Sesuai perintah penagih hutang tadi, kini Azalea dibantu oleh Bi Asih mulai mengemas pakaian dan juga semua barang pribadi miliknya. Hatinya hancur saat harus menyerahkan rumah dengan sejuta kenangan bersama kedua orang tuanya kepada orang lain.
Namun, Azalea tidak mampu melakukan apa pun juga. Dia hanya bisa pasrah menerima keadaan yang kini harus dia jalani.
"Bi, maafin Lea dan juga kedua orang tua Lea. Selama ini, kami banyak salah sama Bibi. Lea juga sering nyuruh-nyuruh Bibi untuk melakukan ini itu, padahal hal itu masih bisa Lea kerjakan sendiri," ucap Lea penuh kesedihan.
"Non Lea ini bicara apa, toh? Sudah seharusnya Bibi melakukan semua yang Non Lea dan juga kedua orang tua Nona minta. Kalau Bibi di sini cuman untuk malas-malasan, untuk apa kalian membayar Bibi mahal?" sahut Bi Asih merasa keberatan dengan permintaan maaf yang seharunya tidak gadis itu katakan.
"Tapi, Bi …."
"Sudahlah, Non. Yang penting sekarang Non Lea jangan terlalu larut dalam kesedihan. Non Lea juga harus bisa jaga diri agar tidak ada orang yang menyakiti Non Lea. Meskipun kita sudah tidak bersama lagi, tapi do'a Bibi akan selalu bersama Non Lea," ucap Bi Asih penuh kesedihan. Bagaimanapun, Lea bukan hanya sekedar anak dari majikannya, melainkan sudah seperti cucunya sendiri.
"Bi, maafkan Lea karena Lea enggak bisa bawa Bibi ke rumah Paman. Mudah-mudahan, Bibi mendapatkan majikan baru yang menyayangi Bibi seperti keluarga. Bibi harus jaga diri, sama jaga kesehatan. Jangan lupa untuk selalu bertukar kabar dengan Lea, ya, Bi," ujar Lea membuat tangis yang sedari tadi mereka berdua tahan, langsung pecah begitu saja.
Kedua orang itu langsung berpelukan, menumpahkan tangis yang mengawali perpisahan mereka.
"Ini kenapa malah nangis-nangisan begini? Kamu hanya punya waktu setengah jam, Lea! Cepat kemasi barang-barang kamu, setelah itu keluar dari rumah ini!" titah sang Paman yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Lea.
Lea langsung mengurai pelukannya dari Bi Asih. Gadis itu menyeka air matanya lalu mendongak menatap sang Paman.
"Maaf, Paman. Lea tidak bermaksud berlama-lama. Tapi semua barang-barang Lea sudah dibereskan. Jadi, ayo kita berangkat sekarang," sahut Lea segera beranjak dari duduknya.
"Berangkat kemana?" tanya Ibram dengan alis yang saling bertautan.
"Tentu saja pulang ke rumah Paman. Memang Lea mau pulang kemana lagi kalau rumah ini sudah disita, Paman," jawab Lea dengan ekspresi wajah kebingungan.
"Tunggu! Siapa yang mengajak kamu untuk tinggal bersama Paman? Istri Paman itu baru saja melahirkan, terus Paman juga mempekerjakam baby sitter untuk membantunya. Kalau ditambah menampung kamu juga, Paman tidak akan sanggup menghidupi kalian. Kamu tahu kan, kalau gaji Paman itu kecil? Jadi, maaf Lea, Paman tidak bisa membantu kamu untuk ini. Kamu cari saja kontrakan kecil untuk kamu tinggali. Jadilah anak yang mandiri, Lea, agar kedua orang tuamu itu bangga. Jangan jadi anak yang manja dan menggantungkan hidup pada orang lain!" ujar Ibram lalu melangkahkan kakinya meninggalkan Lea.
Lea yang mendengar ucapan pamannya, langsung mematung. Dia tidak menyangka jika satu-satunya keluarga yang dia miliki, tidak mau menampungnya seperti ini.
Bagaimana Ibram bisa melakukan ini kepada keponakannya sendiri? Sementara laki-laki itu tahu kalau Lea tidak memiliki keluarga lain lagi.
"Non Lea tidak apa-apa, kan?" tanya Bu Asih penuh rasa iba pada gadis yang baru saja ditimpa musibah bertubi-tubi itu.
"Ah, enggak, Bi! Aku baik-baik saja," jawab Lea sambil tersenyum berusaha terlihat baik-baik saja.
"Apa sebaiknya Non Lea ikut Bibi saja ke Bandung? Di sana, Non Lea bisa kembali melanjutkan kuliah. Kampus di Bandung juga enggak kalah bagus dari di sini kok, Non," ucap Bi Asih yang tidak tega kalau harus meninggalkan Lea sendirian.
"Enggak usah, Bi. Lea akan coba hubungin teman-teman Lea dulu untuk meminta bantuan. Lea yakin mereka akan mau menampung Lea untuk sementara, sampai Lea mendapatkan uang untuk menyewa kos-kosan," jawab Lea segera mengambil ponselnya untuk menghubungi sahabatnya.
Setelah beberapa saat mengutak-atik ponselnya, Lea langsung menekan tombol panggilan begitu nomor salah satu temannya itu tampil di layar ponselnya.
"Hallo, Sin. Apa kamu ada waktu? Aku butuh bantuan kamu saat ini," ucap Lea begitu panggilan terhubung.
"Tenang aja, aku free, kok. Memang ada apa, Le?" tanya sahabatnya yang bernama Sinta.
"Emmm, jadi begini …."
Lea langsung menceritakan semua masalahnya. Dari mulai semua harta peninggalan kedua orang tuanya yang disita pihak Bank, hingga kini yang dia tidak mempunyai tempat tinggal lagi.
"Jadi, aku mau ikut numpang di rumah kamu untuk sementara, Sin. Sampai aku dapat uang untuk menyewa kos-kosan," ucap Lea mengakhiri ceritanya.
"Duh, gimana ya, Le. Bukan aku enggak mau bantuin kamu, tapi kalau nampung kamu terlalu lama, orang tua aku enggak bakalan ngijinin. Apalagi, kamu juga enggak tahu kan, kapan bakalan dapat uang untuk menyewa kos-kosan itu? Jadi, maaf ya, aku enggak bisa bantuin kamu untuk kali ini," sahut Sinta menolak memberikan bantuan pada Lea.
"Oh, begitu, ya. Kalau begitu, terimakasih ya, Sin. Maaf sudah mengganggu."
Tut.
Lea mengakhiri panggilan teleponnya. Kembali dia mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi sahabatnya yang lain.
Namun sayang, Lea harus menelan kecewa karena mereka pun menolak memberikan bantuan pada Lea. Alasannya kurang lebih sama dengan Sinta.
"Bagaimana, Non? Apa mereka mau membantu, Non Lea?" Tanya Bi Asih.
Lea menghembuskan napas kasar lalu menggelengkan kepalanya.
"Enggak, Bi. Mereka enggak bisa membantu Lea. Emm, mungkin Lea akan pergi ke …."
"Sudah, Non, tidak usah mencari bantuan orang lain lagi! Sebaiknya, Non Lea ikut Bibi saja ke Bandung sekarang. Bibi ada simpenan sedikit yang bisa kita gunakan untuk sehari-hari sebelum Bibi dapat kerjaan lagi. Lagipula, Bibi juga sudah tudak punya siapapun lagi. Jadi Bibi bakalan senang kalau ada Non Lea," ucap Bi Asih tidak tega kalau harus membiarkan Lea terkatung-katung sendirian.
"Tapi Bi, aku tidak mungkin membebani Bibi. Aku juga tidak tahu kapan akan mendapatkan uang untuk bisa menyewa tempat untuk aku tinggali. Aku tidak punya uang, Bi," lirih Lea kembali menjatuhkan bobot tubuhnya di pinggir ranjang. Sungguh, saat ini gadis itu sedang berada di titik terendah dalam hidupnya.
Bi Asih yang melihat gadis itu begitu putus asa, langsung memberikan pelukan untuk menenangkannya. Hatinya ikut sakit melihat Lea yang ditolak oleh semua orang. Padahal, selama ini gadis itu tidak pernah mengecewakan siapapun yang meminta bantuannya. Namun, saat Lea yang membutuhkan bantuan itu, semua orang sekaan menutup mata dan tidak peduli pada apa yang terjadi pada Lea.
"Le! Cepat! Waktunya sudah habis!" teriak Ibram.
Lea langsung menyeka air matanya, namun dengan ekspresi wajah yang kebingungan, karena tidak tahu harus pergi kemana.
"Non, ikut Bibi, ya. Meskipun Non Lea akan Bibi bawa dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan. Tapi setidaknya, kita masih punya tempat untuk berteduh," bujuk Bi Asih lagi.
Karena memang tidak mempunyai pilihan lain, Lea hanya bisa menganggukan kepala.
"Terimakasih, Bi. Maaf, Lea kembali merepotkan Bibi," ucap Lea penuh sesal.
"Enggak Non, Bibi justru senang karena sekarang enggak akan kesepian lagi. Sudah, ayo kita keluar dari rumah ini!" Ajak Bi Asih.
Lea mengangguk lalu mengekor Bi Asih untuk keluar dari kamar. Mungkin, hanya Bi Asih lah yang bisa Lea jadikan tempat untuk bernaung saat ini.
Lea berjanji, dia tidak akan hanya berpangku tangan. Dia akan melakukan apa pun untuk bisa membantu Bi Asih menghasilkan pundi-pundi rupiah di tempat tinggalkan nya nanti.
Biarlah, untuk sementara Lea harus merelakan kuliahnya. Lagipula, uang darimana Lea akan membayar kuliah nya itu, jika terus memaksakan diri.
Semoga saja, suatu saat nanti keajaiban akan datang. Lea akan kembali memiliki uang untuk bisa meneruskan kuliahnya. Menggapai semua cita-cita yang sempat tertunda, dan membahagiakan Bi Asih yang menjadi malaikat penolongnya.