Pagi harinya, seperti yang dikatakan sang paman, kini jenazah kedua orang tua Lea sudah sampai di rumahnya.
Tangis Lea kembali pecah melihat jika kedua orang tuanya benar-benar sudah terbujur kaku tidak bernyawa. Meskipun Lea menangis, menjerit, meminta mereka untuk kembali, tapi keduanya seakan tuli dan terus menutup mata.
Hanya pelukan dari Bi Asih yang Lea dapatkan untuk menenangkannya.
"Sabar, Non. Non Lea kuat, Non Lea pasti bisa melalui ini. Tuan dan Nyonya butuh doa Non Lea. Jad,i ayo kita antar kepergian mereka dengan doa," bujuk Bi Asih berharap Lea mau mendengarkannya.
Lea mengangguk dalam pelukan Bi Asih, gadis itu mengurai pelukannya dan mulai membaca doa seperti para pelayat yang lainnya.
Meskipun air mata tidak mau berhenti mengalir, tapi sekuat tenaga Lea berusaha tetap tegar. Dia tidak ingin jika kedua orang tuanya bersedih karena melihat dirinya yang hancur seperti ini.
"Le, kamu yang sabar, ya. Kami turut berdukacita atas kepergian kedua orang tuamu," ucap salah satu teman Lea yang baru saja datang.
Melihat teman-temannya datang, tangis gadis itu kembali pecah. Gadis itu benar-benar tidak memiliki sandaran lagi. Bagaimana dia bisa menghadapi dunia jika penopang nya sudah tidak ada.
"Kamu yang sabar, Le. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Kami di sini untuk kamu," ujar yang lainnya mengelus lembut punggung Lea.
"Terimakasih, Sin, Rin, kalian sudah ada buat aku," ucap Lea sambil menyeka air matanya.
"Ayolah, Sayang. Kami ini teman kamu, kami pasti akan selalu ada. Kita hadapi semuanya bersama, hem," sahut temannya yang bernama Karin.
Lea menganggukan kepala, dan menampilkan senyum kecil di bibirnya.
"Terimakasih."
Ketiganya pun berpelukan menyalurkan kekuatan lewat sentuhan itu. Lea sedikit lega, setidaknya dia masih memiliki teman yang ada di sampingnya saat ini.
Setelah semua proses persiapan pemakaman selesai, mereka langsung membawa jenazah pasangan suami-istri itu menuju peristirahatan terakhirnya.
Lantunan doa terbaik, mengalir begitu deras untuk kedua orang tua Lea.
Bukan hanya terkena sebegai pengusaha yang sangat baik, mereka juga terkenal sebagai orang yang dermawan.
Tak sungkan-sungkan keduanya mengulurkan bantuan jika orang-orang di sekitarnya membutuhkan. Siapapun itu, tanpa kecuali.
Makannya, saat kini keduanya berpulang, banyak sekali orang yang turut merasa kehilangan. Doa dari orang-orang yang pernah mendapatkan bantuan dari keduanya pun, mengalir deras, mengiringi setiap proses pemakaman itu berlangsung.
Setelah semua prosesi pemakaman selesai, kini tinggallah Lea dan juga Bi Asih yang masih menangisi tanah merah di hadapan mereka.
Nisan yang bertuliskan nama kedua orang tuanya, Lea kecup satu persatu, seolah itu adalah kedua orang tuanya.
"Le, kita pulang sekarang! Ada yang harus Paman bicarakan sama kamu," ajak sang paman membuat Lea langsung menganggukan kepala.
Mereka pun meninggalkan pemakaman, dengan separuh nyawa yang tertinggal di sana. Kedua orang yang mereka cintai sudah sampai pada titik terakhir penjalanan hidupnya di dunia.
Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang tercipta diantara mereka. Tidak ada yang membuka suara, karena terlalu larut dalam kesedihan.
Setelah menempuh perjalanan beberapa saat, mereka akhirnya sampai juga di rumah mewah milih kedua orang tua Azalea.
Namun, begitu turun dari mobil, kening Lea langsung mengenyit. Bukan apa-apa, di depan pintunya, terdapat beberapa orang asing yang menunggu kedatangan mereka di sana.
"Mari kita berbicara di dalam," ajak Ibram mempersilahkan orang-orang itu untuk masuk.
Lea yang tidak mengerti dengan apa yang terjadi, hanya bisa ikut mengekor dari belakang.
Orang-orang asing yang berjalan di depannya itu, memang Lea tidak mengenalinya. Entah itu rekan kerja ayahnya, atau siapa, Lea benar-benar tidak mengetahuinya.
"Silahkan duduk!" ucap Ibram mempersilahkan tamunya.
"Jadi, kedatangan kami kesini, untuk membicarakan perihal hutang dan tunggakan yang sudah lama tidak Tuan Irwan bayar kepada kami," ucap salah satu orang itu memulai pembicaraan.
Lea langsung mengenyit kebingungan. Sejak kapan ayahnya memiliki hutang? Seingat Lea, selama ini hidup mereka jauh dari kata hutang piutang. Kenapa tiba-tiba kedua orang di depannya berbicara masalah hutang saat ini?
"Maaf, Kalau boleh saya tahu, memang Papa berhutang apa? Berapa Papa memiliki tunggakan pada kalian?" tanya Lea penasaran.
"Tuan Irwan memiliki hutang sebesar 20 triliun kepada kami. Itu baru hutang pokoknya saja, dan belum ditambah dengan bunga nya," jawab orang itu membuat Lea langsung membulatkan matanya.
"Hah? Apa Anda tidak salah, Tuan? Tidak mungkin Papa memiliki hutang sebanyak itu, sementara selama ini bisnisnya selalu lancar," sangkal Lea tidak percaya pada orang di depannya.
"Anda masih kecil, Nona. Bagiaman Anda bisa tahu urusan kedua orang tua Anda? Kami tidak mungkin mengada-ada karena ini jelas hutang yang orang tua Anda punya. Silahkan baca dokumen ini! Buktikan sendiri jika apa yang saya katakan adalah benar!" titah orang itu sambil melempar dokumen ke hadapan Lea.
Dengan tangan gemetar, Lea mengambil dokumen itu. Setiap kata demi kata yang tertulis di sana, Lea baca dengan teliti.
Tanpa terasa, air matanya kembali berjatuhan membasahi pipi. Lea tidak menyangka jika ayahnya meninggalkan hutang sebesar ini.
"Le, mereka benar. Paman yang menjadi saksi saat ayahmu meminjam uang untuk menutupi kerugian perusahaan beberapa tahun lalu. Ibumu juga mengetahui semua ini, tapi mereka tidak memberitahu kamu karena kamu masih kecil," sela Ibram menyakinkan Lea jika hutang yang dimiliki kedua orang tua gadis itu, memang benar adanya.
"Masih kecil bagaimana, Paman? Aku sudah besar! Kenapa mereka tidak membagi masalah ini denganku dan malah membuat kejutan seperti ini?" racau Lea sambil terus menangis.
"Paman tidak tahu, Le. Tapi yang lebih penting sekarang ini, bukan tentang kedua orang tua kamu yang tidak memberitahu kamu segalanya, tapi kewajiban kamu sebagai ahli warisnya untuk melunasi semua hutang mereka agar duanya tidak mempunyai beban untuk bisa hidup tenang di alam keabadian," sahut Ibram memberikan Lea pengertian.
Lea yang masih menangis, hanya mampu menganggukan kepalanya.
Ibram mulai menyebutkan berapa nilai simpanan kakaknya. Namun, ternyata semua itu belum cukup. Terpaksa, rumah ini pun Ibram pertaruhkan untuk bisa melunasi semua hutang kedua orang tua Lea yang sangat besar itu.
"Paman, kalau rumah ini disita, Lea akan tinggal di mana?" tanya Lea menyela pembicaraan Ibram dengan pihak penagih hutang itu.
"Ayolah, Le. Saat ini kamu jangan egois. Yang penting, hutang kedua orang tua mu bisa lunas!" kesal Ibram pada keponakannya yang seakan menentang apa yang dia lakukan.
"Tapi …."
"Le! Kamu mau kedua orang tua kamu tidak tenang hanya karena anaknya yang egois seperti ini? Harusnya kamu melakukan berbagai cara untuk bisa membantu kedua orang tua kamu mendapatkan tempat yang layak di surga sana, bukan malah seperti ini!" Bentak Ibram penuh amarah.
Lea kembali menunduk dan tidak mengeluarkan suara apa pun lagi.
Semua harta peninggalan orang tuanya menjadi taruhan untuk melunasi hutang yang segunung itu.
Lea hanya mampu menyembunyikan tangisnya dalam pelukan Bi Asih yang baru saja tiba setelah mengambil minum dan juga cemilan. Dia tidak tahu harus tinggal di mana setelah rumah ini disita nanti.
Jangankan tempat tinggal, semua tabungan yang orang tuanya siapkan untuk Lea pun kini lenyap. Entah harus dengan apa, Lea hidup setelah ini.
"Baiklah, sesuai kesepakatan, silahkan tandatangan di sini!" titah orang itu sambil menyerahkan balpoin kepada Lea.
Dengan tangan bergetar, Lea membubuhkan tandatangan, sebagai bentuk persetujuan semua harta miliknya, dijadikan pelunas hutang kedua orang tuanya.
Setelah ini, Lea tidak tahu harus kemana dia membawa kakinya melangkah. Semoga saja, Ibram—sang paman—mau menampungnya.