"Argh, masalah terus menghampiri hidupku. Sepertinya memang sudah menjadi makanan sehari-hariku, ya." Divya kembali menyelesaikan beberapa laporan yang belum sempat ia selesaikan.
Setelah menyelesaikan laporannya, Divya mencoba untuk meregangkan tubuh pada kursi goyang itu. Sangat lelah, kepalanya sudah terasa sangat sakit. Tidak lama kemudian, ia mendapat beberapa pesan dari seseorang. Isinya mengenai sebuah peringatan agar dirinya tidak terlalu dekat dengan Raymond.
"Sudah bisa kupastikan pasti ini kelakukan tidak bermoral wanita ular itu! Kalau harus menjaga jarak, bagaimana mungkin aku bisa menyelesaikan tugas-tugasku ini? Wanita itu terlalu berlebihan. Kalau tidak mau mempunyai pacar yang selalu dikelilingi wanita, dia bawa saja pacarnya ke goa! Borgol tubuh si Raymond kalau perlu," gerutu Divya di dalam ruangannya.
Tanpa sadar, Raymond masih terus memantau pergerakan sekretarinya dari kamera pengawas yang sudah dipasang pada ponselnya. Zeline yang duduk di hadapannya juga merasa sangat penasaran. Sejak tadi, pria menawan itu terus menatap ponselnya sambil tersenyum sekilas. Tidak sedikit, ia mengeluarkan tawa recehnya di dalam tempat makan.
"Sayang, kamu kenapa tertawa seperti itu? Kamu sedang melihat apa?" tanya Zeline merasa sangat penasaran. Ia juga berusaha untuk melihat layar ponsel kekasihnya.
Raymond langsung terperangah, ia sampai melupakan ada seseorang yang sedang duduk di hadapannya. Ia pun segera menyembunyikan ponselnya ke dalam saku jas kerja.
"Kenapa, Sayang? Kamu tadi mengatakan apa?" tanya Raymond, ia sama sekali tidak mendengar ucapan sang kekasih.
Senyuman yang ada di bibir Zeline langsung memudar. "Bahkan, kamu tidak mendengarkan ucapanku tadi. Kamu sedang melihat apa? Chatting-an dengan siapa?" sindirnya.
Raymond sedikit menelan salivanya. "Hm? Chatting? Dengan siapa? Aku tidak melakukan hal itu, Sayang. Tadi aku hanya melihat film—"
Zeline langsung memotong ucapan kekasihnya. "Film? Film apa? Setahuku kamu tidak menyukai film apapun. Kenapa mendadak jadi suka … atau kamu sedang—"
Raymond segera memotong ucapan Zeline. "Sayang, jangan berpikir yang tidak-tidak. Sekarang cepat habiskan makananmu. Setelah itu, aku akan mengantarmu ke lokasi syuting," alihnya.
***
"Sudah hampir jam lima sore. Bagaimana nasibku di tempat ini?" Divya kembali memantau tiap sudut yang ada di dalam ruangannya.
Wanita berparas manis masih menunggu kepulangan sang atasan dari luar. Entah kenapa ia begitu patuh terhadap perintah yang sudah Raymond titahkan. Sudah hampir setengah jam berlalu, pria penguasa itu belum juga sampai di sana. Akhirnya, Divya memutuskan untuk pulang.
Namun, di pertengahan lorong kantor, ia melihat kehadiran Raymond bersama dengan asistennya. Sungguh kalut jiwa raga Divya ketika melihat kehadiran sang atasan. Ia pun segera mencari ruangan yang masih dalam keadaan terbuka. Namun, tidak ada satu ruangan yang biasa ia masuki.
Perjalanan Raymond sudah semakin dekat. Ia pun tercengang menatap aktivitas Divya pada tempat tersebut. Alis tebalnya langsung menanjak tajam. Sedangkan, Divya masih membelakangi kehadiran sang atasan.
"Divya, kenapa kamu berdiri di sana?" tanya Raymond merasa sangat penasaran.
Divya dengan tatapan canggungnya mulai berbalik. "Hehe, Bapak baru pulang?" alihnya.
"Sedang apa di sana?" tanya Raymond sekali lagi.
Divya menjadi salah tingkah menatap raut wajah pria itu. "Oh, ini, Pak. S–s–saya mau pergi ke toilet," ungkapan Divya, ia sudah tidak bisa berpikir dengan jernih.
"Ke toilet? Bukanya ruangan kamu juga ada toiletnya?" sentak Raymond, ia sedikit tersenyum melihat gelagat wanita itu.
Divya sudah tidak bisa menjawab pertanyaan atasannya. "Pak, sini! Biar saya bawa tas Anda, Pak," alih Divya dengan melempar tatapan canggungnya.
"Kamu mau pulang, ya?" serang Raymond sekali lagi.
Pria yang ada di sebelah Raymond sudah tersenyum geli melihat reaksi Divya. Sedangkan, Divya masih menundukkan kepalanya. Ia merasa sangat takut dan kelimpungan mencari alasan untuk menghindari setiap pertanyaan yang sudah atasannya lontarkan. Sepersekian detik, Raymond langsung mengulurkan tangannya.
"Bawa tasku! Cepat ikuti aku! Ada yang ingin aku katakan kepadamu di dalam ruangan!" ungkap Raymond seraya memberikan tas kerjanya.
Divya segera mengambil benda berwarna hitam kecoklatan. Ia pun segera mengikuti kedua pria tegap itu dari belakang. Jantungnya sudah tidak bisa terkondisikan. Entah apa yang ingin Raymond katakan padanya di dalam ruangan tersebut.
Setelah sampai di sana, kedua mata Raymond langsung menatap tajam ke arah Luke. Pria itu segera mengerti apa yang dimaksud oleh atasannya. Ia segera keluar dari sana. Dan sekarang hanya ada Divya beserta Raymond di dalam ruangan.
"Silakan, duduk!" titah Raymond.
"Baik, Pak." Divya segera meletakkan tas kerja Raymond di atas meja kerja. "Permisi, Pak. Kenapa Anda ingin berbicara dengan saya? Ada sesuatu kesalahan yang telah saya perbuat?" tanya Divya merasa penasaran.
"Tidak, ada. Aku hanya ingin bertanya kepadamu tentang pembahasan yang sempat terjalin diantara kamu dan Zeline. Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Raymond, ia masih merasa penasaran.
Divya kembali salah tingkah. "Tidak ada pembahasan apapun, Pak. Kami hanya saling menyapa saja," jawab Divya berbohong.
Raymond langsung menanjakkan sebelah alisnya. "Begitu," sosornya sekaligus membuat Divya merasa cemas.
"Hanya itu saja, Pak? Hm, maksud saya. Bapak hanya ingin bertanya tentang itu saja?" tanya Divya seraya mengerutkan dahinya.
"Kamu pikir apa?" Raymond sedikit tersenyum.
"Hm, tidak ada, Pak."
Kedua netra mereka saling bertaut. Ada tatapan tidak asing yang pernah Raymond lihat dari kerlingan netra sekretarisnya. Namun, ia masih merasa bingung di mana ia melihat tatapan itu. Sedangkan, Divya masih dalam keadaan cemas.
"Silahkan, pulang!" ucap Raymond secara mendadak.
"Bapak mengusir saya?" tanya Divya merasa terperangah.
"Kamu mau terus menatapku seperti itu?" lontar Raymond kemudian.
"Bodoh, kenapa aku malah bertanya seperti itu? Seharusnya, aku merasa senang bisa pulang lebih awal dari biasanya," gerutu Divya di dalam pikirannya. "Eh, maaf, Pak. Kalau begitu saya izin pulang, ya. Bapak juga jangan terlalu lama berada di sini. Dan selalu berhati-hati dalam berkendara." Divya segera bangkit dan memberikan salam hormat.
Raymond hanya tersenyum melihat kepergian sekretaris barunya itu. Entah kenapa hatinya merasa sangat bahagia ketika berhadapan dengan wanita tersebut. Sedangkan, Divya masih dalam keadaan canggung dalam berjalan. Seperti ada sesuatu hal yang janggal saat berada di dalam ruangan tadi.
"Aku sangat yakin bahwa Raymond tidak hanya ingin bertanya tentang hal itu saja. Kenapa dia menjadi sangat aneh seperti itu?" pikir Divya merasa sangat penasaran.
Di halte bis, Divya tanpa sengaja melihat seorang wanita tua berdiri di pinggir jalan. Ia menjadi cemas karena wanita itu tampak kebingungan untuk menyebrang jalan. Karena merasa iba, akhirnya ia mencoba membantu sang ibu untuk menyeberangi perlintasan yang cukup ramai. Aksi peduli Divya pun tanpa sengaja terlihat di mata sang atasan yang baru saja melintas.
"Selain cerdas, dia juga wanita yang perhatian," puji Raymond di dalam hatinya.
Luke langsung melihat wajah Raymond dari kaca spion. "Kamu kenapa tersenyum seperti itu? Merasa tertarik dengan Divya?" celetuknya sekaligus membuat Raymond tersadar.
"Hah? Kamu bilang apa tadi?" Raymond berpura-pura tidak mendengar ucapan sepupunya.
Luke langsung tertawa receh. "Ternyata, aku tidak salah memilihkan sekretaris untukmu, ya. Beberapa masalah yang sempat terjalin, satu per satu bisa Divya selesaikan dengan mudah. Selain cantik, ternyata dia juga ahli dalam merubah suasana hati seseorang."
Raymond langsung mengalihkan pandangannya kepada Luke. "Apa? Kamu mengucapkan apa tadi? Siapa yang bisa merubah hati? Hati Siapa?" tanyanya merasa sedikit kesal.
Luke hanya bisa tertawa mendengar gerutuan sepupunya.