Simona dipanggil Mona. Berarti Simon baiknya disapa Mon, bukan?
Jawabannya bukan, dong. Mana mau sih aku disapa Mon sama cewek reseh itu, Simon membatin. Yang boleh menyapanya Mon cuma keluarga dan orang-orang terdekat saja. Ia juga antipati dipanggil Pak Sim. Kalau bisa sih, panggil Pak Bos, Pak CEO, atau Pak saja, ya, untuk amannya.
Herannya, bila menyangkut nama sang bos, Simona seakan telmi atau mau enaknya sendiri. Sudah berkali-kali ditegur agar tak memanggilnya Pak Sim, tetap saja panggilan itu terdengar terus. Pak Sim, tolong ini ditanda tangani surat utangnya. Pak Sim, apa kita perlu mengajukan pailit atau kita tutup saja perusahaan setelah melunasi utang dan bunga-bunganya?
Nah ini dia dilema dalam hati Simon. Antara menyatakan pailit atau melunasi utang agar kelak mereka masih punya bona fide untuk berbisnis. Bona fide itu bukan bonafide, meskipun dianggap sama saja. Bonafide dalam bahasa kita artinya elit atau meyakinkan kinerjanya. Sementara bona fide dari bahasa Latin artinya kepercayaan baik, aset paling tak ternilai bagi pengusaha mana pun di muka bumi ini, termasuk juga Simon dan keluarganya.
Tadinya, Simon sudah mantap mengajukan pailit. Dengan begitu ia bisa terhindar dari utang bejibun yang membenamkan kepalanya. Namun, konsekuensinya berat. Kelak, keluarga Simon, apalagi Simon sendiri, takkan bisa lagi berbisnis di Indonesia dan mengajukan kredit usaha di bank pun akan sangat sulit.
Mau tak mau sosok Jemima jadi racun buat Simon. Profilnya yang tulus dan apa adanya, ingat namanya saja Jemima aka Iyem, jadi pecut penyemangat Simon untuk bangkit dan memulai dari awal lagi. Menyatakan pailit berarti lari dari penyakit, tanpa usaha untuk menyembuhkan bisnisnya yang sekarat, atau setidaknya sedang berpenyakit berat, secara tuntas dan menyeluruh.
Teorinya sih gampang, say. Analisis penyakitnya, teliti sumber penyebab penyakit, lalu tentukan obat yang tepat, terakhir lakukan pemulihan. Nyatanya, hidup tak semudah itu, Ferguso. Bukan bak telenovela atau sinetron penuh impian, usaha bangkrut tinggal simsalabim, sekejap mata tahu-tahu lima tahun berlalu, dan bisnis moncer lagi, tanpa dikasih tahu prosesnya macam apa, seakan disulap sama Pak Darmo, pesulap kondang yang digilai Simon dulu.
Dengan semangat yang seakan disulap lagi, Simon ingin menata bisnis berondongnya yang sempat berantakan. Keluarganya berjualan popcorn yang dalam bahasa kita dinamakan jagung berondong. Posisi Simon dalam percintaan juga berondong atau pria lebih muda, lebih-lebih Jemima, cewek yang menarik hatinya itu ternyata berusia 25 tahun, dua tahun lebih tua dari Simon yang bulan besok akan berumur 23 tahun.
Bisa ditebak, Simona yang usianya 29 tahun meremehkan pemikiran bosnya yang masih muda. "Pak Sim kok sepertinya terlalu menggampangkan situasi. Perusahaan kita memang belum mati, tapi tak bisa diselamatkan dengan kredit ke bank. Utang yang dibayar dengan utang itu gali lubang tutup lubang istilahnya, Pak."
"Kalau tidak berutang, paling bisanya menyatakan pailit. Jadi bagaimana menuntaskan kisruh utang? Kita sudah tak punya dana lagi, asal kamu tahu saja, Mona." Simon sengaja mengeja kata Mona seperti anak TK menyerukan nama gurunya, dengan dipanjang-panjangkan suku kata terakhirnya.
"Saya tahu, Pak Sim. Saya setuju Bapak tidak mau jatuh pailit. Saya mendukung. Cuma cara bayar utangnya itu yang salah, Pak. Jangan dengan berutang lagi. Karena bakal makin mumet, Pak Siiim." Mona membalas dengan memanjang-manjangkan nama Sim, gerak bibirnya nampak menyebalkan.
"Baiklah. Kalau kamu merasa pinter, keluarkan jurus kamu. Hayo, saya mau dengar, kamu punya solusi jitu apa di kepalamu itu, Mona." Simon menantang balik, seraya membidik jidat Simona dengan galak.