Genta terkesiap. Sungguh, dia tidak menyangka kecemburuan kecil tadi siang akan berakhir seperti ini, "Sayang, sungguh bukan seperti itu, saya harap kamu mengerti kalau …"
"Apa hanya aku yang diharuskan mengerti disini?!!" balas Kania tanpa mendongakkan wajahnya. "Aku sudah berusaha keras semampuku untuk mengerti sejauh ini. Harus seberapa banyak lagi?!!" tandas Kania.
Genta merasa tertampar mendengar jeritan perempuan itu. Kania meraung kecil sebentar sebelum kembali bersuara. "Aku berusaha keras beradaptasi dengan cepat, menjadi ibu, menjadi isteri untuk Om. Siap enggak siap, aku semakisimal mungkin mencobanya. Aku mulai mencoba mengerti bahwa tidak ada yang bisa aku salahkan. Tapi Om membuat semuanya kembali buruk."
Kania berhenti lagi untuk kesekian kalinya mengambil nafas karena sulitnya ia bicara ditengah isakannnya. "Tidak ada yang perlu aku sesalkan. Toh perjalanan waktu ini bukan prediksi Om, bukan juga keinginanku. Kita sama-sama terjebak dalam situasi yang tidak kita duga. Aku yang tidak menduga menjadi seorang isteri, dan Om yang tidak menduga aku yang tiba-tiba belum jatuh cinta sama Om."
Kania terisak sebentar. Perempuan itu menarik ingusnya tanpa keanggunan. "Aku pikir selama ini om berusaha keras mengertiku hingga aku berusaha keras mengerti Om juga. Aku mencoba menjadi dewasa, mencoba tidak menyalahkan keadaan serta mencoba beradaptasi sebaik mungkin, aku berusaha juga menjaga perasaan Om. Melakukan apa yang Om minta temasuk dengan menuruti kemauan Om untuk jauh dengan Abi meskipun aku merasa hal itu terlalu berlebihan. Tapi Om malah tidak memikirkan aku." Kania mengungkapkan kekecewaannya pada Genta.
"Aku berusaha keras menjalani semuanya dengan baik meskipun merasa sangat tertekan dengan keadaan yang membuat aku frustasi itu."
Genta menjilati bibirnya. Ia tidak sadar sudah bersikap kejam pada Kania tanpa sadar. Kania masih tujuh belas tahun dengan pikiran Genta tidak ubahnya sebagai sosok paman baginya. Genta tahu benar akan hal itu. Tapi Genta tidak sabaran melakukan berbagai trik untuk Kania. Laki-laki itu melemparkan segala bujuk rayunya agar Kania melihatnya lagi sebagai pria. Tidak, agar Genta bisa mendapatkan 'keinginannya'.
Genta ingat, Kania pernah mengatakan perasaan frustasinya. Tapi Genta tidak menganggapnya serius. dia malah dengan percaya dirinya mengatakan pada Tara bahwa Kania sudah lebih baik. dia lupa kalau Kania masih perlu banyak waktu.
Pria itu berjongkok di dekat paha isterinya. "Sayang saya benar-benar minta maaf. Atas hal egois yang saya lakukan pada kamu tanpa sadar. Atas sikap saya yang membuat kamu tidak nyaman tapi tidak saya pedulikan, atas sikap saya yang mementingkan diri sendiri. Atas kesepakatan kita yang saya langgar dengan berbagai cara demi keuntungan saya sendiri. Saya minta maaf," ujar Genta penuh sesal.
Pria mencoba menggenggam tangan isterinya. "Ka', beri saya satu kesempatan lagi. Kita mulai lagi dari awal. Saya janji saya akan lebih mengerti kamu. saya janji tidak akan merayu atau membujuk kamu lagi untuk melayani saya kalau kamu tidak nyaman. Saya akan tidur di kamar Mikaela lagi seperti yang kamu mau. Maafkan saya, Ka', please!"
Genta memelas, dengan segala pengharapan terakhirnya untuk Kania. Kania menarik ingusnya tanpa keanggunan. "Aku kesal. Aku pikir kalian tadi hanya ketemu. Ternyata Om juga berbincang dengan dia. Padahal Om larang aku sama Abi."
"Iya, saya minta maaf!" ujar Genta untuk yang kesekian kalinya.
Genta paham perasaan Kania. Mungkin perempuan itu memang belum mencintai Genta. Tapi wanita manapun pasti cemburu mengetahui suaminya pernah berbincang dengan seseorang yang hadir di masa lalunya. Seseorang yang pernah dijodohkan dengannya, seseorang yang banyak hadir mengisi waktu dengan Genta sekalipun Genta dingin dan kaku. Meskipun Genta tidak menggubris kehadiran Mila, meskipun Genta tidak pernah berbincang banyak dengan Mila.
Tapi tetap saja …
Mila pernah menjadi seseorang yang diusahakan untuk menjadi isteri Genta. Entah bagaimanapun Genta menyebutnya, tidak menampik masa tiga tahun Genta dan Mila, mereka menjalin hubungan. Kendatipun tidak ada kontak fisik yang berlebihan yang terjadi. Kendati segala perhatian Genta hanya tertuju untuk Kania.
Kania merasa hal itu tidak jauh bedanya dengan dirinya dan Abi. Meski Abi menaruh perasaan padanya, meski Abi diam-diam mencintainya. Tapi tidak pernah yang keluar dari mereka berdua lebih dari sekedar teman. Abi begitu tahu batasan dan Kania bisa menjaga.
Kania merasa tidak adil ketika kalimat Genta egois. Yah! Dia akui emosi yang masih labil itu mudah saja memuncak saat ia sedang marah. Maka ia tidak dapat membendung apa yang dia rasakan. Tekanan yang masih tersisa, seberapa keras Kania mencoba keadaannya.
Genta mengusap air mata Kania dengan lembut. "Kamu mau memaafkan saya?"
Perempuan itu menganggukkan kepalanya. Memeluk Genta dengan sedikit tangisan yang ada disana. Genta menghembuskan nafas lega dengan matanya yang juga memerah berkaca-kaca. Dia benar-benar lemah jika menyangkut persoalan tentang Kania.
"Sekarang kamu tidur, ya! Saya harap kamu tidak berfikiran yang aneh-aneh lagi."
Kania menganggukkan kepalanya. Genta kemudian berdiri, mengambil bantal dan selimutnya bersiap untuk tidur di kamar Kania. Bukannya dia menyalahkan Mikaela dan Genta, dia hanya menyuarakan isi hatinya. "Om …" Kania memanggil pria itu membuat Genta berbalik meski dia tidak mengharap lebih.
"Soal undangan tante Mila, kita datang saja kalau kita memang bisa."
Genta menaikkan alisnya. "Kamu yakin?"
Kania menganggukkan kepalanya. "Ehm," ujarnya.
Sekarang Genta keluar dari kamar itu. Ia berharap memang hal tersebut yang diinginkannya dari Genta. Mencoba memejamkan matanya setelah nyaris sebulan dia terbiasa tidur dalam dekapan Genta.
***
Perempuan itu membuka matanya. Ia menyipit melirik pada box bayi. Tidak ada Mikaela kesana. Membuat Kania penasaran kemana perginya anaknya tersebut. Awalnya dia menduga Bibi, tapi suara tawa Genta yang berada di beranda dengan bocah gembul itu yang ditimang ayahnya membuat Kania mengurungkan niatnya. Oh! Puteri kecilnya sedang bersama ayahnya ternyata.
Genta dan tubuh liatnya sedang bermain dengan Mikaela. Tertawa yang dibalas juga oleh bayi bermata cantik itu. Meremas wajah ayahnya dengan tangan mungilnya sesekali. Oh! Pemandangan itu membuat Kania berliur tanpa sadar.
Genta dengan usia empat puluh tahunannya memang masih memiliki tubuh yang liat dan kokoh. Kania sudah pernah menyentuhnya membuat perempuan itu mendamba ingin menyentuh Genta lagi. Kania jadi mengingat lagi malam panas yang pernah dia lalui bersama Genta. Oh! Ia buru-buru memejamkan matanya. Mengenyahkan segala pikiran yang tidak masuk akalnya tersebut.
"Pagi, Mommy!" ujar Genta dengan suara kecil berusaha menirukannya untuk Mikaela.
"Om tidak berangkat kerja?" tanya Kania.
"Sekarang akhir pekan sayang!" senyum laki-laki itu.
Oh! Kania kacau. Dia bahkan melupakan hari hanya dengan melihat senyum Genta dan tubuh polos bagian atas dari laki-laki itu. Dia melupakan dirinya yang menangis histeris semalam mengatakan pada Genta bahwa dia tertekan. Apa sebenarnya yang Kania inginkan? Kenapa perempuan itu begitu labil.