Arisha pergi ke kontrakkan Maya. Untung saja Maya ada di kontrakkannya, dengan senang hati Maya mempersilahkan Arisha masuk. Dia satu-satunya sahabat Arisha yang paling pengertian dan mengerti seperti apa dirinya. Arisha duduk di sofa dengan wajahnya terlihat murung.
"Arisha kenapa?" tanya Maya yang duduk di seberang. Penasaran melihat Arisha sangat berbeda dari biasanya.
"Maya, aku mau dijodohkan." Arisha menjawab datar. Tatapan matanya sendu. Ada gurat kesedihan di wajahnya.
"Dijodohkan gimana?" Maya bertanya. Dia belum paham apa yang sedang Arisha bicarakan padanya.
"Kakekku akan menjodohkanku dengan cucu sahabatnya." Mata Arisha mulai berkaca-kaca. Dia merasa tertekan dengan perjodohan itu.
"Hari gini masih ada perjodohan? Tapi kalau cowoknya ganteng dan tajir gak papa sih," jawab Maya. Selalu mengambil sisi positif dari sebuah masalah.
"Iya kalau ganteng? Kalau gendut, jelek, dan nyebelin gimana? Atau kejam, arogan, dan suka main perempuan gimana?" Arisha takut lelaki yang akan dijodohkan dengannya tidak sesuai dengan kriteria lelaki idamannya. Dia ingin menikah dengan lelaki baik hati, penyayang dan rajin beribadah. Bukan sebaliknya.
"Iya sih."
"Apalagi kalau lelaki itu dinosaurus yang ada di kantorku, lebih baik ku dia buang ke laut," ucap Arisha kesal. Dia jadi teringat Erland di saat seperti ini. Rasanya ingin melampiaskan kemarahannya dan melempar Erland ke lautan dalam. Agar tidak ada lelaki seperti dia lagi.
Maya tertawa kecil melihat ekspresi Arisha yang kesal sampai mengepalkan tangannya saat menceritakan Erland.
"Lucu."
"Pokoknya aku gak mau dijodohkan dengan lelaki macam itu!" tegas Arisha.
"Arisha semua itukan baru dugaanmu," sahut Maya. Dia tidak ingin berspekulasi tanpa ada bukti. Bisa saja kenyataannya lebih baik.
Arisha mengatur nafasnya kembali. Dia hampir saja terbawa emosi gara-gara ingat Erland yang sering gonta-ganti perempuan.
"Terus aku harus bagaimana? Ibuku mengusirku gara-gara aku gak mau dijodohin." Arisha menghela nafas panjang. Berat rasanya jika dia harus meninggalkan Safira.
"Hm." Maya mendengus. Dia harus ikut memikirkan masalah Arisha. Biar bagaimanapun sahabatnya sedang dalam masalah besar.
"Aku gak mau ninggalin Ibu. Dia cuma punya aku, ibuku udah tua, aku kasihan kalau dia sendirian." Air mata mulai menetes di pipi Arisha setiap kali mengingat Safira. Dia tidak tega jika meninggalkan Safira seorang diri. Hanya Arisha keluarga yang Safira miliki.
"Kalau begitu solusinya menikahlah!" jawab Maya. Tak ada solusi yang lebih baik untuk Arisha selain menikah dengan orang pilihan kakeknya.
Arisha terdiam. Memikirkan saran dari Maya. Jika dia tidak menuruti kemauan Safira pasti sampai kapanpun Safira tidak akan mau bertemu dengannya.
"Ya sudah. Malam ini menginaplah di sini! Besok kau pikirkan lagi solusinya."
"Iya, makasih Maya," jawab Arisha. Untung Arisha memiliki sahabat sebaik Maya. Dia selalu ada di saat Arisha suka dan duka. Memberi Arisha bantuan dan dukungan. Itu yang membuat Arisha selalu nyaman curhat dan mengobrol dengannya.
"Beres, tapi dari tadi aku mencium bau. Kau pasti belum mandikan?" tanya Maya.
Arisha tertawa kecil. Dia memang belum mandi. Langsung makan dan diusir Safira.
"Mandi sana! Kau mau aku mengusirmu juga?" ucap Maya.
"Oke-oke. Tuan rumah memang harus dihormati dan dipatuhi. Namanya juga gratisan. Jadi awak tahu diri," sahut Arisha. Bangun sofa. Bergegas mengambil handuk dan alat mandinya. Seperti di rumahnya sendiri Arisha masuk ke toilet dan mandi. Setelah itu Arisha sholat lalu bersantai bersama Maya menonton film romantis yang ada di televisi.
***
Pukul 05.30 pagi
Arisha sudah ada di depan pintu rumah sewanya. Semalaman penuh Arisha memikirkan matang-matang keputusan yang akan diambil olehnya. Dia menunggu Safira membuka pintu. Biasanya Safira akan pergi ke pasar. Itu sebabnya Arisha menunggu sampai dia ke luar. Arisha sudah berdiri dari subuh sampai saat ini. Berharap masalah antara dirinya dan Safira bisa terselesaikan.
Tak lama pintu terbuka perlahan. Safira ke luar dari dalam. Menatap Arisha yang berdiri di depannya.
"Assalamu'alaikum Bu." Arisha mengucapkan salam.
"Wa'alaikumsallam." Safira terlihat acuh tak acuh. Memalingkan wajahnya Arisha. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan putrinya, dia harus bisa membuat Arisha menyetujui perjodohan itu.
"Bu, aku sudah memutuskan untuk menerima perjodohan itu," kata Arisha. Mau tak mau dia harus menerima perjodohan yang sudah direncanakan Abraham.
Safira menghela nafas panjangnya. Sebenarnya dia tidak ingin memaksa Arisha, apalagi menyuruh Arisha menikah dengan orang yang tidak dikenal dan tidak dicintainya. Keadaan yang membuat Safira begitu tega pada Arisha, menekannya untuk menyetujui perjodohan itu.
"Bagus, Ibu senang mendengarnya." Safira tak kuasa menahan kesedihannya. Air mata menetes di pipinya, dia sudah membuat Arisha terpaksa mengikuti sesuatu yang tidak diinginkannya.
"Ibu." Arisha mengkhawatirkan keadaan Safira yang menangis di depannya.
"Aku baik-baik saja. Mataku terkena debu jadi ke luar air mata," sahut Safira beralasan. Padahal dia sedih karena tak berdaya melawan keinginan Raditya dan memaksa Arisha untuk menyetujui perjodohan itu.
"Apa aku boleh tinggal dengan Ibu lagi?" Arisha memohon. Dia ingin tinggal bersama Safira kembali.
"Iya, kau boleh tinggal denganku lagi," jawabnya.
Arisha tersenyum bahagia. Dia langsung memeluk Safira yang berdiri di tempat. Mendapat pelukan dari Arisha, Safira menangis. Dia belum mampu memberi kebahagian untuk putrinya. Justru mengantarkan Arisha pada kehidupan yang tidak tahu akan seperti apa nantinya, apa bahagia atau tidak.
"Aku sayang Ibu. Jangan suruh aku meninggalkan Ibu lagi ya?" Arisha tidak ingin diusir Safira lagi. Dia akan melakukan apapun untuk bersama ibunya.
Safira hanya mengangguk. Seharusnya dia tidak melakukan hal itu. Mengorbankan perasaan Arisha karena ancaman dari Raditya.
Arisha melepas pelukannya. Dia menatap wajah Safira. Menyeka air mata yang menetes di pipi wanita tua itu.
"Aku ingin melihat Ibu tersenyum bahagia," ucap Arisha. Sudah menjadi mimpinya dia ingin membahagiakan Safira dan membuat hari-harinya menyenangkan.
"Makasih Nak, kau anak yang baik. Ibu yakin kau akan mendapatkan yang terbaik." Hanya doa yang selalu diucapkan setiap waktu untuk kebahagiaan putrinya. Bahkan disetiap sujudnya, dia selalu berharap Arisha akan mendapatkan yang terbaik.
"Amin," sahut Arisha.
"Sudah jam berapa sekarang? Berangkat sana! Biar gak kesiangan." Safira tahu Arisha harus pergi bekerja. Dia tidak ingin putrinya terlambat, apalagi Arisha baru saja mendapatkan pekerjaan.
"Iya Bu." Arisha mencium tangan Safira. Mengucapkan salam kemudian meninggalkan tempat itu.
"Maafkan Ibu Nak." Safira menatap ke depan. Melihat kepergian Arisha. Air matanya kembali menetes. Arisha rela mengorbankan keinginannya demi memenuhi kemauannya.
Safira masuk ke dalam rumah. Membawa tas rajut hasil rajutan semalam ke teras. Dia memasukkan tas rajut itu ke dalam tas barang yang ada di kanan dan kiri boncengan sepeda miliknya.
"Alhamdulillah selesai juga. Tinggal berangkat." Safira kembali masuk ke dalam rumah. Mengambil tas cangklong miliknya lalu ke luar. Tak lupa Safira mengunci pintu rumahnya.
"Safira!" Raditya berdiri di belakang Safira yang sedang mengunci pintu rumahnya.
Safira terperanjat. Seketika berbalik. Menatap Raditya yang ada di depannya.
"Untuk apa kau ke sini lagi?" tanya Safira.
"Untuk apa lagi? Kau tahukan apa yang ku inginkan?" Raditya tahu betul Safira sangat mengetahui tujuannya datang kembali.
"Masuk!"
Raditya mengangguk. Dia mengikuti Safira masuk ke dalam rumah. Seperti sebelumnya Raditya duduk dengan arogan. Menyilangkan kakinya. Sedangkan tangannya ada dikedua lengan sofa.
"Apa Elina sudah setuju dengan rencana perjodohan itu?" tanya Raditya
"Iya, kau puas?" Safira tampak dingin menatap lelaki tua di depannya.
"Tak sia-sia aku datang ke sini. Kau memang bisa diandalkan." Raditya tersenyum licik. Dia sudah tahu Safira akan membujuk Arisha. Hanya Safira yang bisa membujuk putrinya itu.
"Aku minta satu hal padamu."
"Apa?" Raditya bertanya. Dia ingin tahu apa yang diinginkan Safira.
"Kau harus bisa menjamin kebahagiaan Arisha setelah menikah dengan lelaki itu." Tidak ada yang diinginkan Safira selain kebahagiaan Arisha. Dia tidak ingin Arisha menderita setelah menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya.
"Iya, itu mudah." Raditya menyanggupinya. Padahal dia belum tahu seperti apa lelaki yang akan dijodohkan dengan Arisha.
"Baiklah. Sekarang urusan kita sudah selesai. Pulanglah!" titah Safira. Dia tidak ingin berlama-lama dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya itu.
"Oke, tapi berikan ini pada Elina. Dia harus datang!" ucap Raditya sambil meletakkan sebuah kartu di atas meja.
Safira hanya menatap kartu berwarna hitam yang ada di atas meja. Sedangkan Raditya merapikan jasnya. Bangun lalu ke luar dari ruangan itu.