"Kau hanya perlu pergi," Mave membuka suara setelah hening beberapa saat, "Atau paman dan bibimu akan terus memperlakukanmu dengan buruk seperti ini,"
Valie menunduk, menatap sepatu usang yang ia gunakan, "Mave, di dunia ini, uang yang berkuasa. Sedangkan aku di sini tidak berdaya karena aku tidak mempunyai cukup uang. Biaya hidup di kota ini sangat mahal dan gaji dari pekerjaan baruku bahkan hanya lima puluh dollar setiap bulannya. Bagaimana aku bisa bertahan dengan kondisi seperti itu?"
"Pinjaman?"
"Aku tidak mempunyai apapun kecuali organ tubuhku yang bisa aku gunakan sebagai jaminan jika aku tidak bisa membayar hutangku," jawab gadis itu lesu, "Ah seharusnya aku menjual ginjalku. Itu jelas akan mahal sekali dan bisa membiayaiku seumur hidup,"
Mave menyeringai, menatap remeh kearah gadis di sampingnya yang masih setia menunduk, "Di dunia ini tidak semuanya tentang harta dan tahta, Valerie Helen,"
"Kau tahu nama lengkapku?"
"Ya. Kau hanya terlalu naif untuk dunia yang luas ini. Kau hanya perlu membuka pandanganmu di luar sana. Dunia ini jauh lebih luas di banding yang kau kira. Lebih tinggi dari apapun yang bisa kau bayangkan. Dan lebih dalam dari jangkauan mata yang dapat kau pandang," Mave kembali menyeringai, menatap Valie yang terdiam di sampingnya. Tampak gadis itu jelas kebingungan akan kata kata lelaki di sampingnya.
"Jadi apa yang ingin kau sampaikan sebenarnya dalam kalimat panjangmu itu?" tanya Valie pada akhirnya, membereskan kotak obat sebelum mengembalikannya ke tempat semula, "Kau tidak memintaku untuk menjual tubuhku bukan?"
"Tidak," lelaki itu menjawab dengan lugas, "Yang harus kau lakukan hanyalah mengamati bagaimana sebenarnya dunia ini berjalan. Seluas apa dunia ini dan sejauh apa kau bisa memandangnya. Pandanganmu terlalu sempit Valerie. Juga lingkup duniamu. Bukalah matamu dan kau akan benar benar melihatnya. Dunia bahkan jauh lebih luas dari kelihatannya,"
"Dunia jauh lebih luas dari kelihatannya," gumam Valie, berpikir keras selama beberapa saat namun sejauh itu juga ia belum bisa mengerti apa yang dimaksud oleh lelaki berwajah tampan itu, "Dunia ini memang luas. Bagaimana lagi aku harus melihatnya?"
"Dunia ini terbagi menjadi sisi gelap dan terang," ujar Mave sebelum beranjak, menatap Valie yang berdiri di hadapannya, lelaki itu harus menunduk dikarenakan selisih tinggi keduanya yang cukup banyak, "Dan kau, hidupmu terlalu terang dan naif. Kau jelas akan mengetahuinya suatu hari nanti Valie," lanjutnya sebelum melangkah cepat meninggalkan ruang kesehatan setelah sebelumnya menggumamkan kata terima kasih.
Sedang Valie hanya berdiri termenung di tempatnya, berpikir keras mengenai kata kata Mave yang terus terngiang di kepalanya.
Saat hendak pergi, gadis itu mendapati sebuah kartu nama yang tertinggal di ranjang ruang kesehatan, Mr Maverick Davidson. Valie mengernyit, namun ia cukup mengerti, Mave ingin ia menghubungi lelaki itu saat suatu hari nanti ia membutuhkan bantuan.
"Mave jelas bukan seorang biasa yang bisa dengan mudah mendapat tindasan dari orang lain," gumam Valie, "Baiklah aku akan menyimpannya jika aku butuh bantuan suatu saat nanti," ujarnya sebelum benar benar beranjak pergi dari ruangan itu.
***
Valie membuka pintu rumah pamannya dengan perlahan. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Ia sedikit terlambat tadi saat hendak kembali, bis terakhir menuju ke rumah sudah pergi mengharuskan Valie berjalan sejauh lima kilo meter. Dan lagi, akan sayang sekali uangnya jika ia harus naik taksi.
Gadis itu sudah membayangkan wajah jengkel paman dan bibinya, juga pukulan demi pukulan yang menyakitkan akan mengenai tubuhnya. Namun sepertinya hari ini berbeda. Bukan paman dan bibinya yang menyambutnya di ruang tamu melaikan sejumlah bodyguard yang tinggi dan menyeramkan, mengenakan tuxedo beserta kaca mata hitam. Segera menangkap tubuh Valie ketika gadis itu masuk ke ruangan itu.
"Hey apa yang kalian lakukan?" gadis itu segera berseru dengan panik. Mencoba memberontak walaupun hasilnya sia sia, "Hey apa yang kalian lakukan?" tanyanya lagi dengan suara yang lebih lantang.
"Kami telah menjualmu. Dan sebagai gantinya kami mendapat uang dua juta dollar untuk itu," Margareth tertawa sarkas, menatap Valie dengan sorot mata rendah, "Seharusnya aku lakukan itu sejak lama. Di bandingkan menyimpan hama menjijikan tidak berguna sepertimu. Itu begitu merepotkan,"
Valie menggeleng tidak percaya, gadis itu bagai dihantam temboh besar ketika mengetahui fakta itu. Bibi dan pamannya adalah orang yang selalu ia percaya, yang sudah ia anggap sebagai orang tua kandungnya sendiri. Namun siapa sangka jika sebenarnya, mereka benar benar hanya menganggap Valie sebagai hama menjijikkan yang begitu merepotkan? Gadis itu benar benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Kalian benar benar manusia tidak berperasaan," Valie menggeram dengan suara rendah, tatapan matanya penuh kebencian, menatap Margareth tajam. Namun wanita itu tak terlihat gentar sama sekali. Justru sorot matanya berubah mengejek ketika menatap Valie.
"Aku mempunyai kuasa di sini dan kau tidak bisa melakukan apapun jika aku sudah berkehendak," Margareth menjawab dengan congak, tertawa dengan meremehkan, "Bawa dia pergi dari sini, aku muak melihat wajah gadis itu,"
Dan dengan itu, dua pria tinggi yang memegangi tubuh Valie segera menarik gadis itu. Sedang sang empunya mencoba memberontak, namun tetap berakhir sia sia.
"Apa sebenarnya salahku oh tuhan," Valie bergumam rendah, menatap benci pria pria tinggi itu dengan tatapan penuh kebencian.
"Nona manis sepertimu hanya cukup duduk diam dan menikmati apa yang akan bos kami lalukan padamu," salah satu dari mereka berujar santai, melempar tubuh Valie memasuki sebuah mobil BMW hitam.
Valie lagi lagi menggeram, ia benar benar marah sekarang, rasanya hidupnya benar benar di permainkan. Paman dan Bibinya benar benar orang yang kejam. Valie membenci mereka, sangat. Tatapan meremehkan itu biasanya tidak semenjijikan biasanya. Tatapan itu benar benar membuat Valie muak.
"Tuan berkata jika kau cukup cantik. Dan berniat membawamu sebagai istri kelimanya," seseorang dari balik kemudi berujar tanpa menoleh, segera menyalakan mesin mobil sebelum bergegas meninggalkan pekarangan rumah Antonio.
Dua orang yang menghimpit tubuh Valie segera mengangguk membenarkan, salah satu dari dua orang itu segera menimpali, "Kau akan hidup dengan bergelimang harta. Kekayaanmu tidak akan ada habisnya,"
"Aku tidak butuh itu semua," jawab Valie dingin, "Dibandingkan menjadi istri kelima bajingan tengik yang kalian sebut bos itu, aku lebih baik duduk di jalanan bekerja sebagai pelayan rendahan,"
"Kau hanya belum melihat bagaimana bos kami. Dan setelah melihatnya aku jamin kau akan dengan suka rela menjadi istri kelimanya,"
"Dalam mimpimu," Valie berdesis rendah, matanya menatap nyalang ke depan, penuh dengan kebencian. Ia sangat muak denhan semua ini.