Chereads / Ada Cinta di SMA / Chapter 3 - Kakak seperguruan

Chapter 3 - Kakak seperguruan

"baik pak Tian" seorang guru lain yang tak lain adalah kepala kesiswaan mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya.

Melihat beberapa murid yang berada diluar sedang berbicara satu sama lain, guru muda itu mengernyitkan alis dan kembali mempercepat langkah ke sumber kebisingan.

"kawan, aku gak nyangka di angkatan kita ada siswa yang seberani itu" seorang pemuda belia berumur sekitar 16 tahun berbicara dengan teman disampingnya, wajahnya penuh kekaguman.

"hmmm.." seorang yang satunya lagi bergumam lalu berkata " kita lihat apa yang akan dia lakukan setelah ini" matanya tertuju pada seorang guru muda yang berjalan terburu-buru.

"anak-anak, kenapa kalian diluar?" tiba-tiba suara seseorang mengagetkan beberapa siswa yang berada diluar aula.

" anu...anu.. pak.. di dalam ada pertikaian" seorang siswa menjawab dengan terbata-bata.

"pertikaian?" guru muda itu mengernyitkan dahi dengan raut wajah penasaran.

"iya pak, seorang siswa baru dengan pengurus OSIS" siswa yang lain menjelaskan kepada guru di hadapannya.

Mendengar apa yang dikatakan murid-murid itu guru Tian terburu-buru masuk ke dalam aula dengan wajah geram diikuti beberapa siswa yang tadi berada di luar.

Di dalam ruangan aula, seorang ketua OSIS SMA Pancasila yang tak lain adalah Sardi tengah mengelus-elus perutnya. Rasa sakit akibat pukulan Andra tak mampu untuk membuat ia tidak meringis kesakitan.

Walaupun dalam hati tidak dapat menerima perlakuan juniornya itu, Sardi tetap tidak dapat berbuat apa-apa. Sardi sadar betul bahwa seorang pemuda belia yang ia anggap bocah ingusan itu memiliki kemampuan beladiri yang lumayan, jelas itu terlihat dari cara dia menghindari pukulan Sardi kemudian malah menyerang balik dan untungnya bocah itu tidak menyerang wajahnya, jika tidak mungkin giginya akan tanggal atau minimal wajah tampannya akan bonyok.

Memikirkan kemungkinan terburuk barusan cukup melahirkan kengerian di hati Sardi, bahkan telah muncul sedikit penyesalan dalam hati atas kepercayaan dirinya meyakinkan Mikaila untuk memberi pelajaran pada siswa baru itu.

Sementara itu, Mikaila yang sejak tadi menyaksikan pertikaian antara kedua pemuda di hadapannya, hanya terdiam. Ia tak menyangka kejadian pagi ini menjadi semakin rumit walaupun ia bukanlah orang yang melakukan pertikaian itu, tapi tetap saja masalah ini berawal dari dirinya yang terlalu ngotot menunjukkan hegemoni senioritasnya.

Sesaat seluruh ruangan yang tadi riuh dengan percakapan para siswa tiba-tiba sunyi, juga para siswa yang sedang berdiri menyaksikan pertikaian barusan pun cepat-cepat menuju tempat duduk masing-masing dan berlagak seolah tidak tahu-menahu apa yang terjadi.

Menyadari perubahan keadaan di sekitar, Mikaila dan kedua rekannya merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati. Selain itu, malah mereka melihat ekspresi aneh dari siswa baru pembuat masalah di hadapannya.

"duh...bahaya" Andra berkata pelan dengan nada kawatir, senyum getir terbentuk disudut bibirnya.

Andra sangat kenal guru muda yang baru saja masuk ini, pak Tian, kakak seperguruannya sewaktu di dusun. Seingatnya, Kakak seperguruan Tian telah pergi merantau lima tahun lalu dan kabar terakhir yang Andra tahu Kakak Tian mengikuti Pertandingan Silat mewakili provinsi empat tahun yang lalu, kemudian tidak ada kabar lagi setelah itu.

gumam Andra dalam hati.

"hm?" Mikaila dan kedua rekannya sama-sama bergumam heran dengan perubahan ekspresi pria muda itu dan menyadari ada sesuatu yang membuat bocah ingusan di hadapan mereka terlihat berekspresi aneh.

"ada masalah apa ini?" suara seorang pria membuat tiga sekawan itu berbalik dan melihat ke arah sumber suara.

"Pak Tian.." nada suara Mikaila gugup dan tak dapat melanjutkan perkataannya.

"Gini pak, bocah ingus.....ee.. maksudnya siswa baru ini memukuli ketua OSIS pak, bahkan lengan saya hampir terkilir dibuatnya" pemuda tegap berbadan atletis di samping Mikaila berkata terburu-buru seolah menjelaskan apa yang tidak sempat dikatakan wanita disampingnya.

" Apa itu benar Sardi?" Guru Tian mengernyitkan dahi, matanya tertuju pada Sardi dengan penuh pertanyaan.

"Iya pak...benar" Sardi menjawab dengan nada rendah, rasa sakit yang tertahan terlihat jelas di wajahnya.

Mendengar penjelasan dua siswa kelas dua di hadapannya, guru Tian menoleh ke arah Andra dengan tatapan yang menunjukkan perasaan yang campur aduk.

gumam guru Tian dalam hati, matanya berbinar seolah menemukan sesuatu yang telah lama hilang. Ya bagaimana Tian tidak terkejut melihat bocah yang dulu sering ia gendong saat mempelajari silat di dusun Ampas, kini telah menjadi dewasa dan telah mempelajari ilmu silat. Namun tak lama kemudian ia kembali tersadar dari perasaan yang mendatanginya barusan dan kembali menyelidiki sesuatu persoalan yang terjadi antara ke empat siswa itu karena bagaimanapun kedekatannya dengan Andra, pada saat sekarang ia harus profesional dan mengesampingkan persoalan pribadi walaupun itu mungkin merugikan Andra.

"Andra... apa benar yang mereka katakan?" wajah guru Tian menoleh sesaat ke arah tiga sekawan di samping, kemudian kembali melihat ke arah Andra.

Mendengar guru Tian memanggil nama siswa baru yang bertikai dengan dua rekannya, Mikaila tidak mampu untuk tidak terkejut. Bahkan keterkejutan yang sama terukir jelas di wajah ke dua rekannya.

Padahal sejak tadi mereka tidak mengetahui nama siswa baru di hadapannya dan mereka tidak pernah mendengar siswa itu menyebut namanya. Lalu bagaimana mungkin guru Tian yang baru saja datang langsung mengetahui namanya? Sebuah pertanyaan mengganjal di hati tiga sekawan itu.

"iya pak Tian" Andra mengangguk pelan, senyum getir terukir disudut bibirnya.

Andra tahu betul bagaimana memosisikan diri, ia tidak akan sembarangan memanggil Kakak Tian dengan sebutan kakak seperguruan. Sebab bagaimanapun ini sekolah, bukan tempat perguruan silat dan kedua tempat ini adalah dua hal yang berbeda.

"baiklah.. kalian berempat ayo ikut saya ke ruang Kesiswaan!" pandangan guru Tian menyapu keempat orang di hadapannya. Kemudian pandangannya berpindah ke seluruh siswa yang berada dalam ruangan aula.

"bagi siswa sekalian, saya harap jangan membuat keributan kalau tidak kalian akan berurusan dengan kesiswaan, mengerti?" guru Tian mewanti-wanti seluruh siswanya dengan nada pelan namun mengandung ancaman.

"mengerti.. pak" seluruh siswa menjawab bersama-sama.

Setelah menyaksikan suasana aula telah sepenuhnya tenang, guru Tian berjalan perlahan meninggalkan aula, tiga orang siswa dan seorang siswi mengekor di belakangnya yang tak lain Mikaila, Sardi, Arga, dan Andra yang berada paling belakang.

"Hm.. bocah ingusan.. tamat riwayatmu kali ini. kau tak tahu..sekarang kita akan ke ruangan ayah dari perempuan yang kau sakiti barusan" Arga berkata pelan hingga hanya mampu didengarnya sendiri, siluet kepuasan terlihat di wajahnya, sampai-sampai ia tidak mampu menahan untuk tidak menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.

Tak lama kemudian, guru Tian dan keempat siswa penyebab keributan di ruangan aula beberapa langkah lagi akan sampai di ruang kesiswaan. Tiba-tiba Tian berbalik dan menatap ke arah siswa-siswa di belakangnya dan terakhir melihat kearah Andra tampak ada sedikit raut khawatir di wajah guru Tian.

Melihat kakak seperguruan memandangnya khawatir, Andara hanya mengangguk pelan senyum tulus terukir di bibirnya.