainya. Padahal selama 14 tahun ini, ia berusaha untuk membuat kakaknya menerima kehadiran ia sebagai seorang adik. Hanya saja, usahanya sia-sia. Kakaknya tak mau mengakui, bahkan terlihat membenci.
Nishizawa Misaki, gadis berusia 14 tahun itu mulai meneteskan air matanya. Ia merasa sangat sedih karena sang kakak yang bernama Nishizawa Kaori, tak pernah menganggapnya ada. Ia selalu bertanya-tanya, mengapa kakaknya bersikap seperti itu kepadanya? Mengapa kakaknya selalu menganggapnya tak ada? Apa dia bukan adik kandungnya? Selalu saja tiga pertanyaan itu yang selalu ada di benak Misaki. Ingin sekali ia bertanya ketiga hal tersebut kepada kakaknya secara langsung, namun ia tidak berani untuk mempertanyakannya. Lagipula, selalu saja tak ada kesempatan untuk bertanya. Kaori selalu saja sibuk dengan urusan sekolahnya dan pekerjaan paruh waktunya. Terlebih ia sering sekali menjauhkan diri dari anak itu.
Semenjak kepergian ibu mereka, mereka mencoba untuk menjadi anak yang lebih mandiri. Kaori yang sejak kecil telah diajarkan menjadi anak mandiri pun sudah terbiasa untuk mengurus kebutuhannya sehari-hari. Namun Misaki yang masih tak mengerti apa-apa harus terus bergantung kepada kakaknya. Keuangan mereka yang mulai menipis memaksa Kaori untuk mencari pekerjaan separuh waktu. Mereka membutuhkan uang untuk makan dan biaya sewa kamar mereka, ditambah biaya sekolah mereka yang cukup mahal. Hal itulah yang membuat Kaori selalu pulang larut malam. Kaori benar-benar tak pernah ada waktu untuk menemani Misaki berbicara. Misaki yang selalu ditinggal seorang diri di rumah hanya bisa menatap langit-langit kamarnya dengan air mata yang tak pernah berhenti menetes. Ia selalu membayangkan tentang kasih sayang yang suatu saat nanti Kaori berikan kepadanya. Namun sudah 14 tahun berlalu, sang kakak tetap seperti itu.
***
Nishizawa Ayaka, seorang wanita yang sedang mengandung anak keduanya itu kini tengah sibuk dengan urusan rumah tangga. Sedari tadi ia terus mengepel lantai rumahnya yang selalu kotor akibat ulah nakal anak pertamanya. Anak pertamanya yang baru berumur tiga tahun itu tak mengerti dengan keadaan ibunya sekarang. Ia hanya tahu bermain dan melakukan hal-hal yang ia sukai, tanpa mempedulikan peluh ibunya yang terus bercucuran. Ia terus berlari ke sana dan kemari dengan kakinya yang sangat kotor itu.
Hari ini hujan baru saja turun, seluruh halaman rumah begitu basah dan kotor. Tanpa sepengetahuan Ayaka, tadi pagi anak pertamanya keluar rumah dan menginjak pekarangan yang kotor, ia bermain-main di sana seorang diri tanpa pengawasan siapapun. Kemudian ia kembali masuk ke rumah dengan keadaan kaki berlumpur dan pakaian basah. Hal itulah yang membuat Ayaka harus terus mengepel lantai rumahnya. Padahal jika ia mau, ia bisa membersihkan tubuh anak pertamanya terlebih dahulu, lalu setelah itu ia bisa mengepel lantai tanpa berulang kali. Hanya saja, ia tahu betul jika anaknya akan kembali keluar dari rumah dan bermain hujan di luar sana.
"Kaori, jangan berlari-lari seperti itu! Coba kau duduk di sana dan bermainlah dengan mainanmu!" ucap Ayaka kepada anaknya yang bernama Kaori itu. Kaori menghiraukan ucapan ibunya, ia malah terus berlari ke berbagai arah hingga membuat lantai begitu kotor. Ayaka menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan menyebalkan anak pertamanya itu.