Wajah Diana dan Lucia sangat mirip jika dilihat sekilas, ya sekilas tapi jika diperhatikan dengan teliti wajah mereka tidak terlalu mirip.
Lucia bermata bulat berwarna coklat gelap, hidung mancung, warna kulit kuning langsat, dan bibir tipisnya berwarna merah muda seperti bunga mawar. Sedangkan Diana bermata sipit berwarna hitam, hidung mancung, warna kulit agak gelap, namun memiliki bentuk bibir yang hampir sama dengan Lucia.
Beberapa puluh tahun lalu, dikarenakan salah satu dari mereka sering sakit-sakitan, maka Andre dan Martha terpaksa meminta sahabatnya membawa Lucia ke kota lain untuk tinggal di tempat yang baik udaranya, maupun lingkungannya lebih bersih dibandingkan dengan kota besar yang dipenuhi polusi.
Mereka yaitu Andre, Martha, Ronald, serta Vanya tinggal di luar Indonesia. Dikarenakan suatu pekerjaan maka mereka berpindah-pindah tempat dari satu negara ke negara lainnya dan terakhir kali mereka tinggal di Boston.
Setelah urusan pekerjaan di sana selesai, Ronald dan Andre kembali ke Indonesia lalu menetap di Jakarta. Namun, salah satu dari putri mereka tidak ikut ke Indonesia karena ia melanjutkan studinya di negeri Paman Sam.
Bertahun-tahun lamanya antara Andre dan Ronald tidak pernah saling berkomunikasi lantaran mereka terlalu sibuk satu sama lain, bahkan Andre melupakan putri bungsunya yaitu Lucia.
Andre dan Martha seolah-olah merasa tidak mempunyai anak perempuan yang lain, selain Diana dan Fiona. Vanya sendiri belum memberitahu bahwa Lucia bukanlah anak kandungnya dengan Ronald.
Kesan buruk yang sampai sekarang masih ada di benak Lucia terhadap 'si penguntit' belum hilang sejak seminggu yang lalu, terlebih lagi ketika Lucia tanpa sengaja bertemu Arya di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Penilaiannya semakin bertambah buruk, menurut Lucia Arya adalah laki-laki terangkuh dan tersombong yang pernah dia kenal seumur hidupnya.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Lucia tidak dapat menyangkal bahwa dirinya sudah terpesona oleh ketampanan CEO PT. Citra Buana Garment tersebut.
Menjelang sore hari, Arya tertidur di kursi penumpang dan dalam sekejap melupakan semua masalah yang terjadi di perusahaan untuk sesaat.
Sementara itu, Lucia masih bercakap-cakap dengan Bertha karena merasa bosan berada di dalam pesawat dan tidak tahu harus melakukan kegiatan apa selain mengobrol dan menonton televisi.
"Jadi, menurut kamu apa Arya itu ganteng, gagah, dan berwibawa?" tanya Bertha penasaran.
"Aish, kenapa sih dari tadi siang yang dibahas cuma Arya, Arya, dan Arya?? Apa yang kamu lihat pada diri Arya? Menurutku dia sama sekali tidak ganteng, berwibawa, atau manis seperti yang kamu katakan sebelumnya," jawab Lucia sewot, lalu dia menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya.
"Kenapa kamu bersikap begitu, Luci? Apa kamu sangat membenci laki-laki itu karena kamu masih berpikir kalau dia adalah penguntit??" Bertha mendekatkan wajahnya ke wajah Lucia, ia ingin tahu apa kata-kata yang keluar dari bibir Lucia jujur atau tidak.
"Kamu tadi bilang dia enggak ganteng, tapi setiap kali saya menyebut nama Arya di depan kamu, pasti wajahmu memerah. Kalau kamu memang menyukai Arya, mengaku sajalah Nona," tambah Bertha sambil tersenyum jail.
"Bukankah yang menyukai dan tertarik pada Arya itu kamu, Tha?? Sampai kapanpun aku tidak akan pernah membuka hatiku lagi bagi laki-laki manapun, meski aku bertemu dengan aktor Korea Selatan atau Kpop idol sekalipun, aku tetap tidak akan terjatuh oleh pesona mereka," tegas Lucia panjang, ia menatap dalam-dalam pada Bertha.
"Baiklah, aku pegang kata-katamu tadi. Tapi sebaiknya, kamu harus segera mencari pacar baru supaya kamu dapat melupakan Kyung Joon, walau hatimu masih terluka dikarenakan kekecewaan yang amat sangat terhadap orangtuamu, maupun CEO itu." Bertha memberi saran yang menurutnya baik untuk Lucia, dia juga dapat merasakan apa yang sedang dirasakan temannya saat itu.
Sesudah bercakap-cakap sejenak, seketika perut Bertha berbunyi seperti orang kelaparan.
"Lus, aku lapar, nih. Kamu mau makan lagi enggak? Maksudku makan roti, kue, atau yang lain selain nasi dan steak," pungkas Bertha.
Lucia menggelengkan kepalanya dengan malas. "Kamu makan saja sendiri, aku lagi malas makan. Hhooaam ... aku tidur dulu, ya."
"Ya sudah, kalau begitu aku mau pesan pancake vanila dan ice lemon tea untuk diriku sendiri. Have a nice dream," cetus Bertha tersenyum lebar pada Lucia, sementara Lucia menanggapi senyuman Bertha dengan tampang cuek.
Selanjutnya, Bertha memesan makanan dan minuman tersebut karena dia tidak dapat menahan rasa laparnya, selain itu Bertha juga ingin menyantap makanan lain yang tersedia di kelas bisnis tersebut. Mungkin karena baru kali ini dia dan temannya menjadi penumpang pesawat kelas bisnis, sehingga Bertha tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menikmati seluruh fasilitas yang disediakan di kelas tersebut.
Lain halnya dengan Lucia yang enggan juga malas melakukan berbagai aktivitas di dalam pesawat, kecuali pergi ke toilet sekadar untuk membasuh wajahnya atau buang air kecil. Entah mengapa moodnya menurun setelah bertemu dengan Arya di bandara tadi siang.
Niat Lucia untuk meminta maaf pada Arya pun diurungkannya, dia berpikir bahwa Arya tidak layak mendapat kata maaf yang tulus dari Lucia. Tidak lama lagi, Arya akan mengetahui jika kedua wanita tersebut mempunyai tujuan yang sama dengannya, mereka akan segera bertemu di Yunani dan rasa penasaran yang begitu besar terhadap Lucia pun akan terjawab.
*****
Mi Ra melangkah gontai keluar dari kamar hotel, kemudian berjalan menuju lift yang berada di samping Emerald Ballroom. Mi Ra terpaksa kembali ke rumah Kyung Joon karena merasa tidak ada gunanya terus-menerus menghindari Kyung Joon serta calon mertuanya.
Lagipula Nyonya Ahn sudah menyiapkan makanan favorit Mi Ra, yaitu Salmon Sashimi. Sebelum kembali ke rumah itu, dia terlebih dulu menyantap Thai Beef Salad dan segelas coklat panas nan harum juga nikmat.
Meski saat itu suasana hati Mi Ra kurang baik, namun ia memaksakan diri untuk bersantap siang agar tidak jatuh sakit sehingga merepotkan calon mertuanya.
Menginap di Hotel Fuchsia yang mewah walau hanya beberapa jam saja, tidak membuatnya ingin kembali ke tempat itu. Baginya, lebih baik tinggal di rumah Tuan Kwak hingga ia menikah dengan Kyung Joon, daripada berlama-lama menginap di hotel seperti yang dilakukan kedua orangtuanya.
Untungnya, sore ini Kyung Joon dan Tuan Kwak masih berada di rumah sakit karena dokter belum mengijinkan Kyung Joon pulang. Selesai makan siang, Mi Ra mandi dengan air hangat lalu duduk sebentar di balkon kamarnya yang mengarah ke kolam renang, sambil memikirkan rencana selanjutnya.
Sekitar pukul 16.15 WIB, Mi Ra sampai di rumah besar Tuan Kwak dengan wajah ditekuk. Ia menghela napas panjang, seolah-olah enggan kembali menemui mereka, namun di sisi lain ia terpaksa kembali karena masih ingin mempertahankan seorang pria yang sikapnya sudah berubah 360 derajat terhadap Mi Ra.
"Paman, Bibi, aku tidak mengerti kenapa aku bertindak seperti orang bodoh di hadapan kalian. Aku tahu jika Kyung Joon lebih mencintai wanita lain dibandingkan denganku, akan tetapi kalian bisa hidup mewah seperti ini berkat bantuan dari ayahku. Kalian berhutang budi kepada keluarga kami, lagipula aku tidak mau menyerahkan Kyung Joon begitu saja pada wanita itu. Bagaimanapun juga, dia adalah cinta pertamaku yang sudah menodaiku tatkala kami sedang berlibur di Indonesia." Jang Mi Ra menatap lurus ke arah pintu rumah berwarna hitam dengan ukiran naga hitam pada daun pintu tersebut.
Sesaat kemudian, Mi Ra menelepon Nyonya Ahn yang sedang membaca sebuah buku tebal bertuliskan huruf-huruf Korea baik di sampul buku, maupun di dalam buku.
Drrtt ... drrttt ... ponsel buatan Negeri Ginseng itu bergetar, Nyonya Ahn bergegas meletakkan bukunya di atas meja, lalu mengambil ponsel dan menjawab telepon dari Mi Ra.
"Halo Mi Ra, kau masih di hotel atau--"
"Aku ada di depan rumah Bibi sekarang, maaf aku mengganggu waktu istirahat Bibi," ucap Mi Ra sungkan.
"Tidak apa-apa, Mi Ra. Tunggu sebentar, ya.
"Iya, Bi."
Pembicaraan di ponsel pun berakhir, Nyonya Ahn bergegas keluar dari ruang tengah, melangkah ke ruang tamu, lalu membuka pintu rumah dan pintu pagar yang menjulang tinggi.
Di luar, seorang wanita anggun berpakaian rapi dan nampak segar sedang berdiri terpaku, menunggu sampai pintu di depannya terbuka. Tatapannya begitu sendu dan sedih, sepertinya ia ingin mengungkapkan segala sesuatu yang terpendam di hatinya selama bertahun-tahun pada Nyonya Ahn.
Rahasia yang tersimpan di antara Mi Ra dan Kyung Joon sejak mereka masih sekolah di SMA Daewoon, kala itu Tuan Jang mengajak Kyung Joon berlibur ke Indonesia saat liburan sekolah tiba, tanpa mengajak kedua orangtua Kyung Joon.
Tuan Kwak mengijinkan putranya bersama keluarga Mi Ra pergi ke Pulau Bali bukan tanpa alasan, melainkan ada tujuan dan maksud tertentu dalam benak ayah Kyung Joon saat itu.
Ia melihat jika keduanya saling menyukai satu sama lain walau mereka bersahabat. Owner PT. Nalendra Tekstil tersebut rupanya hendak menjodohkan Kyung Joon dengan Mi Ra, sekaligus sebagai balasan hutang budinya terhadap Tuan Jang Jung Wook yang telah membantu Tuan Kwak mendirikan salah satu perusahaannya di Pulau Jeju.
Mi Ra membulatkan tekat serta memantapkan hatinya untuk mengatakan hal yang sejujurnya, mengenai perasaan juga sesuatu yang pernah dilakukan Kyung Joon kepadanya malam itu. Meski hal tersebut dilakukan tanpa sadar dan sengaja, namun kesucian Mi Ra telah ternoda.
☆~~☆